Ketika dunia terasa begitu ramai, hiruk pikuk, sahut menyahut...Telinga terus berdengung sementara mata mencari-cari apa lagi yang masih dikenali.
Kita hidup di masa ketika dunia ada dalam sepetak layar. Ketika teman baru ikut tertawa bersama, atau orang yang sama sekali tidak kita kenal mencibir dan berhasil membuat kita merasa buruk. Keduanya kita terima. Tapi sering kali, diam-diam kita merindukan gua sepi ntuk menarik diri sejenak.

Dan ketika hiruk pikuk semakin menjadi...

Close out all the tabs. Turn the phone on silent.
Open the window.
Take a deeep breath...
Look at the tree. A new branch, a new leaf.
Look at the sky. It's clean, or the clouds remind you of someone.

Pick a book. Choose a seat.
Read something that's really meaningful to you. Enjoy the words. Swallow the sentences. Let it dance in your mind.

Close the book. Close your eyes.

Now, can you hear them?

Your soul voices.





Alhamdulillah :)

Novel ini saya tulis pas baru-baru nyampe Gorontalo, tiga tahun lalu. Masih sepi, belum ada temen, anak-anak masih lama tidurnya, suami ngajar sampe sore. Belum ketemu endingnya, terus saya simpan. Tahun 2012 (ya Tuhan....udah selama itu ternyata :D) ada lomba Amore dari Gramedia Pustaka Utama. Saya coba ikutkan naskah ini, meski nggak yakin juga ini novel jenisnya apaan hehehe... Daaan, April 2013, keluar pengumuman gelombang kedua, saya termasuk pemenang berbakat, finalislah pokoke :D itu aja udah seneeeng banget. Tahun 2012, ulang tahun saya dapat hadiah pengumuman naskah anak saya menang lomba, juara satu, dapat dua jeti :p Jadi pas tahun 2013 dapat 1,5 jeti, girang kebangetan. Waktu itu gosip2nya sih segera diterbitkan. Oh ya, waktu itu diumumkan ada total sebelas finalis.

Lamaaaaa banget, finalis-finalis lain bukunya sudah mejeng di toko buku. Saya nanya ke editor dan dikabari, masih ngantri. Saya kira itu ngantrinya dua minggu-dua bulanlah. Temen-temen yang ngasih selamat pas pengumuman April itu sudah mulai bosan mungkin bertanya ke saya, "kapan terbitnya?"

Ada rasa sedih, malu, minder... dan sempat berpikir, eh, jangan2 nama saya nyelip dan sekarang mereka udah nyadar kalau naskah saya nggak layak :D waktu itu sediiih pake banget. Bertanya-tanya kenapa, tapi nggak tau mau nanya ke mana. Untunglah, sahabat dumay saya, Mbak Indah Hanaco, punya bejibun kalimat penyemangat--ya ampun mak, terharu deh kalo inget--yang bikin saya lumayan bisa move on. Dengan dia saya bisa cekikikan tiap hari dan merasa ringan saja kalau ada yang bertanya, "kapan terbit?" --udah kayak nerima pertanyaan "kapan lulus?" pas jaman skripsian dulu :D

Oktober 2013, saya pulang ke Jogja. Setiap hari hujan, nggak tau mau ke mana. Nggak ada temen yang pengangguran, dan anak2 sibuk sama neneknya. Saya melototin naskah di laptop tiap hari, ngecek e-mail sehari bisa tiga kali (pagi, siang, deket magrib) kkkk.... parah beud. Daripada nganggur dan sakit jantung, saya baca-baca tulisan Mbak Hetih Rusli, Editor Gramedia yang juga megang naskah saya waktu itu. Dari tulisan-tulisan beliau saya banyak belajar. Pelan-pelan, saya merapikan naskah saya, membuat pembuka, mengganti ending, meniadakan basa-basi, dll. Desember saya mengirimkan naskah hasil revisi itu. Dipandu oleh tulisan Mbak Hetih :)

Januari, Februari... saya dikabari proses editing sudah dimulai, naskah dibaca dan dikoreksi Mbak Ruth Priscilia A. Mereka jeli sekali. Saya sampai mikir, wuiih, kayak laser, tau aja salahnya nyelip di mana. Mereka membantu saya memahami kalimat yang benar tapi tetap indah. Mbak Hetih meminta saya memerhatikan PoV. Dikasi contoh dan beberapa tips, tapi tetep aja saya gablek :D ngutak-atik, bukannya tambah bagus malah ancur, kkkk.... akhirnya dua atau tiga malam berkutat dengan si PoV.

Bulan itu juga saya milih judul, membahas sampul. Dulunya novel ini berjudul When (WIll) You Merry Me? :D yang diputuskan demikian selagi nunggu mesin fotocopy bekerja (beberapa menit sebelum dikirim). Akhirnya dikasih judul By Your Side (setelah sebelumnya At Your Side ternyata ada yang punya. Saya malah nawarin A Lifetime Promise, tp kok kayak judul Hisrom, hehehe).

Maret saya diberikan pilihan sampul. Ada yang lebih bagus dari ini sebenarnya, maniiis banget. Mbak Hetih juga suka yang itu. Tapi saya dan Mbak Indah Hanaco ntah kenapa terhipnotis sama yang ini :D dan diam-diam berharap, aduh, semoga nggak kualaaat. Semoga teman-teman di luar sana menyukai sampul yang ini dan memutuskan membelinya ^__^

April saya diminta membuat sinopsis, lembar terima kasih dan profil penulis.

Dan inilah jadinya.


Ffiuuuuh.....

Biarlah keluar paling buntut, yang penting saya menikmati proses belajar melalui tulisan-tulisan Mbak Hetih. Membuat saya ingin menulis lebih baik :)

Selamat datang di dunia, Kania dan Erga! :D
Siapa yang masih geli sama siput sampai usia dewasa? Saya salah satunya. Beda dengan anak-anak saya, yang kalau lihat siput di rerumputan setelah hujan, bukan ajaib lagi kalau mereka langsung memungut dan mengintip ke balik cangkangnya. "Apa sih ini?" FYI, mereka masih 5 dan 4 tahun :)

Jadi, setelah minggu lalu belajar tentang gajah, minggu ini kami belajar tentang siput. Temanya siput, belajarnya, yaa.... pas Ami pingin nulis, dia nulis "Siput di halaman" atau "siput licin" atau "siput lucu aku suka" dst dst. Lalu kita menggambar siput. Ah, ada satu siput yang menemani di dinding kamar, tepat arah saya menghadap ketika tidur. Mewarnai siput, so far, yang anak suka adalah mewarnai cangkangnya dengan warna pelangi. Biarlah, sebelum mereka mengenal cupacabra snail yang menyeramkan itu :D

Saya jadi tau kalau siput itu hemaprodit, tapi tetep aja butuh siput lain buat kawin... (saya belum menjelaskan ini ke anak-anak sih) :D terus, siput itu hapal jalan pulang ke rumah. Sebenarnya rumahnya di punggung itu sih, kayak kantong tidur, tapi ada sarang di dalam tanah atau di tempat-tempat dingin yang mereka hapal arahnya. Siput itu penyendiri tapi kalau ada makanan dan bertemu temannya, dia suka berbagi. Siput suka keluar basah-basahan di saat hujan. Bukaaan, bukan karena romantis, tapi karena siput nggak mau tenggelam di rumahnya yang biasanya di dalam tanah. Mereka lebh sering ditemui ketika hujan, gerimis, setelahnya, atau malam hari, karena mereka suka suhu dingin. Dan kalau suhu terlalu panas, mereka akan menutup pintu cangkangnya dengan cairan mucus supaya udara di dalam tetap sejuk.
Ini nih ya, ngefek banget untuk mempengaruhi anak supaya masuk rumah kalau cuaca lagi hot-hot-nya. "Kalau panas apa yang dilakukan siput?"
Mereka jawab, "masuk cangkang!"
"apa kalian mau jadi siput sampai matahari redup??"
"Mauuuuu!" :D

btw, pas lg nyari2 bahan cerita, ketemu web cantik, yang memuat foto-foto luar biasa dari Photographer Vyacheslav Mishchenko (semoga ga salah nulis namanya -__-)













Pertanyaan yang sering kami terima sejak anak-anak homeschooling:

Kapan anaknya duduk belajar? --kelihatannya main terus :p
Yang diajarkan apa saja?
Apa anaknya sudah bisa baca? pakai metode apa?
Anaknya bisa berhitung? --nyanyi terus kedengarannya
Nanti susah lho beradaptasi...bergaul...
Sampai kapan?







Anak2 tidak punya jam khusus utk duduk dan belajar, karena homeschool bukanlah sekolah yang dipindahkan ke rumah. Anak bahkan belajar ketika berdiri di depan keran, jendela, ngglesor di lantai, mengukur ubin, dll. Di pagi hari, setelah main sepeda sebentar, mereka masing-masing membuka buku. Kadang mewarnai, kadang  gunting-tempel, kadang minta dibacakan buku. Tapi yang paling sering mereka menulis mandiri, artinya mereka tidak mau didikte tentang apa yang harus mereka tulis. Mereka menyalin kata-kata yang mereka lihat, atau sekadar membuat kode yang hanya Tuhan yang Tahu apa artinya.

Yang diajarkan adalah apa yang menarik perhatiannya saat itu. That's why anak yang belum bisa membaca kadang bisa tahu Nicaragua itu ada di mana, kenapa paus itu mamalia, dan kenapa gajah tidur berdiri. Anak2 akan siap membaca dan orang tua akan melihat kesiapannya, kalau dia sudah tertarik, proses membaca itu tidak perlu dua tahun duduk di kelas utk mengeja. Yang penting, mereka menikmati buku dan antusias mengenal kata per kata.
Kurikulum? Ya, kami punya, tapi tidak sebaku sekolah umum. Saya tidak menargetkan apa-apa dan tidak ada ujian apapun. Kami mengantarkan asmaul husna dalam cerita sehari-hari, ketika anak melihat burung, melihat awan, hujan, petir, orang sakit, dll. Nabi-nabi dikenalkan dalam cerita sebelum tidur (1 bagian dari 4 pengantar tidur: cerita nabi, fabel, pesan ayah-ibu, doa). Kami tidak mengajarkan berhitung secara khusus, tapi kami mengajarkan anak tentang alam, bagaimana hujan, beda laut dan danau, dari mana datangnya petir, dll. Apakah mereka mengerti, mengingat usia mereka baru 5 setengah dan 4? so far, mereka mengerti. Karena kami mengantarnya melalui cerita, gambar, foto, video, dan melihat langsung. Kami hanya sedikit berbicara, sisanya mereka bertanya.
Iqro' diajarkan setelah magrib, dan tidak ada target apapun. Ami mulai dari Iqro' 1 dan ingin melompat ke Iqro' 4. karea dia bisa menangkap, ya sudah, toh akhirnya dia tahu kalau dia harus melewatinya setahap demi setahap.

Anak2 tidak tahu 13 ditambah 4 itu berapa. Tapi mereka sadar kalau 4 jeruknya tinggal 3 karena 1 ada yang mengambil. Kami percaya bahwa matematika adalah logika tentang bilangan.

Anak tidak bisa beradaptasi? Banyak teman saya yang hasil produk sekolah publik, sampai usianya 30an masih merasa dialah yang harus diterima tanpa mau mengerti bahwa dia juga harus belajar menerima. Adaptasi bukanlah segala-galanya, saya tidak akan menyuruh dia menyesuaikan diri pada sesuatu yang dia anggap tidak cocok. Saya tidak mau dia mengikuti kehendak banyak orang hanya sekadar untuk diterima. Dan menerima seseorang sebagai bagian dari kita bukan berarti orang itu harus menyesuaikan dirinya agar sama dengan kita. Begitu juga sebaliknya.

Di rumah, dengan hubungan yang sehat di dalam anggota keluarga, anak akan mengerti tentang menghormati pilihan orang lain, mendengar pendapat tanpa menyela, namun tetap percaya diri ketika mengungkapkan pendiriannya--karena tidak ada yang membully pemikirannya di rumah. Kebanyakan basis komunikasi sehat itu asalnya di rumah. Kompromi, negosiasi, compassion... mereka pelajari melalui contoh di dalam keluarga.

Anak-anak lain terlihat lebih hebat, cepat membaca, berprestasi, dan sebagainya....
Salah satu alasan kenapa kami menarik anak dari sekolah publik adalah karena tidak ingin di usia dini mereka sudah berkompetisi dengan tidak sehat. Anak bukanlah sesuatu yang harus dibanding-bandingkan dengan orang lain. Apa yang ia lalui untuk belajar sangat berbeda dengan yang dilalui anak lain.

Sampai kapan?
Sampai kami melihat ia siap dan merasa aman untuk sekolah di luar, dan memiliki kemampuan untuk mempertahankan pendapatnya, setidaknya tidak terganggu dengan pendapat orang. Kapan itu tepatnya? entahlah, kami sedang mengamati hari-harinya, dan menikmati proses menuju ke sana :) Tak masalah berapa lama...
I'm 29 today.
Hidup dalam ingatan saya terbagi hanya menjadi empat bagian. Bagian pertama, saat Bapak masih ada. dalam ingatan yang itu, semuanya terasa manis. semua makanan terasa enak. Bahkan matahari dalam ingatan yang itu sangat indah biasnya.
Bagian kedua, setelah Bapak tidak ada, hidup bersama keluarga besar. Dalam ingatan yang ini, saya merekam banyak pelajaran. Tentang sabar, mengalah, pahit sebelum manis, kekuatan kata-kata, dan kekuatan seorang perempuan. Juga kedermawanan. Bagian ketiga, dunia kuliah yang amburadul. Mendadak saya kehilangan semua pijakan, marah pada dunia, enggan pada ilmu. Saya seperti Peter Pan yang enggan tumbuh. Kadang, beberapa kali dalam setahun, saya merasa masih berusia 12 tahun.
Lalu, bagian keempat, setelah saya menikah. Kehidupan yang hening membuat saya banyak berpikir, dan entah bagaimana lebih sering kembali pada keping-keping ingatan episode 1 dan 2 hidup saya. Saya lebih meresapi pengalaman, memaafkan diri sendiri (beratnya minta ampun), mengikhlaskan apa yang lepas, memahami apa yang di tangan. Begitulah hidup...
Dan beberapa waktu lalu, ketika saya melihat ke belakang. Ada banyak orang yang telah berpulang. Orang-orang penting dalam hidup saya. Meski tak pernah saya ucapkan terima kasih, cinta, dan doa yang layak, Allah pasti mendengar derit yang ngilu di hati ini. Lalu, ada orang-orang yang berubah. Orang-orang yang saya cintai. Selama mereka bahagia dengan cara mereka yang baru itu, biarlah...

Apakah saya berubah? di dalam, ya. Baru-baru ini saya mengikuti kuis iseng tentang usia sesungguhnya jiwa saya. Dan saya yang mau 29 (saat itu) ternyata berusia 42. Indikasinya sederhana, dan saya pikir ada benarnya: saya mulai sering mengkhawatirkan orang-orang yang akan saya tinggalkan :D Saya bahkan menulis 17 surat untuk putri saya hingga nanti dia berusia 21. Saya selalu memastikan suami saya tahu cara mengerjakan sesuatu. Saya mencintai orang-orang lebih banyak, berusaha lebih memaklumi, dan mengikhlaskan hal-hal yang terlepas...
Seseorang bertanya, jika bisa mengulang, saya ingin menjadi apa/siapa?

Saya ingin menjadi diri saya sendiri. Hidup yang Allah berikan ini, tidak akan saya tukar dengan apapun, meski nasib orang mungkin lebih mulus. Saya mendapatkan suami yang sabar, baik, dan anak2 yang luar biasa. Juga kesempatan untuk berbakti pada orang tua. Bagi saya itu berkah.
Tidak ingin mengubah dunia, menjadi wanita cerdas yang memegang kendali?
ya, itu dulu cita-cita saya, waktu saya 15 tahun :D sebelum saya mengerti, menjalankan keluarga agar tetap pada relnya bukanlah pekerjaan mudah. Kalau semua orang berhasil melakukannya, tidak ada lagi yang namanya PR tingkat dunia. Ambisi yang meletup-letup itu sudah jinak sepertinya :D sekarang, saya hanya berpikir, belajar satu, amalkan satu... kalau saya dan keluarga sudah baik-baik saja, saya yakin, energi kami akan menemukan caranya untuk mengalir pada bumi.

Pagi ini, saya tidak berdoa semata-mata karena saya meletakkan doa pada setiap hari, tidak ada hari khusus. Tapi ada helaan napas yang bersyukur, Terima kasih, Allah, saya masih sempat menjejak di usia 29. Tahun lalu, ketika masih 28, saya bertanya-tanya, akankah sampai 29? Jika ya, alangkah bersyukurnya. Dan hari ini saya berbisik hal yang sama. Akankah sampai ke 30? Jika ya.... semoga saya selamat menapakinya. Dalam hening yang penuh syukur, dalam cukup yang menenangkan, dalam ilmu yang teramalkan, dalam kerja-kerja yang menuai cintaNya.

Jika kemarin-kemarin ada gelisah tentang nasib. Hari ini saya merasa Allah memberikan ketenangan itu sebagai hadiah. Siapakah sebaik-baik penjaga selain Allah? Kita hanya mengantar hingga waktu kita sendiri habis, setelah itu, biarlah Allah mengatur segalanya, dengan keindahan seperti yang Ia beri ketika mengatur hidup ini.







Pada akhirnya, tidak semua orang akan menjadi orang besar. Orang besar yang mengurusi hidup orang banyak. Orang besar yang dielu-elu. Orang besar yang berbayar. 
Ada orang-orang yang menjadi orang kecil. Orang kecil yang beruntung.
Beruntung karena ia memiliki rasa syukur.
Beruntung karena ia merasa aman dengan apa-apa yang melekat pada dirinya:
Identitas, kepercayaan, dan pengetahuan.

Meski bagi sebagian orang ia adalah orang kecil,
tapi ia adalah orang kecil yang bahagia.
Memiliki harga diri dan kasih sayang.
Yang bisa bersyukur hanya dengan melihat langit bersih dan udara semilir.

Ia adalah orang kecil, dengan jiwa yang besar.



amazingsky.net 





Adzan subuh. Kadang tergoda untuk menilai suara yang memanggil-manggil itu. Ada yang masih diselimuti kantuk, ada yang begitu syahdu, seolah menembus langit, menceritakan rindunya pada Allah, Rabb pemilik jiwa. Terima kasih para pemanggil...

Ada rasa berat di hati ini, beberapa hari ke belakang. Bumi seolah gelap. Keributan di mana-mana. Dari darah yang tumpah hingga kata yang kotor terlempar dan berserak. Sedih. Karena sebagian besar adalah orang-orang yang bersujud ketika adzan telah memanggil. Ada yang salah. Mungkin karena kita tergesa-gesa, ada satu langkah yang kita lupa. Sungguh, keterburu-buruan itu menyesatkan.

Kudengarkan lagi adzan subuh ini. Suaranya benar-benar seperti menembus langit. Adakah ia menembus setiap hati?

Aku bersedih karena manusia. Aku bertanya-tanya, mengapa kita begitu mudah membenci, menuduh, tersinggung, membalas dengan keji, melontarkan semua yang di kepala, meludahkan semua apa yang belum terpikir, dan tak pernah melihat dengan selain mata...

Sebentar lagi adzan itu berhenti. Aku melihat langit di luar jendela.
Ah... alih-alih menatap langit yang terbentang, aku selama ini bersedih karena melihat langit-langit yang suram.

Mari membuka jendela kita.