Kalaulah anak hanya sekedar anak,
bukan amanah Allah,
bukan bagian dunia di masa depan,
bukan penggenggam palu-palu peradaban..
Kalaulah ia sekedar anak: tentu aku akan memperlakukannya sesuai keinginanku.

Tapi, apa yang aku tinggalkan untuknya akan ditanyai oleh Tuhanku.
Caraku berbicara padanya akan menjadi caranya berbicara pada dunia.
Caraku menghadapinya akan memengaruhi caranya menghadapi zamannya.
Apakah yang kutinggalkan itu adalah kebingungan, ketidakpastian,
Apakah yang kukenalkan adalah cara2 tak beradab, penuh cela dan hina,
Apakah aku menghadapinya sebagai keburukan, beban, penuh keluh kesah, penuh hardikan dan prasangka...




Ada masa ketika saya merasa, betapa tidak mudah membesarkan anak. Dan saya ingat pada orang tua dan keluarga besar yang membesarkan saya. Pastilah tidak mudah. Setiap keputusan benar-benar harus dipertimbangkan. Oh, bukan cuma perkara besar soal sekolah dan semacamnya, tapi bahkan, ketika ketegangan memuncak dan ada dorongan kuat untuk membentak, menghardik, mengabaikan...

Memangnya kenapa kalau saya memarahinya? orang tua punya hak untuk marah. Anak juga harus tau kalau ada masanya orang tua sedang labil, tidak bisa diganggu, dll, "hey son, welcome to the world!"
Ya... mereka memang tidak akan steril dari orang marah selamanya. Akan janggal kalau kita hendak membuatnya tidak pernah menerima kekesalan orang. Tapi sungguh, Maha Baik Allah dengan pengingatnya. Suatu hari ketika kita menua, ia akan berdoa... "Kasihi mereka seperti mereka mengasihiku sewaktu kecil..."
Maka, biarkan ibu dan ayahmu berusaha lebih keras untuk berbuat baik dan menahan marah padamu Nak.. karena kami berutang itu pada Allah.

Apakah anak tidak boleh kecewa?
Saya sering mengatakan tidak pada anak. Tapi bukan berarti sebagai orang tua berhak melepas anak menghadapi kekecewaan sendirian. Saya memilih duduk di sampingnya, menjelaskan segumpal kesal di hatinya yang bernama kecewa. Ada banyak hal tidak mengenakkan di dunia ini, yang akan dia hadapi: orang menyerobot antrian, orang meludah sembarangan, orang mencuri karyanya, usahanya terlambat, seseorang yang dicintainya ternyata bukan jodohnya...
Maka, Nak, saat ini, ijinkan ayah dan ibumu menemanimu menghadapinya. Ingat2lah ini: dunia kadang tidak sesuai dengan yang kita minta. Tapi bukan berarti hidup harus berhenti. Seperti hujan yang turun saat kau berharap panas yang datang, masih ada hal lain yang bisa kau lakukan dan kau syukuri.

Banyak orang tua yang memertanyakan pola asuh liberatif. Parenting ala Amerika, kalau kata seorang kakak saya. Membiarkan anak jadi raja kecil? No... belajarlah lebih lanjut. Membiarkan anak melakukan banyak hal, bukan berarti membiarkan mereka menerabas yang haram, yang tidak disukai Allah. Tapi selama yang dilanggarnya hanyalah ego orang tua (tidak mau repot, tidak mau berisik, tidak mau disusahkan) layakkah kita mengambinghitamkan metode parenting? padahal masalahnya ada di kita.

ah... rasanya akan panjang membicarakan ini. Suatu hari saya ingin sekali mengatakan pada seseorang yang menganggap saya terlalu liberatif. Bahwa menerangkan perkara boleh dan tidak, haram dan halal, baik dan buruk, tidak mesti dengan pelototan, hardikan, apalagi pukulan. kita masih bisa duduk baik2 dan berbincang. Semoga, kelak anak2 kita akan menjadi generasi yang berlapang dada, muthmainnah, tidak tergesa-gesa, dan pintar membuka percakapan alih-alih menghakimi dan melempar batu pada orang.

Membiaran anak menangis agar dia tahan banting? sembuh sendiri dan bangkit lagi?
Maukah kau duduk di sana dan tersedu sendirian Bu? Dunia yang akan dimasuki anak2 kita adalah dunia yang keras. Duduklah di sampingnya selagi masih bisa untuk menyiapkan jiwanya.
Nak, meski dunia keras, bukan berarti kau harus mengeraskan hatimu. Teladani Rasulullah, yg tetap berhati lembut di zamannya yang jahiliyah. Semoga ayah dan ibumu ada ketika kau memanggil, dan kau akan ingat untuk ada ketika zamanmu memanggil.

Ya, saya pernah lepas kontrol, menghardik, mengabaikan. Pada Allah saja saya memohon ampun. Kepada anak saya meminta maaf. Haknya adalah diberi tahu, bukan dihardik, dan karena saya melanggar haknya, maka saya meminta maaf. Agar kelak ia tahu, tak peduli betapa tinggi jabatannya, jika ia melanggar hak seseorang, ia harus meminta maaf dan menebus kesalahannya.

Allah yang Maha Baik, lindungi kami dari sifat mencari pembenaran atas kejahilan kami. Terangkanlah yang salah itu salah, dan yang benar itu benar. Jadikan kami orang yang melihat hikmah. Berikan kami jalan untuk merendahkan hati, agar semakin banyak ilmu yang dapat kami terima dan amalkan. Jauhkan kami dari prasangka dan keterburu-buruan. Selamatkan kami dan anak2 kami hingga akhir jalan yang Kau tentukan. Amin.