Di rumah saya tidak berlaku program sensor. Ketika melihat artis korea yang pakai rok mini, dengan sendirinya anak-anak bertanya, "Kenapa dia pakai rok sependek itu? Apa aku boleh memakainya?" jawaban saya biasanya, "Boleh, kalau kamu nggak malu sama Allah." dan berikutnya dia sudah tau, yang nampak2 itu berhubungan dengan rasa malu.

Lain waktu, anak saya melihat darah. Dengan penasaran, ia bertanya. "Ih, apa ini?"
saya: "Luka."
Anak:"sakit?"
saya:"Ya. itu darahnya. Luka berdarah kadang bikin sakit. Mau mengobati bunda? tolong ambilkan kotak obat."

berikutnya, ketika adiknya terluka dan berdarah-darah (menginjak beling di parkiran), si kakak mendekat dan mengusap darah itu dengan tangannya. Lalu mencari obat. Begitu saja, ia menerjemahkan luka berdarah sebagai sesuatu yang perlu ia obati, bukan sesuatu yang menjijikkan dan perlu dihebohi.
Sampai, ia ada di pangkuan saya ketika saya membuka berita di Aljazeera. Ia melihat banyak orang terluka. Saya memerhatikan wajahnya yang terlihat tertarik, beralih dari bukunya.
"Anak itu kenapa, bunda?"
saya: "Terluka."
kakak: "Tidak ada yang obati?"
saya: "tidak, pasiennya terlalu banyak, dokternya sedikit."
kakak: "kenapa pasiennya banyak?"
saya: "karena mereka sedang perang. Orang-orang dewasa rebutan tanah dan anak-anak terkena tembakan dan bom."
kakak: "aku mau jadi dokter."
saya: "boleh. InsyaAllah."
ia masih tercenung. "Apa anak itu akan sembuh?"
saya: "tidak, dia sudah meninggal. Jiwanya pulang ke Allah."
Kakak: "Apa dia kesakitan?"
saya: "Mari berdoa, semoga perang selesai dan anak-anak bisa bermain lagi. Atau, kamu mau doakan yang lain?"

Dan dia mengucapkan sederet doa lain, termasuk agar Allah melimpahkan mereka roti yang enak dan hangat.

Kadang, kita menganggap anak terlalu kecil untuk tahu tentang dunia. Padahal perasaan mereka, pertanyaan mereka, sedang menuntut untuk dilatih oleh orang tua. Memang kadang memelahkan berdialog dengan anak, mengingat pertanyaan mereka yang seperti tidak berujung. Tapi janganlah asal menjawab hanya agar anak diam, karena jawaban itulah yang akan membentuk persepsinya terhadap dunia. Tidak remeh, kan?

Apakah anak akan takut pada dunia yang mengerikan atau anak dengan berani maju menjadi penyembuh dunia, ada di jawaban2 orang tua. It depends to us. Mau anak yang aman damai sentosa seperti katak dalam tempurung, atau anak yang memiliki bekal berbagai rasa yang terasah dengan positif dalam menghadapi dunia yang carut marut. Pilihlah!

0 komentar:

Posting Komentar