Setiap ibu yang bekerja, mungkin merasa terbelah hatinya ketika harus meninggalkan si kecil di rumah. Entah dengan ibu/mertua, pengasuh, saudara... kalaulah boleh, pasti rasanya ingin bersama dengan anak sepanjang waktu. Apalagi, ketika waktu yang ingin digenggam itu terasa bergulir begitu cepat...

Saya memutuskan untuk menemani anak-anak di rumah, alih-alih bekerja. Meski dengan banyak konsekuensi (ga bisa berfoya-foya karena tidak ada gaji ganda, hehehe) juga dianggap tidak memanfaatkan ilmu.
Sudahlah, saya tidak akan membela diri. Terserah saja. Setiap ibu punya tantangan, bukan? Dari yang kecil sampai besar...(tantangannya ya, bukan body-nya :D)


Para SAHM (Stay at Home Mom) kadang dikomentari, "Enak ya, jadi ibu rumah tangga..."

Bu, percayalah, menjadi ibu itu bukan perkara enak dan nggak enak. Kita semua memilih. Ibu-ibu yang tidak berseragam itu juga sudah memilih, menerima resiko, menegakkan harga diri dan tetap berjalan. Begitu juga ibu yang bekerja. Karena kehadiran anak bukanlah perkara yang kita putuskan sendiri. Ada kekuatan Allah di dalamnya. Namun untuk memutuskan akan menjadi ibu seperti apa kita, kitalah yang menentukan. Pilihan apakah kita akan membersamainya atau memilih ladang lain. Pilihan antara menjadi ibu yang kuat atau ibu yang terus memandangi diri di cermin, "Bagaimana aku terlihat di mata masyarakat?"
 
Pernah, melihat seorang sahabat yang risau karena harus meninggalkan anaknya dengan pengasuh. Di lain waktu, ketika pengasuh mendadak libur, ia harus membawa putrinya ke tempat kerja. Babak belur lahir batin: menghadapi keriuhan, cibiran, dan multichallenge dalam waktu yang bersamaan. Sedih sekaligus takjub melihatnya. Siapa bilang menjadi ibu bekerja itu enak-enakan?

Tidak semua ibu yang bekerja akan menghasilkan anak yang terlantar, kurang kasih sayang, tidak terurus lahir batinnya. Ada yang bilang, anak yang ibunya bekerja, yang dirindukannya adalah pengasuh, yang disukainya adalah masakan pembantu. Benarkah? Mmm....nggak sedramatisir itulah. Satu dua ada yang begitu, tapi bukan karena ibu bekerja, tapi karena ibunya emang ga bisa masakdan jarang mangku anak :)

Dan tidak semua ibu rumahan akan menghasilkan anak santun baik budi dan bergizi.
masalahnya adalah, berusaha atau tidak?

Semoga kita menjadi ibu yang menyadari diri kita sebagai ibu. Jika kondisi membuat kita harus bekerja, semoga Allah kuatkan hati kita untuk mengemban amanah ganda. Jika kita menjadi ibu yang berkesempatan di rumah 24 jam bersama anak, semoga kita ingat bahwa Allah sedang mengawasi amanah ini.

Menjadi ibu bekerja tidak membuat seorang ibu bisa berhenti memikirkan anaknya. Sama seperti menjadi ibu di rumah tidak membuat seorang ibu abai terhadap kondisi dunia di luarnya. Jadilah ibu yang kuat. Ketika telah mengambil keputusan, jangan merengek.

Dulu, awal-awal karir saya sebagai ibu rumahan (lagaaak), saya sakit hati kalau ada yang dengan suka rela menyebut saya tidak berpendidikan dan tidak berpengaruh pada perubahan dunia. Ibaratnya, saya ini sebutir debu atau rakyat jelata yang kalau krisis tiba, dikorbankan tidak apa-apa. Beuh. Lama-lama, setelah memikir ulang kenapa saya ada di posisi ini, saya mulai lapang dada dengan komentar orang. Toh itu cuma komentar. Mereka tidak tahu apa-apa, lalu kenapa hal seperti itu harus mengubah prinsip saya.

Tidak adil menilai ibu yang bekerja sementara saya tidak pernah merasakannya. Begitu juga sebaliknya.
Memilihlah karena prinsip. Sertakan Allah dalam setiap pilihan. Sehingga ia tak tergoyahkan.
Keraguan, ketidakpercayadirian, bertindak setengah-setengah, akan terlihat dalam keseharian kita. Ibu rumahan yang tidak ikhlas berada di rumah, akan terlihat oleh anaknya, sehingga anaknya merasa menjadi penyebab dunia ibunya menyempit. Ibu yang bekerja namun pikirannya ada di rumah, tidak bisa fokus bekerja apalagi menghasilkan sesuatu bagi dunia.
Jangan melangkah setengah-setengah. Kekuatan para ibu dalam setiap tindakannya akan menginspirasi anak untuk menjadi kuat, menjadi superhero dalam benaknya, di lapangan manapun yang ibu pilih untuk bertarung.


Ibu yang bekerja demi biaya sekolah anak-anak, demi meringakan beban suami agar tidak bekerja dari minggu malam hingga sabtu pagi, bukanlah ia sama mulianya dengan ibu yang meninggalkan standar hidup tinggi demi sebuah pekerjaan tak bergaji bernama "ibu rumah tangga"... Pada Allah sajalah kita bertanggung jawab. Saat ini, cukuplah kita berkuat diri dan mengingat-ingat, kenapa masing-masing kita ada di sini.

Tegakkan kepala, Bu, ada anak-anak masa depan yang sedang mengamati, seberapa tangguh kita menanggung beban zaman. Saya ingat sebuah pepatah, Bukanlah untuk menjadi tempat bersandar seorang ibu diciptakan, melainkan agar bersandar itu tidak lagi diperlukan.

Kuatlah, Bu, maka ia juga akan kuat sepertimu. 



Jelang sahur. Gorontalo.






Bagi saya, pertanyaan apa kabar itu penting. Kalau saya menanyakan "apa kabar?" saya senang sekali mendengar jawaban yang panjang lebar. Karena ketika saya bertanya apa kabar, saya benar-benar mau mengetahui kabarnya, bukan sekedar basa-basi di awal pertemuan. 

Jaman masih aktif di organisasi kampus dulu, seorang rekan menganggap saya 'keterlaluan' karena bagi saya mengetahui kabar rekan-rekan dan staf saya jauh lebih penting daripada mendengar laporan kerja. Itu menurut dia. Buat saya pribadi, saya akan mengetahui kabar mereka lebih dulu sebelum bertanya tentang tugas mereka. Pernah, seorang ketua tim berkata pada bawahannya, "Kamu mau pulang lagi? Terus tugasmu bagaimana? Ya sudahlah. Salam untuk bapak ya." Sang ketua tidak tahu, bapak yang ia maksud sudah meninggal dunia beberapa minggu sebelumnya. 

Dengan mengetahui kabar seseorang, saya tahu saya berhadapan dengan kondisi apa dan tuntutan apa yang memang layak saya berikan padanya. Karena itu sebelum membuka laporannya, saya bertanya, "ada kabar apa minggu ini? Kabarmu, maksud saya. Kalau kabar nasional saya bisa baca koran..."

Lately, saya melihat teman-teman saya kebanyakan masih sama, seperti saya yang juga masih sama seperti dulu: saya sibuk bertanya apa kabar pada semua teman-teman saya, dan mereka melaju dalam pekerjaan besar bernama membangun peradaban... :) I guess.

Hari ini saya sedang berduka. Tanah kelahiran saya diguncang gempa 6,5 SR. Banyak yg tewas, hilang, luka...dan tidak sedikit rumah2 yang hancur dan sekolah2 rubuh. Hidup mereka mungkin diamputasi mendadak. Saya berdoa, semoga dengan ini Allah melembutkan hati mereka, membuat kita mempersering menyebut namanya, dan merenung. There's something wrong with our life. Each of us need to figure it out.

Biasanya musibah seperti ini akan cepat menimba simpati nasional. Kenapa sekarang tidak? Ada kejadian yang mereka anggap lebih penting di luar sana. Kisruh politik dunia Islam di Mesir. 
Saya mencoba berprasangka baik. Sedikitnya hastag Pray For Gayo dibanding Pray for Mesir mungkin tidak berarti sedikit juga doa yang mengalir ke desa-desa kecil di Barat Indonesia sana. Saya berbaik sangka, bahwa di ruang empatinya yang luas, saudara2 saya bisa menyempatkan diri melihat ke dalam negeri. 

Kita memiliki ruang empati yang luas. Setiap kejadian adalah latihan untuk membuat kita arif. 

Semoga Allah membuat kita lebih kuat dari masa ke masa. Aamiin.