Dear You,
Di antara  jemari kita yang bertautan,
aku meletakkan kepercayaan, rasa hormat, kasih sayang, dan permohonan akan kesabaran.

Kurasa itulah cinta.
Percayalah bahwa aku akan selalu berusaha membuatmu bahagia;
Lebih sering tertawa, dan berlapang dada pada satu-dua duka.
Mungkin akan ada kelebatan mendung yang lewat,
Kurasa kita bisa melewatinya, berbagi humor kering sebelum matahari muncul kembali.
Mungkin akan ada nada yang lepas meninggi, kata-kata yang tak kausukai.
Kurasa aku membutuhkan banyak maaf dan kesabaran, kita akan terus belajar.
Dari fajar ke petang,  senin ke minggu, hari ke tahun...
Entah berapa banyak yang akan kita lewati, aku tak akan menghitungnya.
Aku akan menghabiskannya dengan mengenalmu,
lewat sepotong pagi, sejumput hujan, bahkan dalam heningnya malam.
Aku akan bertahan meski sekali dua kali mungkin orang mengatakan aku pasti bosan.
Tidak, aku akan bertahan. Aku akan ada saat kau tertawa, kesal, marah, luka dan berduka.
Aku hanya meminta, agar Tuhan mengijinkannya.
Aku meminta ruang, waktu, dan kesabaranmu.. menjalani ini bersamaku. Tanpa batas waktu.
Will you?

Pada subuh itu, aku akhirnya mendengar sesuatu yang lebih baik dari segala musik, lebih bermakna dari segala lagu.
Pada adzan yang memecah keheningan, entah bagaimana membuatku berani. Ah, hari, terus datang satu per satu, tak bosan meski aku selalu menggerutu; mengisinya tak sepenuh hati. Subuh, membuka hari yang baru, menawarkan semangat yang baru. Adalah aku; mengambilnya atau tetap menutup mata.
Pada kokok ayam itu, aku ingat jauuh ke kampung halaman. Tempat masa kanak-kanakku tertanam. Bersama orang-orang yang sudah tiada. Aneh rasanya, bagaimana kenangan itu terasa begitu hidup; seolah aku masih mendengar keran yang mengalir di belakang, bagaimana aku membaui arang dari tungku dan kopi panas pertama hari itu. Semuanya lekat dalam benak. Aku bahkan mengingat bagaimana penyiar radio itu menyapa pendengar dengan suara serak bangun tidurnya. Dulu aku membencinya, sekarang, aku ingin mendengarnya kembali, bersama orang-orang yang sudah pergi.

Pada segaris jingga di balik bukit yang perlahan naik itu, aku seperti melihatnya bersamamu, Ayah. Aku seperti kembali pada tahun-tahun di mana yang kukhawatirkan hanyalah; dengan siapa aku akan bermain hari ini.

Pada bintang terang yang kemudian hilang, pada rumput yang terjejak oleh kaki, pada air yang mengalir, pada cicit burung yang keluar dari sarang... aku menjumput semangat hidup.
Terima kasih sibuh. Terima kasih untuk lembar-lembar kenangan yang terus melekat.
Setiap kita memiliki hak untuk memilih. Setiap kita memiliki hak untuk menyuarakan pilihannya, atau menyembunyikannya. Itulah makna merdeka.

Setiap orang berhak merasa aman dengan pilihannya, yang bearti kewajiban orang lain untuk menghormati itu; tidak menekan, mengintimidasi, merendahkan, apalagi mencelakai.

Hanya karena seseorang diam, bukan berarti dia tidak berpartisipasi dalam pemilu. Mereka mungkin hanya memilih untuk tidak bertarung di perang semu yang tidak ada habisnya.

Hanya karena seseorang tidak ribut-ribut di socmed, bukan berarti dia tidak peduli. Bisa jadi bentuk pedulinya lain; tidak ikut membagi-bagi berita yang alih-alih membuat negeri ini maju dan damai, melainkan porak poranda dan terpecah belah.

Hanya karena seseorang berbeda pilihan denganmu, bukan berarti ia tidak menginginkan yang terbaik untuk negeri ini: pilihan seseorang selalu dipengaruhi pengalaman dan harapan-harapan hidupnya. Siapa yang lebih mengenalnya daripada dirinya sendiri? Lalu apa hakmu memaksa ia berganti pilihan.

Hanya karena pilihan kita sama, bukan berarti aku harus membenarkan segala caramu dalam mendukung pilihan ita; salah ya salah, benar ya benar. Aku masih memiliki hak suaraku sendiri, dan tidak harus selamanya sepakat denganmu.

Hanya karena kita teman, bukan berarti pilihan kita sama. Ekspektasi kita berbeda, karena pengalaman terkecil saja bisa berpengaruh di sana, sementara, tak semua pengalaman hidupku kuhabiskan denganmu.

Hanya karena pilihan kita berbeda, bukan berarti kita harus putus hubungan. Aku memilih ini, kau memilih itu. Kita tanggung resikonya masing-masing. Kita nikmati proses ini sedamai mungkin.Toh ini akan berakhir, sementara kau adalah temanku--kuharap selamanya.

Kita pikir nasib bangsa ini benar-benar ditentukan oleh apa pilihan kita. Kita lupa kekuatan yang lebih besar: kita sendiri. Kita adalah dua ratus juta lebih nyawa, pikiran, dan hati, yang sanggup berbuat dan bertahan dalam hidup. Mengapa merendahkan diri dengan menganggap salah pilih berarti kiamat? Jika dua ratus juta lebih jiwa itu saling berperang dan memusuhi... kurasa itu baru bisa disebut nyaris kiamat.

--to be continued--