Siapa yang tidak
cinta pada buah hatinya? Rahmat Allah yang diturunkan pada kita, sepasang ibu
dan ayah. Darah kita mengalir di tubuhnya. Raut kita terpahat di wajahnya. Ia
menjadi ahli waris kita. Mewarisi nama, harta, ilmu. Ia menjadi medan amal bagi
kita. Ia menjadi amal yang pahalanya akan terus mengalir. Doanya, doa anak
shaleh, menjadi peringan beban kita di yaumul
akhir.
Cinta kita
begitu besar. Sampai lupa mengapa kita mencintainya. Sebagian kita mengatakan
cinta tanpa syarat. Sehingga kita rela memberi segalanya. Segala yang menurut
kita akan membuatnya bahagia. Kita lupa, hakikat dirinya sama dengan kita:
hamba yang diturunkan ke bumi untuk beribadah.
Kita takut dia
sakit. Kita takut dia terluka. Kita ingin dia selalu baik-baik saja. Kita lupa,
dia bisa tetap baik-baik saja meski dia sakit, dia terluka, jika hatinya di
tempat yang aman: di dekat Rabb-nya.
Anak-anak ibarat
spons. Ia menyerap segalanya. Bukan hanya apa yang dikatakan padanya. Tapi juga
apa yang ia lihat, ia dengar, dan ia lakukan bersama orang lain. Serapan-serapan
itu, saya yakini sebagai apa yang akan membentuknya kelak.
Usia putri saya
tiga tahun. Waktu bergulir cepat, dan saya merasa berbalapan dengan waktu untuk
mengenalkannya dengan hakikat diri sebagai ciptaan Allah. Dulu saya
bertanya-tanya kapan waktu yang tepat untuk memulai semua itu. Lalu saya sadar,
waktu itu tidak perlu ditunggu. Proses ini adalah proses panjang yang harus
dicicil sedikit demi sedikit.
Anak-anak senang
meniru. Mereka melekat pada kebiasaan. Ketika menjadi orang tua, tampaknya kata
teladan dan konsisten juga disematkan di pundak kita. Anak-anak seperti
pengawas yang akan meniru semua perilaku kita, baik atau buruk, bahkan yang
paling tidak sengaja seklipun. Bukan perkara mudah, karena saat malas menyerang
saya, ada sepasang mata manusia kecil yang mengawasi. Ada sebuah kepala mungil
dengan otak aktif yang sedang berpikir dan mencerna mengapa saya demikian. Ada
sebuah hati yang begitu bersih sedang berdebat apakah ia akan meniru saya atau
memprotes saya. Seringnya, ia memprotes saya. Bertanya mengapa begini dan
mengapa begitu. Sejatinya, mereka sedang menguji seberapa konsisten orang
tuanya.
Saat usianya belum
2 tahun, dia sudah berdiri di sebelah saya untuk ikut shalat. Saat itu dia
belum memiliki mukena sendiri. Dengan perasaan campur aduk, saya memakaikannya
jilbab saya yang tentu saja kebesaran untuknya. Dia begitu senang dengan
‘mukenanya’ itu. setelah adzan berkumandang, dia akan membuntuti saya atau
ayahnya untuk berwudhu, memperhatikan cara kami, dan menirunya. Tak perlu
banyak intruksi tambahan, hanya membuatnya kesal dan batal mengikuti. Ia senang
meniru tanpa ketahuan kalau dia sedang meniru, begitulah anak-anak. Mereka
senang diberi tahu apa yang sedang kita lakukan, tapi pura-pura tak mendengar
ketika kita memberi tahu apa yang harus mereka lakukan.
Kadang dia
enggan, kadang dia bergerak lebih dulu ketika adzan berkumandang. Seolah-olah
ingin menguji, seberapa sabar dan konsisten kita melakukannya. Jika kita lulus,
sisanya lebih mudah, mereka akan meniru konsistensi kita. Sampai ia tahu fungsi
adzan adalah memanggil orang untuk shalat. Ia pun dengan ringan berkata, “sudah
adzan, kok nggak shalat?” Ya. Kadangkala lisan mereka menjadi perpanjangan
teguran Allah.
Jika gerakan shalat mudah ia tiru,
tidak demikian dengan bacaannya. Semakin dini memperkenalkannya, semakin baik.
Meski mereka hanya pendengar pasif, ternyata semua yang saya lafalkan terekam
dengan baik. Tak apa-apa shalat menjadi lebih panjang karena harus mengeraskan
suara dan membacanya pelan-pelan, karena ada anak yang mengikuti di sebelah
kita. Anak usia 2 tahun saya bertahan hanya sampai rakaat kedua. Tak masalah
bagi kami. Mendekati salam, dia akan kembali duduk dan menunggu waktunya
berdoa.
Suatu kali, saya sudah membaca ulang
surah Al Ikhlas setidaknya tiga kali. Dan, bukannya mengikuti potongan demi
potongan, anak saya malah memainkan rambutnya. Hati saya sedikit kecewa. Tapi
saya memilih memejamkan mata dan pura-pura tidur. Pelan-pelan, saya mendengarnya
mengulangi surah itu sepotong demi sepotong. Suaranya begitu halus, seolah
takut membangunkan saya. Dia menyerapnya, meski belum sempurna di telinga saya,
tapi saya tahu sudah terekam dengan baik di kepalanya. Hanya masalah waktu
sampai dia bisa mengucapkannya dengan sempurna.
Saya tak berani muluk-muluk memasang
target anak menghafal sebuah surah. Menyenangkan memang ketika melihat ada anak
sesusianya yang sudah hafal satu atau dua surah pendek. Tapi setiap anak
berbeda. Bisa jadi anak itu sudah memulai lebih awal, bahkan di dalam
kandungan. Membebani diri dan anak dengan target hanya akan membuat proses
belajar itu sebagai sesuatu yang berat. Menjadi tergesa-gesa, dan akhirnya
terjebak untuk kecewa. Padahal, setiap sorot kecewa di mata kita, diserap anak
dalam benaknya, membuat mereka enggan, takut, dan tidak percaya diri.
Begitu pula dengan mengaji. Awalnya
dia mengikuti orang tua di dekatnya, ikut membuka sebuah Al-Qur’an, dan
bersuara layaknya orang mengaji. Saya mengikuti alur itu. Ketika dia mulai
menunjukkan kesanggupan untuk lebih, saya memberikannya buku Iqra’ jilid satu.
Ketika saya
kecil, jam-jam belajar Al-Qur’an adalah jam yang tidak mengenakkan. Hanya
karena guru mengaji saya suka memukul dengan rotan, keseluruhan yang saya ingat
dari proses itu adalah sakitnya. Saya tidak menginginkan hal yang sama pada
anak saya. Maka upaya pertama saya adalah membuat momen itu menyenangkan.
Ketika ayah dan ibu duduk bersama, mengaji bersama, dalam suasana tenang tanpa
ketegangan. Apakah saya akan memberikan hadiah boneka untuk prestasinya dalam
mengaji? Tidak. Saya memujinya, mengucapkan hamdallah, tapi tidak memberinya
sesuatu untuk membelokkan motivasinya. Jika dia lelah, dia boleh berhenti.
“Allah pasti pasti rindu suaramu membaca surat-surat-Nya, apa kita besok
mengaji lagi?”
Lalu, datanglah
masa ketika saya mulai bertanya-tanya. Rutinitas beribadah tidaklah cukup.
Bagaimana agar ibadah-ibadahnya tidak sekedar rutinitas, sehingga saya
membenarkan segala cara untuk membuatnya menepati tenggat waktu. Berapa banyak
orang tua yang memberikan jajan tambahan agar anaknya shalat tepat waktu.
Berapa banyak orang tua yang memberikan kerudung cantik dan menakut-nakuti agar
anaknya berjilbab. Tapi, di kemudian hari, anak-anak itu membelok dan
mematahkan semua rutinitas itu, seperti mematahkan pohon yang tak berakar.
Mendirikan shalat yang kosong, memakai kerudung yang hanya menutupi rambut.
Bagian mana yang salah?
Mengenalkan anak
pada Allah sama pentingnya dengan mengenalkan anak pada ibadah-ibadah wajib dan
sunnah. Membuat anak mengerti mengapa ia harus shalat, mengapa ia perlu membaca
surat-surat Allah dalam Al-Qur’an, mengapa ia perlu mengenal dan mencintai
Rasuulullah.
Banyak orang
mengatakan, berbicara dengan anak menggunakan bahasa sederhana. Saya percaya,
kemampuan anak lebih dari yang kita duga. Mengajaknya mengenal Allah dalam
keseharian, dalam rinai hujan yang turun, dalam gugurnya daun-daun, dalam
lezatnya hidangan, bahkan dalam petir yang menggelegar. Ada campur tangan Allah
dalam segala hal. Itu menjadi pondasi kuat ketika mengajaknya untuk mendekati
Allah.
Petang itu dua balita saya bermain
di lapangan yang luas. Matahari bersinar hangat dan langit begitu indah dengan
awan-awannya yang berarak. Putri saya memunguti buah yang bertebaran di
antara rerumputan, memasukkannya ke dalam keranjang. Ia begitu takjub melihat
buah berwarna kuning kemilau itu. Seperti ketika baru mendapatkan sebuah
pemberian, dia bertanya pada saya, “Bunda, ini dari siapa?”
Saya menunjuk
pohon yang berbaris di tepi lapangan. Pohon itu menjulang tinggi. “Dari
sana, mungkin dibawa angina dan burung, jatuh ke tengah rumput-rumput,” jelas
saya panjang lebar.
“Bukan itu. Ini
dari siapa?” tanyanya sekali lagi, dengan penekanan pada kata siapa. Kalimatnya
belum terlalu jelas, saya menebak-nebak arah pembicaraannya.
“Dari Allah,”
jawab saya pendek, menguji akan kemana lagi dia mengarahkan pembicaraan ini.
“Seperti hidung?
Rambut? Mata?”
“Ya benar. Ini
pemberian Allah untuk pohon itu, seperti Allah memberi kita hidung, mata, dan semuanya.”
Dia puas dan
melanjutkan kegiatannya, memunguti buah.
Magrib itu,
sekali lagi dia menguji kesabaran saya. Ia ngambek,
tidak mau ikut shalat. Mungkin kelelahan. Ia tidak memakai mukenanya, hanya
mondar-mandir di sekitar sajadah saya. Meski demikian, saya tetap mengeraskan
suara. Begitu juga ketika berdoa, bershalawat, dan menyebut namanya dalam doa
saya. Saat itu kegiatannya memutar-mutar sajadah saya terhenti. Ia menatap satu
titik dan diam. Entah bagian mana yang diserapnya.
Saya mendiamkannya
setelah itu. Sebagai tanda bahwa ia kehilangan sedikit perhatian saya karena
tidak ikut shalat. Bagi saya, itu adalah imbalan yang pas. Menjelang tidur,
usai membaca cerita, surah pendek, dan shalawat, tiba saatnya membaca doa
tidur. Saya memintanya berbicara pada Allah, apa saja.
“Allah duduk d
Arsy-Nya, di atas sana.”
“Di dekat
bintang?”
“Lebih tinggi
lagi.”
“Allah bisa
dengar Ami?”
“Allah Maha
Pendengar, Nak. Allah juga dengar waktu semut minta hujan berhenti supaya dia
bisa menyeberang ke rumahnya, untuk membawakan anaknya gula.”
Saya meredupkan
lampu, dan berbaring di sebelahnya. Ia tampaknya melihat saya menutup mata.
Lalu saya mendengar kalimat itu, kalimat yang membuat saya dapat merasakan
Allah sedang melihat putri saya. Allah sedang mendengar doa putri saya, doa
yang datang dari hatinya, bukan dari meniru saya.
“Allah, maaf Ami nggak shalat magrib. Tolong jaga Ami,
jaga bunda, jaga ayah, jaga dek Nizam, jaga semut, jaga nenek… makasi untuk
buah-buahnya, ya Allah. Amiin…”
*Tulisan ini dimuat bersama kisah-kisah orang tua lainnya di buku yang gambarnya ada di sebelah ini. I'm wondering, kenapa judulnya panjang banget ^__^