(Belum sempat moto sendiri, tapi beginilah wujudnya....)

  • Tepung Terigu 100gr
  • Gula 2 sendok makan
  • Susu cair 250 ml (kalau nggak ada, ganti susu bubuk 4 sendok+air segelas).
  • Baking powder 1 sdk teh
  • Vanilla esense dua tetes atau 1/4 sdk teh
  • Bubuk kayu manis 1/2 sdk teh 
  • Telur 2 (sebenarnya satu cukup, tapi gizinya kurang, hehe) kuningnya dicampur ke adonan, putihnya di kocok sampe kaku. kenapa harus dipisah? biar pluffi. tengahnya jadi kayak bika.dan empuuuk biar udang dingin.

  • Setelah adonan rata dan kekentalannya pas, campurkan sedikit demi sedikit putih telur. Aduk rata.
  • Panggang di teflon ukuran kecil, olesi dulu dengan margarin. Kalo adanya ukuran besar, bisa juga. 
  • Tuang dengan sendok sayur ke tengah lingkaran dan biarkan menyebar perlahan. kalo mau tebal, tambah lagi :)
    • Setelah berpori, balik dan kecilkan api 
    • Bisa jadi 7-8 pancake!

    Membuatnya cepat, tinggal tuang-tuang dan aduk-aduk. Nggak sampai 15 menit. Kalau ayah suka dihidangkan dengan kopi, kalau anak-anak dengan buah. Kenapa nggak dengan selai atau sirup seperti di negeri asalnya? Karena saya menghindari gula berlebih.
    Kegiatan membuat prakarya bersama memang mengasyikkan. Melatih fokus anak, kreatifitas, juga keterampilan menggunakan benda-benda di sekitarnya. Yasmin paling suka bagian menggnting dan me-lem. Nizam, bagian bertanya, "ini warna apa?" "kenapa di sini?" "ini gambar apa?" "aku mau ini!" dan seterusnya....
    Koper-koper-an ini idenya dari Mister Maker Ceebeebies. Saya pakai kardus bekas susu. Versi mister maker, di cat. Versi saya, ditempeli kertas origami (lagi nggak punya kertas kado dan cat). versi Mister Maker, tutup kopernya pake perekat yang kayak di sepatu itu lho, yang berwarna hitam. karena saya nggak punya, saya siasati pake double-tape. gunting-gunting, tempel-tempel, jadi deh tas Bu Dokter Yasmin :)

    Ini seharusnya sih jadi kotak pesan di pintu. tapi akhirnya jadi kotak kartu hurufnya anak-anak.  gambar bunga itu ngambil dariiklan Enchanteur di majalah bekas :) bagian paling seru adalah ketika memilih huruf. Anak-anak duduk di antara tumpukan majalah dan mulai memilih huruf. Bunda bilang, "kita cari A!" dan mereka mulai riuh menunjuk-nunjuk. Halaman yang boleh digunting hanya halaman iklan yang memang tidak mengganggu artikel penting. Ketika Bunda bilang, "kita cari K!" mereka terdiam sejenak. "K yang bagaimana Bunda?" Dan Bunda mengeluarkan kartu huruf.

    Nah, di majalah milik Bunda ada banyak sekali gambar makanan. baik iklan maupun halaman kuliner. kecuali resep, Bunda membolehkan mengguntingnya. waw, ternyata ada banyak sekali... biar awet, setelah digunting, ditempel/dialasi dengan kardus bekas susu. Lihatlah menu Restoran Nizam:

    Dari Iklan Pizza H....t :D


    Setelah selesai, semua jadi lapar, hehehe. Hati-hati dengan gunting dan Lem. begitu melihat hebatnya kerja LEM, Nizam berusaha merekatkan semua benda, termasuk pipinya ke lantai. Kegiatan ini seharusnya menjadi kegiatan santai, jadi jangan berusaha terlalu sempurna. Yang penting anak-anak belajar. Hasilnya urusan nanti. Namanya juga prakarya anak-anak :)  Dan, waktunya membersihkan kembali ruangan!
    Pagi itu matahari terasa hangat. Seorang ibu bergegas mengantarkan putrinya ke sekolah. Hari pertama. Banyak hal berkecamuk di kepalanya. Beberapa kali, tanpa kentara, ia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. ada sejuta ibu sudah melakukan upacara pelepasan semacam ini, pikirnya. Putriku akan baik-baik saja...
    Tapi, bagaimana jika di sekitar sekolah berkeliaran penjahat pedofilia?
    Bagaimana kalau si guru suka membentak dan mencubit?
    Bagaimana kalau temannya nanti ada yang suka berkata kasar?
    Bagaimana kalau ada yang menempelkan upil...


    Butuh berapa tahun untuk membuat seorang anak bisa bertahan dari kerasnya dunia luar sana? Ah, bukan, butuh berapa lama bagi seorang ibu untuk mengerti bahwa, anaknya akan baik-baik saja... 

    Jika bekal yang baik sudah diberikan. Maka selebihnya adalah tawwakal. Siapa lagi yang lebih baik penjagaannya dari pada Allah?

    Kebaikan, ketakwaan, kehambaan, semua itu bukan warisan genetis. Ia hanya bisa disampaikan turun-temurun, tapi tak langsung melekat dalam darah. Surga itu bukan dinasti. Begitu juga neraka. Bahkan kejahatan tak pilih tempat, tak pilih orang. Layaknya wabah penyakit.
    Karena sibuk dalam pikirannya yang kemana-mana, genggaman si ibu melonggar, anaknya tersandung batu.
    Si ibu membungkuk dan memeriksa luka anaknya. Sedikit berdarah. “Sakit, Nak?”
    Si anak diam, merasa-rasai pertanyaan ibunya. Lalu ia putuskan, “sedikit…”
    “Maafkan, Ibu. Apa kau baik-baik saja?” ibunya meletakkan tangannya yang hangat itu di dada sang anak. Di atas lambung. Tempat rasa sedih, kesal, marah, kecewa, gagal, benci, takut, trauma, dan semua kebalikannya bersarang. Hati.
    “Ya, aku baik-baik saja.” Si anak melanjutkan langkah.

    Ibu gadis kecil itu menghela nafas lega. 

    Asalkan hatimu baik-baik saja, Nak. Maka segalanya akan baik. Asalkan hatimu baik, maka kau dapat memaafkan, memulai kembali dan bersedia memperbaiki kesalahan yang pernah terjadi.

    Aku tak mungkin memintamu untuk tak pernah jatuh, tak pernah gagal, tak pernah dibenci, dimarahi, disakiti, dimaki. Bahkan Rasulullah merasai semua kepedihan itu. Jasadnya, Nak. Hanya jasadnya. Tapi hatinya baik-baik saja.
    Aku tak bisa meminta padaNya agar kau tak dibebani, diuji, lantas dikebalkan. Karena jika aku meminta demikian, maka aku memintamu menjadi kerdil; yang selalu baik-baik saja karena tak pernah melakukan apa-apa. Yang steril karena selalu di tempat yang baik, sehingga tak tahu mana yang buruk dan bagaimana mengubahnya menjadi baik. atau paling tidak, bertahan dari keburukan itu.
    Aku hanya meminta agar pundakmu dikuatkan untuk menanggung beban itu. Agar hatimu diluaskan untuk ilmu dan nasehat. Agar nuranimu terasah tajam melihat yang haq dan yang bathil. Agar kau selalu ingat, dunia ini hanya persinggahan, bukan perhentian akhir…

    Mereka sampai di sekolah yang hingar bingar. Si ibu tak lagi khawatir anaknya akan bertemu dengan siapa saja. Ia percaya, dari sanalah jiwa itu akan belajar tentang orang lain, tentang dunia. Ia hanya perlu memastikan telah memberikan lentera.
    Keheningan masjid berganti menjadi keriuhan jalan raya, ketika Umar dan gurunya memasuki kota. Gedung-gedung yang menjulang dengan kaca berkilauan terkena matahari waktu dhuha, kendaraan-kendaraan terbaru dengan suara mulus, dan orang-orang yang terlihat lebih bergaya. Umar tak percaya, ada dunia yang begitu berbeda dari yang biasa dijalaninya. 

    Tapi Umar tak melihat raut takjub di wajah sang guru. Lelaki sepuh bernama Basyir itu terus berjalan dengan wajah menghadap lurus ke depan, tanpa meninggalkan kesempatan bagi Umar untuk melihat-lihat sekelilingnya lebih lama.
    “Ustadz, sebenarnya kita mau kemana?” Umar bertanya. Karena, yang benar saja, masa turun dari gunung hanya untuk lewat begitu saja di kota?
     “Tidak lama lagi kita sampai. Renungkan saja apa yang kau lihat.”
     Restoran. Itu yang dia lihat. Maka Umar pun merenungkan berapa banyak orang yang makan di dalam sana. Apakah suatu hari ia akan makan di sana? Kira-kira, kalau dia memiliki uang atau dapat voucher, apakah dia akan makan di sana? Memakan sesuatu yang ia tak tahu dimasak dengan apa dan di wajan bekas apa. Apakah ia akan seperti orang-orang itu, makan dengan santai dan sesekali tertawa, seolah dunia rela menunggu berputar sampai ia selesai makan? Apakah ia akan menganggap ini cara menikmati hidup?
    “Lekas Umar! Aku menyuruhmu merenung, bukan kelaparan.”
     Di persimpangan, Umar mengenali seseorang. Imam. Temannya ketika belajar beberapa waktu yang lalu. Umar dan Basyir menunggu lampu berwarna merah untuk menyeberang. Imam berada di sisi jalan yang lain. Pemuda berwajah elok itu tampak keluar dari mobil yang tak kalah elok pula. Pakaiannya bagus sekali. Bukan berarti pakaian Umar tidak bagus. Hanya saja, kau tahu, beda kelas. Sepertinya Imam berkantor di gedung itu.
    Umar mendesah, “duhai, Rabb… Kau benar-benar menyayanginya.”
    Rupanya, Sang Guru mendengar desahan sengsara-tapi-ikut-bahagia Umar tersebut. Setelah mereka melewati keramaian dan berjalan lebih santai di bawah pepohonan, Basyir mulai berkata, “apakah iri yang kulihat dalam tatapanmu pada Imam, Umar?”
    Umar tak membantah. “Perih di sini. Kurasa hatiku sedikit cemas.” Ia menepuk dadanya.
    Sang Guru tersenyum. “Mengapa demikian?”
    Umar tercengang. Memangnya gurunya yang mulia itu tidak melihat apa, Imam seperti apa tadi. Mungkin, kalau Umar berdiri di sana lebih lama, Umar akan melihat juga seorang perempuan elok dan anak-anak luar biasa ada di belakang Imam. Sementara, apa yang sudah dimilikinya?
    “Kalau Allah mau memberikan aku sepersekian saja dari apa yang dimiliki Imam, Ustadz, aku akan menghabiskan sisa umurku beribadah.”
    Gurunya tesenyum. “Apakah kota ini memukaumu? Sungguh Umar, aku tak tahu apa lagi yang tak kau miliki…” gurunya kembali berjalan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Umar bergeming.
    “Ah… kurasa masalah iri hati ini agak serius rupanya?” Gurunya tersenyum arif. Basyir kembali dan menarik tangan Umar untuk melanjutkan langkah. “Umar, kalau kau membawa sepersekian yang dimiliki temanmu itu ke desa kita, percayalah, dalam sekejap kau akan membagi-bagikannya pada orang di sana, dan kau akan kembali seperti ini lagi. Kau tahu kenapa?”
    “Karena Engkau pasti akan mengawasiku dan mengatakan, ‘mana tanda syukurmu, hai pelit!’ Engkau akan terus berkata begitu sampai aku meninggalkan hartaku seperlunya.”
    “Bukan aku yang mengawasimu, tapi Allah.” Basyir menatap ke dalam mata muridnya. “Kau tahu, Nak. Pasti tak mudah menjadi temanmu itu. Kau kira dia sudah mencapai segalanya. Padahal bisa jadi kau tak tahu apa-apa tentangnya. Dia pasti memiliki ujian sendiri. Pantaskah kau mengira Allah dzalim dengan memberikanmu ujian sementara dia tidak?”
    Mereka kembali berjalan menuju pemukiman di tepi kota.
    “Dunia ini perhentian sementara, Umar. Apa yang kau lihat elok di sini sudah tersedia semua di tempat tujuanmu. Kenapa kau ingin memborong begitu banyak perkara. Apa kau kira, keretamu tidak akan keberatan dan membuatnya berjalan lebih lambat menuju tujuan utamamu?”
    Mereka sampai di sebuah rumah yang teduh. Di bagian depan, beberapa orang tua sedang belajar mengeja huruf demi huruf. Ingatan-ingatan yang payah itu bersemangat menambah suku-suku kata ke dalam benak mereka. Di depannya, seseorang yang lebih tua duduk dengan payah di kursi rodanya, mengajarkan semua itu dengan kesabaran yang menyentuh hati Umar.
    “Kalau kau mau berpesta pora dengan rasa irimu, irilah padanya, pada keluasan ilmunya dan caranya mengajak orang berlomba-lomba beramal.” Basyir menunjuk tak kentara pada pria di kursi roda itu, lalu bergabung dengan mereka.

    Umar merenung. Meraba hatinya. “Duhai, segumpal darah, tidakkah kau merasa ingin berpacu langkah dengan orang tua ini, menuju syurgaNya?”


    How Indonesian are you? Sangat, biasa, atau terpaksa (karena kebetulan aja lahir di sini, coba deh bisa milih negara lain). 

    Saya sendiri? 
    Kalau menggerutui presiden bisa mengurangi keindonesiaan saya, katakanlah saya 99,5677% Indonesia.

    Seorang teman dengan warna kental kebulean di wajahnya, melongo ketika saya tanya. Dia balik bertanya, "seberapa bule gue kelihatan?" saya mengangkat dua jempol. Lalu dia bilang, "gue indo, honey. Artinya separo. Tapi, gue cinta kok sama Indonesia, apalagi kulinernya."  

    Seorang teman lainnya menjawab pertanyaan saya dengan antusias, "pas denger lagu Indonesia tanah air beta, gue nangis!" Meski sebenarnya judul lagu itu Indonesia Pusaka... "tapi, pas denger soundtrack Taegukgi (film epik Korea) gue nangis juga..." lanjutnya mulai ragu. Intinya, dia merasa Indonesia-banget pas upacara bendera, terus acara-acara nasional yang mengumpulkan semua daerah di satu lapangan, lengkap dengan atraksi-atraksi budayanya. Nah, siapa bilang seremoni hanya seremonial?

    Saya bertanya lagi pada teman yg lain, "Apa yang membuatmu suka sama Indonesia?" 
    Dia melotot, "and why  do you think I love YOUR Indonesia?"  
    Oke, saya ganti, "seberapa Indonesia JIWA kamu?" 
    Dia bersiap menghantam saya dengan kuliah neo-nasionalisme. "Coba bayangkan presiden Indonesia orang Papua." Kenapa di kepala saya muncul Obama? 
    Pertanyaan berikut, "coba bayangkan foto pariwisata Indonesia adalah orang Badui dengan pakaian adatnya!" Oke, rada sulit. Saya malah kebayang Bali terus. 
    "Sekarang, bagaimana kalau ibu kota Indonesia ada di Pulau Karimun?" saya angkat tangan dengan teman saya ini...

    Saya orang Gayo. Suka atau nggak, menjadi bagian dari Aceh, berada di tengah kumparan konflik puluhan tahun itu. Dan bertanya tentang keindonesiaan pada saya sendiri adalah hal sensitif. Some of us would answer, "perang, luka, kematian, ketidakadilan, tidak membuat kami membenci Indonesia, Nak..."  
    But, do you love Indonesia?  
    Jawaban saya sendiri adalah, "bahkan sebuah pernikahan tanpa cinta pun bisa jalan."
    Beberapa dari teman saya juga menjawab, "ini bukan tentang cinta. Bukan tentang rasa. Ini tentang kesepakatan untuk hidup bersama dengan fair. Aman. Sejahtera. Aku menerima kau. Kau terima aku. Kuberi kau sebagian, kau bagi juga aku sebagian. Kalau kau langgar itu, bubar saja!"
    "Aku orang Indonesia. Titik. Penting ya nanya beginian?" kata seorang teman yang sedang PMS (Post Meeting Syndrome).

    Saya juga tidak tahu seberapa penting ocehan ini. Hanya saja, bagaimana saya bisa peduli, ikut merasa sakit, ikut merasa bangga, dengan apa yang terjadi di pulau-pulau yang disebut Indonesia ini. Hanya sekumpulan pulaukah dia? Atau sekelompok orang yang diurusi dan mengurusi satu sama lain. Atau sekelompok anak ayam yang dulunya tercecer-mecer tak berinduk?

    Bagaimana saya bisa peduli pada nasib bangsa ini, jika ternyata tidak tahu apa yang merekatkan kami selain 'sejarah penjajahan' yang dituliskan turun-temurun di buku sejarah? Bagaimana kami bisa merasa sebangsa jika masing-masing kami merasa paling Indonesia...

    Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia, setelah 66 Tahun.
    "Bagaimana kau mensyukuri kata merdeka jika kau tak pernah hidup di antara desing peluru, kelaparan, kesulitan air, dan gelap yang tak aman!"