-------Sebenernya ini tulisan lama, cuma mindahin dari facebook. Mohon dimaklumi, karena kesibukan bulan puasa (nyiapin bebuka, di antaranya...) ------------

Sudah seminggu Ramadhan, apa kabar Parents?:) Bagi para orang tua yang sedang menghadapi anak-anak yang sedang tumbuh, ramadhan memang luar biasa bukan?
Di Bulan Ramadhan, Setan2 mudik ke kampung halamannya. ‘Diikat’ untuk tidak mengganggu manusia. Kenapa? Kata kenalan  saya, mengapa harus diikat, mengapa Allah perlu ‘membantu’ manusia seolah-olah manusia tidak mampu kalau setan dilepas. Mengapa tidak dibiarkan saja it become a real battle? Satu lawan satu.
Saya sendiri tidak membayangkan bisa sekuat itu melawan setan satu lawan satu.
Bagi saya, bulan ini adalah kesempatan saya untuk mengenali nafsu saya sendiri. Tanpa ada pembisik, siapakah saya dan nafsu saya? sudahkah saya menjinakkan nafsu saya? Setan memang musuh yang nyata. Tapi nafsu, bagi saya lebih berbahaya, karena wujudnya saaangat rapi menyatu dalam diri kita. Kalau biasanya kita bisa mengatakan, “ih, godaan setan, nih!” dan si setan pun membelalakkan matanya seraya berkata, “gue lagi??”
Di bulan ini, kita tidak bisa menuduh dia yang sedang mudik. Hanya ada kita, dan nafsu kita. Satu lawan satu. Sudahkah kita menjadi jiwa-jiwa yang tenang, yang nafsunya bisa diajak kompromi kapan harus muncul? “Ayolah nafsu, muncul saja ketika aku berada di depan yang halal…jangan muncul kalau aku di depan yang haram… ayo nafsu, buat aku bersemangat untuk bernafsu bekerja, bukan bernafsu menggoda orang (mengambil pekerjaan setan/infal, hehe)
Daaan, untuk parents, ujiannya sedikit lebih berat (huruf besar untuk kata sedikit ya). Karena, tugas berat sebagai orang tua, membesarkan anak (apalagi yang masih balita), menghadapi miniatur mereka;para anak-anak, yang meski ramadhan seharusnya dilarang menggoda, mereka tetap saja menyentil-nyentil saraf kesabaran kita.
Kenapa saya menganggap peran sebagai orang tua berat? (catat: saya tidak hanya menyebutkan ibu lho ya). Kalau anda pegawai dan kesal dengan bos dan lingkungan kerja anda, anda bisa cuti, atau sekalian resign. Anda bisa demo. Anda bisa ngetweet dan bikin heboh jagad raya. Atau, kalau anda adalah si bos dan keki setengah mati dengan anak buah anda yang mbalelo, terlalu banyak tanya dan membantah, seolah-olah pembangkangan adalah bernafas, anda bisa memecatnya. Memberhentikannya tanpa pesangon dan rekomendasi. But, no, no, dear parents, anda tidak bisa cuti, tidak bisa mengundurkan diri sebagai orang tua. Anda juga tidak bisa memecat anak anda…  Anda, harus tetap mengasihi mereka, tanpa peduli betapa pertumbuhan jiwa mereka menguras habis kewarasan anda sebagai orang dewasa
Orang tua yang praktis, pasti ingin menghadapi anaknya dengan kepraktisan pula. Jawaban praktis. Biar praktis diam. Biar bisa selesai dengan praktis. Maka, orang tua ini akan menjawab pertanyaan anaknya seperti : “ayah mau ke mana? Ke masjid? ngapain? shalat? kenapa? di mana? masjid? ngapain? di rumah aja? nggak usah aja…” dengan jawaban: “sssst, ntar Tuhan marah!”
Orang tua yang praktis akan meletakkan anaknya di depan TV, demi selamat dari prakarya anak-anak mereka yang luar biasa. Membantu Bunda mencuci  berarti mencelupkan pakaian yang telah dibilas ke ember cairan pel. Membantu bunda memasak sama dengan menggiling semua sawi dengan pantat gelas, mengupas tomat dengan gigi, dan melempar ikan biar masuk ke ember. Mengepel berarti menumpahkan cairan apa saja dan melapnya dengan kain apa saja.
Cara paling praktis agar anak anda berhenti  menangis  saat jatuh adalah dengan menciptakan kodok imajiner si biang kerok. “Wah, kodoknya nakal ya..uh!” *plok. Siapa bilang Cuma ada kambing hitam?

Cara paling praktis agar anak anda mau masuk ke rumah saat maghrib adalah dengan mengatakan ada hantu, tikus, kucing, yang akan memakannya kalau dia tidak segera masuk.
Dan sebagainya (maaf, saya belum berencana menulis ‘Cara Praktis Membesarkan Anak Anda’). Percayalah, cara-cara tadi, menurut pengalaman saya pribadi, saaangat efektif.
Sesekali, lihatlah televisi, tempat begitu banyak jiwa-jiwa rapuh berkeliaran. Anda mungkin akan bertanya, kok ada ya orang gob*** begitu? Atau, kok bisa ya dia bicara begitu? Atau, bagaimana mungkin seseorang yang sepertinya sekolah tinggi banget itu seolah-olah tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, anda saja yang cuma melihatnya di televisi bisa lebih cerdas. Orang tua seperti apa sih, yang membesarkan mereka? (pertanyaan terakhir diajukan orang tua narsis,hehe…)

Dear parents, menurut psikolog, Fauzil Adhim, jiwa-jiwa rapuh itu berasal dari pendidikan yang rapuh. Anak yang dibesarkan dengan tipuan, manipulasi, penghianatan (“Coba liat Nak, ada gajah lewat!” lalu anda pergi berjingkat-jingkat di belakangnya….), kebohongan, maka anak akan belajar untuk tidak mempercayai orang tuanya. Semakin tidak percaya dia pada anda, dari yang mulanya berkata “nggak tuh, bohong ah,” menjadi ketidakpercayaan ketika anda menasehatinya (padahal benar). Pada saat yang sama, kata Fauzil, kepekaan dan empati anak (khususnya terhadap orang tua) akan mengalami pengerdilan, karena tidak menemukan tempat persemian yang baik. Anak akan belajar untuk memaksakan kehendaknya, mengikis kesediaan untuk memahami, ia menjadi impulsif dan reaktif.
Saya juga teringat akan peringatan Allah dalam Surat An Nisa’ ayat 9 :”Dan hendaklah orang-orang takut kalau-kalau di belakang hari mereka meninggalkan keturunan yang lemah dan mencemaskan (merasa takut) akan mereka. Maka bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan Qaulan Sadida (perkataan yang benar).”

Kadang, demi mengindari tangisnya (yang paling lama cuma 15 menit itu) karena malu dilihat orang, takut dibilang kejam, takut dibilang tidak bisa menangani anak, kita mengabulkan semua keinginannya. Di waktu yang lain, demi menghindari permintaannya, kita berdusta. Kita menakut-nakutinya. Kita membuat kebenaran dunia kabur di mata mereka.
Berkatalah yang benar, dengan bahasa yang bisa dipahami oleh mereka. Mumpung setan lagi pada mudik, ajaklah nafsu anda berkompromi untuk tidak terburu-buru menghadapi anak (ini PR untuk saya pribadi). Jadilah bintang di mata anak anda. Merekalah fokus kita untuk berkata benar, menjadi contoh yang baik, konsisten (sementara, tatapan orang terhadap pola asuh kita, silakan lewat deh…)
Kalaupun mereka harus menangis, percayalah, setelah itu mereka akan merenungi perkataan anda dan, kelak, mereka akan menemukan bahwa anda benar. So, jadilah orang tua yang bisa dipegang kata-katanya oleh anak-anak kita. Mumpung ramadhan, ayo latihan!;)