Tahun 1991. Saya dan teman berjalan pulang dari sekolah di bawah terik matahari pukul sebelas. Kami berjalan kurang lebih dua kilometer. Saya masih kelas satu SD saat itu. Sebelumnya, guru bertanya tentang cita-cita kami. Di antara semua teman, saya nyaris tidak sempat menjawab. Ada banyak tangan yang mengacung dan berebut menjawab. "Dokter!" "Pilot!" "Bos!" dan sebagainya. Saya, si pemikir, ternyata terlalu lama berpikir. Di sepanjang perjalanan pulang itu saya terus berpikir, dan akhirnya teman seperjalanan saya bertanya. "Kau mau jadi apa?"
"Hari senin aku akan menjadi dokter. Hari rabu aku jadi polisi (waktu itu saya takjub pada Robocop). Hari berikutnya aku akan jadi istri Superman (waktu itu superman=Dean Cain)."

Teman saya melihat saya dengan tatapan kalau saya sudah gila.

Saya memang terlahir dengan banyak cita-cita. Ingin menjadi segalanya. Ketika ditanya Bapak (almarhum) saya akan menjawab "bankir" biar beliau senang. Ketika ditanya ibu, saya menjawab "dokter" juga agar beliau senang.
Makin kemari ternyata cita-cita saya tidak mengerucut. Tetap saja masih banyak. Tapi saya lama-lama sadar, ada beberapa hal yang tidak bisa saya kuasai meskipun saya ingin. Mungkin bisa, tapi kemudian saya sadar bahwa kita harus berbagi peran. Keinginan saya untuk menjadi segalanya mungkin secara tidak sadar berawal dari ketidakpercayaan saya pada orang lain. Atau karena saya terlalu ingin menyenangkan ibu bapak saya. Begitu saya bisa memercayai orang bisa melakukannya dengan baik, saya merasa tidak perlu mengerjakan hal itu. Dulu saya berpikir (maafkan pikiran sok anak umur 5 thn ini) kalau dunia akan beres (waktu itu Bosnia lagi perang) kalau saya mengerjakan semuanya.

Ketika beranjak dewasa, saya menyadari hal lain lagi. Kita sering mendengar kalimat, "gantungkan cita-citamu setinggi langit." Tapi saya lupa diberitahu bahwa langit itu milik bersama. Cita-cita satu orang akan memengaruhi cita-cita orang lain. Saya pun berpikir, betapa egoisnya saya selama ini, mengumumkan cita-cita saya tanpa mempertimbangkan, bintang yang saya gantung di langit itu akan bersinggungan dengan bintang siapa?
Saya memiliki seorang teman, namanya Mai. Suatu hari ia datang ke kamar saya--waktu saya hampir lulus SMU. Ia berkata bahwa tidak bisa kuliah. Karena tahun depan adiknya akan kuliah juga di jurusan yang sama. Ayahnya meminta dia untuk segera bekerja, dan membantu membiayai kuliah adiknya, atau setidaknya menafkahi dirinya sendiri.

Saya berduka untuk Mai. Ia bahkan tak bisa menggantung bintang di langit cita-citanya, karena bagi keluarganya, langit itu sangat sempit dan mereka harus berbagi. Lalu saya teringat kakak saya yang masuk militer. Apakah dia mengganti cita-citanya--dia adalah penulis dan kartunis yang hebat-- agar saya bisa menggantung cita-cita lebih tinggi? Ah... andai saya tahu.

Saya masih belum dewasa juga, ketika akhirnya saya menikah. Dan perkara cita-cita ini bertambah pelik. Suatu hari tanpa sengaja saya mendengar obrolan di radio, antara seorang penelepon dengan psikolog. Penelepon itu bertanya, "Saya diterima kuliah di Jerman, tapi suami dan anak saya tidak bisa ikut, bagaimana saya harus memutuskannya?" psikolog itu menjawab,
"itu adalah pertanyaan yang seharusnya Anda tanyakan sebelum melamar pekerjaan atau beasiswa. Sekarang, Anda harus memilih dengan resiko yang cukup ekstrim. Meninggalkan salah satunya." --jangan bahas jawaban psikolog tega ini, sepertinya dia capek atau bagaimana--

Saya merenung. Setiap keputusan, bahkan yang menyangkut hal yang paling kita inginkan... kini harus diambil bersama setelah seseorang menikah. Karena keputusannya akan memengaruhi orang lain di sisinya. 


Setelah punya anak, saya jarang memikirkan cita-cita saya pribadi. Ketika ditanya punya target apa, otomatis otak saya akan memindai target-target pertumbuhan anak saya. Sekolah mana yang cocok, kurikulum apa yang diperlukan, metode apa yang kami setujui. Baru beberapa saat kemudian saya akan sadar, "oh, target saya?"

Saya punya cita-cita. Saya punya target. Saya juga punya yang saya maui. Tapi itu bukan lagi gambaran utuh tentang sesuatu. Saya tidak menargetkan diri menerbitkan sebuah buku. Saya hanya memaksa diri saya untuk tetap menulis. Target saya adalah saya tetap memiliki ide.

"Nggak ingin sekolah S2 lagi, Mbak?" tanya seorang teman.
Tentu. Meski bukan kata 'S2' yang dicerna oleh benak saya, melainkan kata 'sekolah'. Mungkin mengulang S1 dengan jurusan yang berbeda. Mungkin sekedar short course terkait pekerjaan saya. Tidak penting. Asal itu adalah judul dari menuntut ilmu.

"Tidak mau mengajukan aplikasi beasiswa?"
Untuk saat ini tidak. Tidak memungkinkan bagi saya untuk meninggalkan anak-anak. Membawa mereka? Dan menjadi beban orang lain? Saya berpikir tentang mereka yang masih single dan benar-benar membutuhkan pendidikan lanjutan. Sementara saya, saya tidak sekepepet itu untuk harus mengambil S2. Untuk kebutuhan saya, masih banyak pendidikan di dalam negeri yang terjangkau. Tidak tahu kalau besok-besok.

"Kasihan, sudah sarjana cuma di rumah." Saya tertawa pada kalimat ini. Tak masalah bagi saya. Saya juga tidak merasa harus membela diri. Kenapa?
Mm... saya justru bertanya, untuk apa saya membela diri?
Saya tahu saya ada di titik mana dalam hidup dan akan ke mana melangkah. Jadi kenapa saya harus menjelaskan pada orang yang tidak menjalaninya.

Sekarang, anak-anak sudah mau masuk sekolah. Saya akan menjadi ibu kesepian di jendela. Sedih rasanya membayangkan rumah sepi tanpa teriakan mereka. Kosong, tidak lagi meneriaki mereka dari jendela, "Heeey, itu kotoran ayaaam!"
Tapi mereka bertumbuh. Saya harap ilmu dan amal saya pun akan bertumbuh. Karena itu, meski rasanya sesak, saya mulai mencari-cari sekolah dan pekerjaan untuk diri saya sendiri. Secukupnya, yang tidak perlu merenggut saya dari rumah. Mungkin sekedar menghabiskan waktu selama anak-anak di luar.

"Apa kamu punya cita-cita?" tanya seseorang, melihat saya yang katanya tidak memiliki ambisi. Saya tersenyum. Saya punya. Tak perlu saya sebutkan.
Ia ada dalam doa. Di antara bisikan agar Allah menjernihkan hati saya, membedakan antara cita-cita dan nafsu mengejar citra: wanita berpendidikan tinggi.
Bagi saya, cita-cita adalah yang digenggam dalam diam, diupayakan selangkah demi selangkah, tetap gigih meski tak ada yang mengetahui ia menginginkannya. Tak iri melihat orang lebih duluan mencapai cita-citanya. Tak lemah melihat tak ada yang menyemangatinya. Tak tergempur oleh arus. Tak berkarat oleh sorak-sorai. Ia teguh sejak dalam hati. Berusaha dan berusaha.... 
Saya meyakini, Allah akan mendekatkan apa yang diam-diam kita idamkan, jika kita bersungguh-sungguh mengerjakan apa yang diamanahkan sekarang.



Mungkin Anda pernah membaca artikel tentang "Istri Bukan Pembantu". Kalau belum, Anda akan dengan mudah mendapatkannya melalui Google atau Facebook. What do you think?:)

Tentu, post tersebut banyak mendulang tanda jempol di Facebook. Apalagi yang share. Adapula yang men-tag suaminya... whatever it means.
Saya menulis ini tanpa berniat menyinggung sesiapa. Kita sudah dewasa dan bebas berpikir, I guess. And I hope you agree.

Saya seorang ibu, yang pasti merasa tersinggung ketika ada yang menghina perempuan dan peran seorang ibu. Tapi, ketika ada yang membesar-besarkan peran ibu (terutama ibu rumah tangga) entah mengapa saya merasa tidak nyaman, meski saya sendiri adalah ibu rumah tangga.
Bagi saya, ibu-ibu di masa lalu adalah sosok sempurna untuk dicontoh keikhlasannya. Sulit membayangkan mereka bisa bercerita tentang 'baru membuatkan kopi untuk suami, masak ini, itu, ngepel, nyapu' pada halayak seperti yang beberapa orang lakukan di Facebook :)

Saya tidak menyalahkan mereka yang senang berbagi di Facebook. Itu hak setiap pengguna Facebook. Memaki-maki di Facebook saja tidak bisa ditangkap polisi, apalagi cuma menyebut agenda
harian di dapur.

Kembali pada peran ibu. Kenapa saya bilang mereka terlalu membesar-besarkan? Semua ibu rumahan tanpa pembantu seperti saya pasti tahu rasanya berada dalam jet coaster itu. Tapi maaf, saya rasa kami sepakat bahwa kami melakukannya bukan untuk dikenal media sebagai 'pahlawan rumah tangga'. Peran sebagai ibu dan istri itu bukan pekerjaan, itu adalah ujian yang diberikan Tuhan ketika seseorang memasuki perjanjian yang namanya pernikahan. Semua bentuk balasan yang kita terima--baik maupun buruk-- tidaklah cash and carry. Melainkan seperti deposit, yang hanya bisa diambil saat kita sudah dihidupkan kembali, kelak.

Bahkan, ketika seorang ibu mendengar kata TERIMA KASIH, ia tersenyum senang bukanlah karena mengetahui pekerjaannya dihargai, namun karena suami atau anaknya adalah orang baik yang tak sungkan berterima kasih. Seorang ibu mengambilnya sebagai sebuah pelajaran, bukan sebagai kebanggan pribadi.

Seorang ibu merasa lega ketika anak dan suaminya menjadi orang baik. Bukan untuk dibanggakan pada orang lain. Agar, jikalau ia harus berpulang lebih dulu, ia telah menyiapkan anak dan suaminya sebagajiwa-jiwa yang kuat dan baik. Itu saja.

Jadi, ketika ada yang berkoar-koar tentang 'hargai kami sebagai istri, jangan jadikan kami pembantu' dan rengekan lainnya...

Perasaan saya campur aduk.
Seperti menagih pada manusia atas sesuatu yang saya lakukan untuk Allah. Pantaskah? Padahal yang kami upayakan belum seberapa. Toh kami masih diberi rejeki, diberi anak-anak sebagai penyambung nafas dan nama. Bahkan sebenarnya, kami bisa memilih melalui doa.

Saya jadi bertanya-tanya, benarkah ada yang pernah menyebut para istri sebagai pembantu? Saya merasa, kalaulah para ibu, ibu mertua, suami, dan anak mengetahui bagaimana orang yang selama ini memudahkan mereka menganggap telah diperlakukan sebagai pembantu.... mereka pasti sedih. Mereka pasti tidak mau dianggap telah semena-mena. Mereka mungkin akan berkata, "kenapa tidak kau katakan saja tidak bisa, daripada mengatakan kami mendzalimimu?" Sungguh berat beban yang ditimpakan pada mereka, padahal mereka tidak tahu...

Ah...sedihnya.

Seorang istri adalah pembantu; mengerjakan banyak hal sekaligus, diperintah ini itu, masih juga diprotes. Anak dan suami bahkan mertua punya selera berbeda.... semua itu seperti memborbardir seorang istri. Itukah yang kau sebut sebagai pembantu? Bagiku kau terdengar seperti orang yang dicintai, dipercayai, dan dianugerahkan pundak yang kuat. Bukankah tidak ada beban yang melebihi pundak? Begitu janjiNya.

Pembantu itu dibayar. Sementara saya, dan saya yakin beberapa istri di luar sana setuju, kami akan tersinggung kalau apa yang kami berikan dinilai dengan uang. Maka, bukan. Kami BUKAN pembantu.

Pembantu mengerjakan semua hal karena diinstruksikan demikian. Kami, para istri, melakukan semua itu semata-mata untuk memudahkan penghuni rumah kami. Jika mereka lapang, sungguh kami senang. Bukankah sebaik-baik orang adalah yang paling banyak manfaatnya? Jika itu yang kau sebut sebagai pembantu.... baiklah, kami mungkin pembantu. Pelayan manusia yang mengharapkan ridha Allah.

Pembantu tidak boleh balik memerintah. Kami boleh. Bahkan kami akan membagi sedikit tugas ketika kami memerlukan tambahan waktu tidur. Kami diperbolehkan melakukannya, hanya saja ditantang soal bagaimana menyampaikan permintaan itu, karena laki-laki harus selalu mendengar permintaan dengan kalimat jelas, bukan sindiran, rajukan, atau ancaman samar. Apalagi lewat Facebook.

Janganlah nistakan diri kita dengan menganggap diri direndahkan oleh orang lain. Muliakan diri kita dengan melakukan banyak hal melelahkan itu semata-mata karena Allah mencintai yang demikian. Dan, jika kau sudah merasa sampai pada batasmu....

.........mintalah bantuan!

Beberapa istri nabi meminta bantuan dengan do'a. Siapa lagi yang lebih kuat dari DIA yang MAHA KUAT?
Lalu, mintalah bantuan pada suami, atau siapapun yang bisa mendengarmu.
Ukurlah kemampuan diri. Kerjakan sesuai kemampuan diri, bukan sesuai standar rumah tangga orang lain. Ringankan diri dari kompetisi menjadi ibu rumah tangga paling tulen. Hati yang ringan, ibu yang bahagia, lebih akan dikenang keluarga daripada rumah yang cantik.
Jika berkemampuan lebih, lebih baik membayar pembantu betulan daripada menghinakan diri di depan publik dengan mengatakan bahwa sebagai istri kita dianggap pembantu.
Kalau tidak punya kelebihan dana untuk membayar pembantu... jangan memaksakan diri. Dapur yang keren adalah dapur yang berantakan, istana yang menyenangkan adalah tempat anak bebas bermain tanpa  khawatir soal kerapian. Masakan paling enak adalah yang dimasak dengan cinta, bukan seberapa ribetnya proses itu. Buang hal-hal tidak penting yang menguras tenaga, termasuk Facebook-an tengah malam jika tidak mengundang manfaat (lebih baik tidur).

 (Beneran saya heran, para ibu yang mengeluh dirinya menjadi budak rumah tangga, padahal suaminya memberikan laptop, jaringan internet, dan malam hari ketika anak dan suami tidur mereka bebas berselancar di dunia maya. Mana ada budak semewah itu?)

Menjadi istri dan ibu adalah peluang terbaik mengatur tenaga dan pikiran. Fokus pada apa yang menjadi tanggung jawab, dan abaikan apa yang tidak memberi pengaruh signifikan pada kehidupan sekarang dan di masa yang akan datang.

Ada banyak para istri yang benar-benar membanting tulang di luar sana. Semoga Allah merahmatinya dan memudahkan urusan mereka.Sementara pada istri yang diberi kelapangan, teruslah berkarya, mendidik anak, menjadi teladan, memberi pengaruh baik bagi sesama.


Bagaimana dengan suami yang berperilaku semena-mena memerintah istrinya? Suami jenis pemalas tidak berguna?

Mungkin tidak sesederhana saya mengatakannya. Tapi, bisa jadi kita memiliki banyak pilihan; memberitahunya dengan jelas, mendiskusikannya, memengaruhinya pelan-pelan... Karena suami yang malas adalah ujian bagi istri shalihah. Memperbaiki hubungan dengan Allah akan memudahkan kita memperbaiki hubungan dengan manusia, itu yang saya yakini. Banyak cara yang layak dicoba, namun, mendzalimi diri sendiri dengan mengemis belas kasih manusia--dengan menghinakan suami dan keluarga-- tentulah bukan cara yang bijak.

Apa yang kita keluhkan dari ini, akan memengaruhi apa yang akan kita kenang di masa yang akan datang.

wallahu 'alam. Nasehati saya jika salah.
It's about a week ago.
Saya menggandeng jemari putri 4tahun saya keluar dari sebuah mall ketika hari sudah gelap. Angin dingin musim kemarau terasa kering dan menusuk. Sementara udara berbau panas dan pengap. Kami melewati parkiran mobil, dan saya melihatnya di sana:
Terbaring, meringkuk, di antara dua mobil, seorang bocah lelaki kurus bersweater abu-abu.
Saya pelan-pelan mengingatnya. Ia adalah yang beberapa waktu lalu berada di dalam mall, menawarkan jasanya untuk membawakan barang saya. Saya telah menolaknya, karena barang saya tidak banyak. Dan dalam hati sempat berkata, kenapa bocah itu ada di dalam mall? Ya, dengan suara hati yang sedikit jahat.

Kembali ke parkiran. Putri saya menahan lengan saya agar berhenti dan memberikan sesuatu pada bocah itu. Don't ask. Putri saya menganggap semua yang duduk dan tidur di tanah wajib diberi recehan. And don't ask how could she has that idea. I don't know.


Saya hanya memelankan langkah, sambil meminta putri saya tidak melepaskan genggamannya. Sambil sesekali menoleh ke belakang, saya berpikir...

Alangkah sedihnya anak itu. Tidur karena kelelahan.
Apakah ia sudah makan? Karena ia meringkuk...seolah menahan perutnya yang kosong.
Mobil di sebelahnya menyala, menghidupkan lampu sorot. Ia terbangun. Terkejut, dan menyingkirkan barangnya yang tak seberapa; satu kresek kecil yang entah apa isinya.

Saya masih berdiri di sana, menoleh ke belakang, berpikir...
Kira-kira di mana rumahnya?
Kemana ibunya? Atau ayahnya?
Kalau saya beri dia uang... apakah tidak berarti meengawetkan ia dalam kehidupan jalanan?
Kalau saya ajak ia masuk dan makan... tidakkah itu sama dengan memberi pembenaran pada sikap pengemis?

Sementara putri saya menarik-narik tangan saya untuk kembali, saya bergeming.
Anak itu....

Lalu, saya melihat seorang wanita menghampiri anak itu. Ia membungkuk dan mengatakan sesuatu. Perempuan itu mengeluarkan sekotak makanan dari barang bawaannya. Ia mengelus kepala anak itu sesaat, tampaknya karena anak itu mengucapkan sesuatu. Entah apa. Lalu perempuan itu beranjak pergi. Anak saya tidak menarik-narik tangan saya lagi. Saya kembali berjalan, dengan hati tergugu. Saya kehilangan satu kesempatan. Kenapa bukan saya?

Karena saya terlalu banyak berpikir. Terlalu banyak kalkulasi. Terlalu banyak pertimbangan. Saya mengkhawatirkan masa depan negara dan mental bangsa, sementara satu orang kelaparan benar-benar ada di depan saya.
Baiklah, government. Kalau Pemerintah memang mau merawat mereka di Dinas Sosial, go on. Itu tugas mereka. But, please, jangan mempengaruhi saya lagi untuk mencegah sedekah. Karena ketika Dinas Sosial menjadi tanggung jawabmu, hey Gov, biarkan saya menyelesaikan tanggung jawab yang ada di depan saya. Mereka yang diperlihatkan Tuhan ke depan mata saya sedang menadahkan tangan.



Rasanya ngilu, ketika mendengar seorang ibu menghakimi ibu lain dengan ringan. Ringan, mungkin tidak dimaksudkan. Ringan, mungkin karena terbiasa. Tapi, bagaimana bisa membiarkan dirimu berlidah tajam tanpa menimbang-nimbang perasaan orang lain? Rasanya memang ngilu, bukan?

Ketika anak nilainya rendah, "Hah, ibunya kan guruuu?"
Ketika anaknya sakit ketiga kali dalam sebulan ini, "Nggak diperhatiin sih makanannya...."
Ketika anaknya belum mandi jam empat sore, "Ibumu kemana? Kok jam segini masih jorok??"
Ketika anaknya bertambah, "Ampun deh, lagi??? Yang ada aja nggak keurus."
Ketika ibunya kembali bekerja, "tugas perempuan itu di rumah..."


Kita lupa:
Bahwa anaknya guru pun harus belajar sama seperti anak-anak lain; kadang bersemangat, kadang tidak; lebih hebat di matematika, atau bahasa.

Bahwa sakitnya anak adalah ujian paling berat bagi seorang ibu. Apa kau pikir seorang ibu sengaja membuat anaknya terbaring, bernafas satu demi satu...sementara tiap tarikan nafasnya terasa seperti duri yang dicabut dari dagingmu....

Bahwa si ibu tidak memandikan anaknya pukul 4 sore, agar anaknya bebas berkeringat dan berlumpur. Untuk apa memamerkan anak yang sudah mandi?? Kelihatan bagus di mata orang mungkin adalah sumber kebahagiaan sebagian ibu, tapi tidak semua ibu. Lagi pula, sejak kapan jam mandi itu harus seragam, bu?

Bahwa bagi sebagian orang, mendapatkan anak adalah berkah. Penugasan yang mulia. Semangat untuk mencari rejeki lebih. Semangat untuk menjadi contoh yang lebih baik. Dan, hey, by the way, mungkin salah satu anaknya akan menjadi dokter dan mengobati kita kelak. 

Bahwa ketika seorang perempuan bekerja keluar rumah... kita tidak tahu, mungkin ia memiliki ibu dan adik yang harus dinafkahi. Atau ia ingin memiliki sedekah tanpa membebani suaminya. 

Ngilu, bukan, rasanya?

Padahal, darimulah, duhai para ibu, seorang ibu berharap dimengerti. Karena, meski ujian kita tidak sama, tapi bukankah kau adalah satu-satunya peran, hai ibu, yang akan memahami apa yang dirasakan seorang ibu?

--Bahwa setiap ibu pasti mencoba melakukan yang terbaik untuk anak dan keluarganya---

But, somehow, ujian kita berbeda. Ia mungkin tersandung ketika diuji masalah keuangan. Kau, mungkin akan diuji tentang kesyukuran. Aku, sudah jelas diuji tentang kesabaran.

Tidakkah akan lebih indah, jika seorang ibu memberikan dukungan dan mengenyahkan prasangkanya terhadap ibu lain? Karena... sekali lagi, bukankah kau yang seharusnya paling memahami besarnya tanggung jawab sebagai ibu? Karena kita sama-sama ibu. Itulah kesamaan kita.








Ada masa, ketika kau merasa langit akan runtuh menimpamu…
Kau kira itulah batas mampumu,
Kau kira itulah ujian terberatmu.
Belum.
Itu hanya latihan-latihan kecil untuk masa depan yang lebih besar.

Ingatkah kau, tentang pundak yang kau rasa terlalu lelah dengan segala beban?
Lalu kau pinta Ia--Yang Maha Kuat-- mengurangi bebanmu.
Jangan.
Mintalah Ia menguatkan pundakmu,
Karena beban kecil hanya untuk orang kecil. 
Dan, mintalah hati seluas langit tak bertepi; sabar yang tak berbatas…

Ingatkan kau pada sujud-sujud panjang,
ketika kau merasa lebih baik melesak ke dalam bumi, dari pada berdiri menghadapinya?

Sabar,
Yang perlu kau hadapi hanya dirimu sendiri; rasa engganmu, rasa takutmu, rasa tak layakmu. Dari awal hingga akhirnya, ternyata itu hanya perasaanmu…

Ingatkah kau saat kakimu ragu melangkah, 
Karena kau takut orang sedang menunggu pembuktianmu; bahwa kau ada, kau bisa.
Tetaplah melangkah, jika mereka punya waktu untuk menonton nasibmu, menggunjingkan nasibmu, mereka juga harusnya bisa menunggu. 

Saat kau merasa,
Semua jalan berujung buntu, semua pintu terkunci, semua rambu tak terbaca…
Kau hanya mematung dan bingung, tak tahu harus mengetuk pintu yang mana..
Saat kau merasa sendiri, tak ada yang peduli,
Lupakah kau, pada kalimatNya, “Dan, apa bila hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat…”

Jika kau telah mengingatNya, apakah kau kira Ia tak mengingatmu?

Saat kau merasa, kau telah mengetuk semua pintu, tapi jawaban yang kau dengar hanya kebisuan. Percayalah, kadang kau memang harus menunggu…

Ingatkah kau, pada masa-masa tersulitmu, yang kau kira bisa menjadi akhir segalanya,
Ternyata,
kau masih bisa berdiri dan berjalan lagi.
kau bahkan akan mengenal senangnya mengenang kesulitan yang sudah lewat.

Saat kau merasa orang melejit dengan hebat,
Seperti melihat rumput tetangga yang lebih hijau,
Kau hanya perlu bertanya bagaimana dia menyiramnya, di mana dia membeli pupuknya…
Kadangkala, makhluk dari api itu membisiki telingamu tentang kemudahan orang, tapi menutupi matamu dari kesukaran yang harus dilewati orang…

Saat kau tak lagi sanggup berdiri, dan tak tau hendak kemana,
Ingatkah kau tentang ketakutan Abu Bakar di samping Rasulullah dalam sebuah gua, di tengah kepungan musuh yang murka,
Saat itu Rasulullah berkata, “janganlah kau berduka cita, sesungguhNya Allah beserta kita…”
Maka pintu langit terbuka, dan Ia menurunkan bala bantuanNya…



Dear teman-teman,

Lama nggak mosting apa-apa, kira-kira hampir sebulan. Atau lebih? >,< terkena flu batuk setelah pulang dari pantai (gathering kantor Ayah Iban) lalu disambung darah rendah (tekanannya maksud saya), dan gula darah naik (keenakan ngemut sari kurma). Lalu ada fase ketagihan kronis pada Novel-novel Meg Cabot, Videos Keith Urban, dan bernostalgia dengan Detective Conan. Tidak bergerak banyak membuat virus di tubuh (termasuk yang bergenre malas) lama baru beranjak. Ditambah saya protes menuntut dihadirkannya meja baru untuk tempat saya menulis dengan alasan sakit pinggang, and many else... Sekarang, setelah banyak bergerak dan merasa sehat, saya pun berpikir, kalau tahu begini dari kemarin-kemarin saya segera bergerak. Well, memang klise, tapi obat malas dan segala penyakit itu memang yang pertama-tama adalah: MOVE!

Bagaimana dengan anak-anak? Owh, mereka tetaplah the most ear-bleeding screamer. Emaknya sakit tidak membuat tuntutan mereka menurun. What they know is that the universe rotates for them. But, Thanks Allah, keduanya sedang dalam fase Freakin' in Jigsaw. *sigh* Mereka bertahan dengan satu puzzle untuk beberapa hari (3-4), dengan tipe puzzle delapan keping ke bawah. Oh, my lil boy did the 10 pieces. Dan awalnya memang selalu bertanya, "Bunda lihat ini seharusnya di mana? Apa di sini? Atau di sini?" nooo, they don't actually need your answer for sure. Saya cuma menjawab, "Yap. Mungkin di situ. atau coba di sebelah sana. Mungkin kalau diputar?" Sure, sometime I did while I closed my eyes. I got the headache, remember??

But then, mereka pun mulai menghafal letak keping2 jigsaw itu, dan perlahan mulai kehilangan rasa asiknya (yang kemudian disusul hilangnya keping-keping puzzle itu ke bawah meja, bawah lemari, bawah tumpukan baju di lemari....) Oke, itu bukan hilang, tapi nyelip.

Saya tidak punya tenaga untuk ke toko buku mencari puzzle baru, dan mengingat satu buah berharga 5000 rupiah, plus ongkos 30 ribu rupiah... well, I thought it's the time for DIY! *Tiup terompet perang*

Kami pun membongkar-bongkar lemari buku anak. Mencari inspirasi. Oh well, thanks pada beberapa majalah Disney yang memberi bonus puzzle jigsaw yang belum sempat terpakai. Tapi akhirnya jigsaw itupun solved! Kembali mencari ide.... So I made it:
1. Ada majalah Tinker Bell yang sudah kehilangan cover. Saya buka halaman komik (whatever it's named!)

2. Ambil dus susu yang sudha nyaris masuk ke keranjang daur ulang, lem, gunting (tau nggak, ini gunting kemarin dipakai untuk motong ekor ikan gurame, karena gunting di dapur bunda lagi susah dihubungi).

3. Gunting gambar, rekatkan seluruhnya super rapat ke balik dus bekas. Potng suka hati, saya sih motongnya rata jadi enam bagian.




4. Here we go!

As I have mentioned before... anak-anak suuuka sekali kalau sudah berurusan dengan gunting dan lem! Selamat bersenang-senang!

N.B: Pastikan halaman yang Anda gunting bebas gugatan. Anda juga bisa membuatnya dari halaman iklan yang berkilau di majalah.