Baik blog maupun buku, sama-sama kumpulan dari kata-kata, seperti nisan yang bercerita panjang tentang seseorang. Meski penulisnya sudah tidak ada, orang yang membaca buku atau blog seolah-olah masih bisa 'mendengarkan' si penulis berkata-kata. Kadang, ketika saya mengunjungi blog teman yang sudah tiada, saya merasa bertambah rindu padanya, dan berharap tulisannya membawa kebaikan baginya di tempat ia berada saat ini.

Teruslah menulis, begitu bisik saya. Ini adalah sesuatu yang saya tinggalkan sebagai ruang tamu bagi saudara dan sahabat. Semoga tulisan-tulisan itu tidak lekang dikunyah zaman.
Apakah menulis agar terkenal, mendapat banyak 'follower' dan eksis di dunia cyber?
Sebenarnya, saya bahkan takut jika saya dikenal gara-gara apa yang saya katakan, bukan karena apa yang saya lakukan. Sebenarnya, saya lebih suka kesunyian, bebas hiruk pikuk. Sesungguhnya, saya tidak pernah berpikir menjadi seseorang yang dikenal. Saya hanya berharap orang-orang yang saya kenal tak menyesal mereka telah mengenal saya.

Kenapa saya menulis ini, ngomong-ngomong?
Karena saya sedang tidak tahu mau menulis apa lagi untuk saat ini.... ^_^
Pictureperfeckforyou.tumblr

Sudah dua hari Ayah pergi ke kampung halaman di pulau Jawa sana, melaksanakan kewajibannya sebagai seorang anak. Sudah dua hari pula Mbah Uti dipanggil Allah, kembali ke rumahNya, sebenar-benarnya kampung halaman manusia. Tapi saya belum memberi tahu Yasmin tentang kepergian Mbah Uti kesayangannya. Mungkin ia menangkap kalimat-kalimat dari tamu yang berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa. Mungkin ia diam-diam bertanya, kenapa semua orang membicarakan Mbah Putri?

Lalu, di malam menjelang ia tidur, akhirnya saya berkata, "Nak, Mbak Uti sudah meninggal dunia..."
(bukan awal yang baik memang, tapi akhirnya saya memecahkan 'telur' itu).
Dia menangis. Air matanya berurai begitu saja, dan ia menarik ujung kaos tidurnya untuk mengusap air mata itu, sebelum bertanya, "Kenapa?"
Sumpah, saya bingung.
Gagu, saya menjawab, "Ami tahu kalau Mbah Uti sakit, kan? Mbah Uti sudah tua, karena Allah sayang Mbah Uti, Allah panggil Mbah Uti pulang. Waktu Mbah Uti bersama kita sudah habis."
"Seperti kalau bel sekolah Ami bunyi dan kata Bunda waktu bermain Ami habis?"
"Ya, seperti itu."
"Mbah Uti sakit, apa di tempat Allah ada rumah sakit?"
"Tidak. Di tempat Allah, semua orang menjadi sehat, tidak perlu rumah sakit."
"Di mana Mbah Uti tidur?"
"Mari kita berdoa pada Allah, semoga Mbah Uti mendapatkan kamar yang baik, terang, dan hangat..."
Ia mengangkat tangannya mulai berdoa dengan khidmat. Ia kembali membuka matanya,
"Apa Mbah Uti punya makanan?"
"Tentu, Allah menyediakan semuanya. Kita hanya perlu berdoa supaya Mbah Uti tidak kelaparan."
Ia kembali mengangkat tangannya, berdoa, tentang sekeranjang apel, strawberry, susu, sebotol madu, segelas air, dan kue krim yang lezat.
"Siapa yang mengantar Mbah Uti ke tempat Allah?"
"Malaikat Izrail."
"Yang bercahaya, bersayap, dan baik hati?"
"Mmmm. Ya. Tapi kita tidak bisa melihat malaikat," lanjut saya, menutupi keraguan yang bolong bolong.
"Apa Mbak uti terbang bersama malikat?"
"Tidak. Tubuh Mbah Uti disimpan di dalam bumi. Mbah Uti, Ami tahu, yang di dalam sini," saya menunjuk dadanya, "yang pergi menghadap Allah,."
"Kenapa tubuhnya disimpan di dalam bumi? seperti bunda menanam kacang waktu itu?"
"Ya. Karena tubuh manusia diperlukan oleh bumi. Nanti Allah akan ganti tubuh Mbah Uti dengan yang lebih baik, lebih sehat, muda dan cantik."
"Seperti bunda?"
----waktunya melempar botol, pemirsa.....---
"lebih cantik dan sehat dong. Bunda kan sering sakit pinggang."
Ia tersenyum, lebaar sekali. Air matanya sudah kering. "Ami tidak sedih lagi. Mbah Uti sudah baik-baik saja sama Allah."
"Benar, tapi kita harus berdoa setiap hari."
"Apa kalau kita lupa berdoa Mbah Uti dalam bahaya?"
"Tidak. Allah suruh kita berdoa terus untuk Mbah Uti, supaya kita tetap ingat Mbah Uti, dan Mbah Uti senang karena kita mengingatnya."
"Kalau Allah punya mesin untuk memperbaiki Mbah Uti, kenapa Allah tidak kembalikan Mbah Uti ke rumah Mbah Kung?"

Saya tidak tahu dari mana dia dapat ide tentang mesin ini, yang jelas saya perlu waktu untuk menjawabnya.
"Karena... Orang yang sudah meninggal tidak bisa kembali. Waktu MBah Uti di dunia sudah habis."
Dia terkejut sekali. "Kapan kita ketemu Mbah Uti lagi? Ami sangat rindu...." Air matanya kembali merebak.
"Suatu hari kita semua akan meninggal, dan kita bisa saling berjumpa lagi di sana. tapi Bunda tidak tahu kapan. Allah saja yang tahu."

Hening cukup lama. Nizam hanya mengerutkan dahinya mendengar percakapan itu. Tiba-tiba dia berkata, "Ijam mau Ayah pulang ke mari."
Well, dad's little boy.. "Sabar ya, Ayah masih temani Mbah Kung."
Ami sudah pulih tampaknya, ia berkata, "Kenapa Mbah Kung ditemani?"
"Karena Mbah Kung kehilangan MBah Uti, Mbah Kung masih sedih."
"Apa Mbah Kung sudah tua?"
"Ya..." sungguh menyiksa menebak nebak akan ke mana arah pembicaraan ini.
"Kalau begitu Mbah Kung harus makan sayur, olah raga, tidur siang, tdur malam, tidak main panas..."

FYI, itu adalah kumpulan peraturan untuk dia dan adiknya. Titah Bunda.
"Mari kita berdoa semoga Mbah Kung diberi hati yang tenang oleh Allah..." kata saya. Kami berdoa bersama, dilanjut membaca doa tidur.

Senyap seketika. Saya memejamkan mata sejenak sebelum mereka terlelap dan saya kembali beraktifitas--membersihkan meja dapur yang masih berantakan.
Berbicara tentang kematian sebenarnya kesempatan untuk mengenalkan anak pada Allah.  Ada yang hal yang mencuat cuat di benak saya, minta dikeluarkan. Tapi, saya pikir, pelan-pelan saja, biarlah pertanyaan jernihnya yang membawanya pada tahap-tahap pemahaman itu. Saat ini, saya merasa cukup ketika dia bisa mengkhawatirkan Mbah Uti, meminta Allah mengobati khawatirnya dengan segala doa, dan percaya bahwa Allah adalah sebaik baik tempat kembali, bahwa Allah Maha Pengampun, Penyayang, dan kematian bukanlah sesuatu yang buruk sehingga tidak pantas untuk dibicarakan.

Di waktu kemudian, saya berharap masih sempat memberitahunya, bahwa fase hidup berikutnya, yang dilalui setelah kematian itu, memerlukan bekal yang harus benar-benar dikumpulkan selama waktu di dunia ini masih ada. Sebelum bel berbunyi. Sebelum kita harus pergi tanpa bisa kembali.

Lalu saya mendengar kalimat Putri saya, pelan dan jelas,
"Kalau Bunda dipanggil Allah, siapa yang akan cerita untuk Ami dan Ijam?"

"Ayah," jawab saya pendek, mangakhiri dialog panjang.



Pictureperfectforyou.tumblr
Anak laki-laki itu wajahnya bersih, giginya rapi, dengan rambut keriting menggemaskan. Ia begitu lucu, kalau saja ia mau diam sejenak. Umurnya antara 4-5 tahun, sekelas dengan Ami di TK A. Kami memanggilnya Afiz.

Ia seperti tak bisa diam. Ada saja yang membuat kaki dan tangannya bergerak. Menyapa ke sana ke mari, menyentuh ini itu, berlari, menendang, melompat, memukul, melempar... dan semuanya ia lakukan sambil tertawa atau berteriak. Tidak peduli 'korban'nya yang menangis.

Ia anak paling nakal di sekolah. Begitulah kata orang-orang. Jika seorang anak menangis, pastilah nama Afiz yang pertama diteriakkan. Pengasuhnya yang kurus tampak kwalahan mengejar dan mencegah bencana. Konon, beberapa anak sudah babak belur dibuat Afiz.

Setiap kali bertemu anak-anak, saya mematikan asumsi. Biarlah apa yang saya lihat sendiri yang berbicara. Pagi itu, sambil menemani Nizam bermain di ruang balita, saya melihat Afiz keluar dari kelasnya dan menghampiri kami.
"Halo," katanya dengan seringai lebar.
"Hai Afiz," kata saya. "Afiz tidak duduk di kelas?"
Dia menggeleng, masih menyeringai. Dalam satu gerakan cepat, ia merubuhkan jembatan balok Nizam. Dengan kakinya.
Nizam menatapnya kaget.
"Afiz akan membantu menyusun ulang," kata saya cepat, sebelum Nizam balas mengamuk.
Afiz mengangkat bahu, duduk di dekat saya dan mulai membantu Nizam menyusun kembali balok-balok itu. Saya kembali pada bacaan saya. Beberapa menit berselang, saya melihat keduanya sudah berhasil membangun jalan layang, menara, 'lumbung mobil busuk' dan sebagainya. Mereka tertawa bersama.
Di luar, saya lihat pengasuhnya mulai mencari ke mana Afiz.

Sebulan setelah kejadian itu, Afiz berulang kali keluar kelas dan bermain di kelas balita. Pengasuhnya cemas hal ini akan memengaruhi pembelajaran Afiz. Saya heran, apa sih yang diharapkan anak seusianya dipelajari selain bekerja sama dengan baik dan ketekunan dalam mengerjakan sesuatu? Bagi saya, dua hal itu jauh lebih penting daripada kemampuannya berhitung dan membaca, di usia ini. Tapi saya tidak punya hak mencampuri urusan pendidikan Afiz. Saya hanya bisa 'meracuni' pemikiran pengasuh dan gurunya, untuk membiarkannya bermain bersama kelas balita yang belum dicekoki calistung.

Suatu hari, kami di luar mendengar suara jeritan anak dari dalam kelas. Di kelas, guru sedang kesulitan memisahkan dua anak yang sedang berkelahi. Afiz dan seorang anak. Ibu-ibu yang sedan menunggu di luar berkata, "Anak itu memang nakal."
Tidak ada orang tua yang mau anaknya duduk di dekat Afiz.

Pengasuhnya tertunduk dengan rasa bersalah.

Siang itu saya mengawasi anak-anak bermain di dekat perosotan. Afiz dan Nizam bermain bersama. Dari tempat saya berdiri, saya melihat seorang anak menyikut Afiz. Afiz, yang cenderung cepat terpancing, berteriak dan mengejar anak itu. Untungnya ada yang segera memisahkan mereka.

 "Afiz nakal!"
"Kenapa Afiz pukul?"
"Memang nakal. Dihukum saja."
Begitulah suara penonton.
Ia meronta-ronta di pelukan gurunya. Menangis begitu keras. Ketika akhirnya ia tidak mau masuk kelas dan memilih duduk di ayunan di luar, ia masih tersedu.

Tidak ada yang mendengarnya. Tidak ada yang peduli untuk bertanya siapa yang memulai. Meski saya sendiri tidak pernah bertanya siapa di antara anak-anak yang lebih dulu memulai, setidaknya orang tua harus bersikap adil, tidak menyalahkan salah satunya. Keduanya berhak didengar. Keduanya berhak mendapatkan kesempatan untuk saling memaafkan, tanpa harus ada yang disebut di biang kerok atau si anak nakal.

Karena memang begitulah mereka berinteraksi. Menguji batas kesabaran satu sama lain. Menguji batas toleransi orang lain. Mencoba-coba apa yang membuat orang memerhatikannya. Mencari tahu mana yang boleh, mana yang berbahaya, mana yang tidak boleh tapi sebenarnya tidak apa-apa jika dilakukan.
Anak-anak adalah manusia yang masih cepat merasa bosan, ingin tahu banyak hal, ingin mencoba semua cara, tidak hanya cara biasa seperti yang ia lihat atau orang tua ajarkan. Itulah yang seringnya kita sebut nakal. Padahal, mereka hanya belajar tentang dunia dengan caranya sendiri.

Anak-anak yan dilabeli nakal, bodoh, bebal, liar, seperti kehilangan haknya untuk dipercayai. Seolah-olah ia tak lagi pantas didengar. Di mana ada suara tangisan, maka anak nakal itulah yang menjadi tertuduh sebagai penyebabnya.

Melihat Afiz yang menangis tersedu tanpa seorang pun yang memercayai bahwa ia tak salah, membuat hati saya ngilu. Sayang, saya bukan ibunya, pengasuhnya, gurunya, apalagi kepala sekolah. Saya hanya bisa  mengeluarkan pesawat mainan dari tas Nizam,
"Kita masih punya waktu sepuluh menit, Ijam mau main sama Afiz? Pinjamkan dia ini,"
Putra kecil saya, yang sedari tadi memerhatikan Afiz, berlari memanggil temannya, dengan pesawat merah di tangan. "Kakak Apiiiz, ayo maiin..."

Andai saya bisa melakukan lebih. Andai saya bisa memeluknya dan berkata bahwa saya memercayainya.
Fineart
Beberapa tahun lalu, saat Ami baru saja lancar berbicara, ia sering mempertanyakan banyak hal. Kadang tercetus begitu saja di depan orang.
Saya ingat hari itu kami pergi ke toko sepatu di pinggir kota Jogja. Toko itu tidak terlalu ramai. Sementara saya mencoba sepatu, Ami duduk di sofa di dekat saya dengan tatapan yang menjelajahi ruangan. Tiba-tiba ia berseru, "Wah, orang itu ketiaknya kelihatan. Malu ya, Bunda?"

Saya spontan menoleh, bukan karena mau melihat ketiak, melainkan cemas seruan anak saya akan terdengar dan disalahpahami. Ternyata seorang asing, berambut pirang dan kulit pucat. Di siang terik, wanita itu memakai tank top hitam dan celana pendek coklat. Sepertinya ia tidak mendengar celetuk Ami, kalaupun dengar sepertinya ia tidak mengerti.
Saya mendekati Ami, dan berkata pelan. "Allah meminta Ami menutup ketiak, bukan?"
"ya," jawabnya mantap. "Juga perut, pantat, dan yang lain."
"Mungkin dia belum mendengar Allah. Jadi jangan bilang keras-keras, nanti dia jadi malu dan pergi."
Sungguh, itu bukan usaha yang sekali jadi. Pemahaman tentang akhlak agar tidak mencela pakaian orang itu saya tanamkan setiap kejadian muncul. Pada orang berbaju warna-warni, pada orang yang rambutnya tak biasa, pada orang yang risletingnya terbuka, pada semua bentuk yang tidak sesuai dengan apa yang ia pahami sebagai sesuatu yang harus terjadi atau dilakukan.

Ketika usianya memasuki empat. Seorang anak tetangga, berjilbab, berkata pada Ami yang memakai kaos dan celana. "Tidak malu, berpakaian seperti laki-laki!"

Putri saya pulang dan menangis. Saya bisa merasai luka hatinya. Naun saya tidak terkejut. Bahkan orang dewasa banyak yang sama 'polosnya' dalam berkomentar.

Beberapa orang tua mungkin bangga ketika anaknya berani menunjukkan jari pada orang yang berbeda darinya. Mereka bilang itu fitrah anak dalam menilai.

Bagi saya tidak.

Karena pemahaman saya yang masih dangkal ini belum memberitahu saya bahwa saya harus menuding dengan keras dan kasar pada orang yang menurut saya tidak sama dengan saya. Pada hati, pemahaman anak akan tumbuh mengenai mana yang benar, patut, dan mana yang belum benar dan tidak patut. Di akal, kebijakannya haruslah tumbuh pula dalam menimbang-nimbang bagaimana menyampaikan sesuatu dengan tepat. Pesan yang benar haruslah disampaikan dengan baik.

Ada berbagai alasan kita berbeda. Dan kalaupun saya tahu alasannya, tidak berarti saya berhak menilainya dan menjadi hakim di depannya. Ada cara halus untuk memberitahu mereka yang seiman, dan kerendahhatian untuk tidak memaksakan aturan dan nilai kita pada orang yang tidak seiman. Ya, kita perlu tegas. Tapi tidak mempermalukan sesiapa.

Di Facebook, saya sering menemukan bagaimana poster-poster mengibaratkan orang yang tidak menutup aurat seperti ayam. Mengatakan mereka yang tidak berhijab serendah benda mati. Saya sedih. Saya malu karena beberapa teman saya menganggap mempermalukan saudaranya adalah bentuk dari menjaga malu. Seolah-olah kehabisan kata-kata baik dalam menyeru.

Teringat pada sebuah buku yang saya baca di awal-awal kuliah. Buku itu berjudul Bekal Dakwah Akhwat yang ditulis Haidar Quffah. Di sana, Haidar bercerita, pernah ia berada dalam pesawat dan duduk di dekat seorang wanita. Parfum wanita itu tercium hingga ke hidungnya. Haidar paham bahwa wewangian wanita haram hukumnya sampai pada hidung lelaki. Tapi ia menahan diri dari menegur wanita tersebut. Pertama, ia tidak yakin wanita itu muslim dan mengetahui hukum tersebut. Kedua, ia tidak ingin membuat wanita itu malu karena menegurnya sementara ia adalah orang asing.
Saya lupa bagaimana akhirnya Haidar menyelesaikan perkara tersebut. Yang saya ingat adalah, betapa pengetahuan akan sesuatu tidak membuat kita berhak menerabas batas-batas kesopanan dalam menyampaikan pesan. Bahwa menjadi alim, berilmu, tidak membuat kita serta merta menjadi hakim dan wajib didengar di mana pun.

Kalaulah dakwah memang disampaikan dengan lidah pedas dan telunjuk tajam yang menyasar ke mana-mana, tentulah hari ini kita tidak akan mengenang Rasulullah sebagai pribadi yang berakhlak mulia. Satu kata yang sering dlupa: ADAB.



Di sekolah, ketika tiba waktunya bermain, ada pemandangan yang selalu sama.
Anak-anak yang heboh bermain, jungkir-balik, tertawa, menjerit, menangis.
Ada guru dan pengawas yang ikut gembira sekaligus cemas.
Ada orang tua dan pengasuh yang seperti elang, mengawasi dari jauh dalam diam, melesat cepat tepat sebelum sasaran jatuh ke tanah. Atau ada pula yang seperti bangau, yang sesekali mengangkat kepala dari gadget, dan berseru, "Awas!"

Ada yang hilang di sana.
Seseorang yang mengingatkan tentang baiknya mengantri, serunya bergiliran, asiknya bekerja sama, indahnya memaafkan.... di antara hiruk pikuk itu, sesungguhnya kesempatan untuk mengasah perilaku anak telah terbengkalai.

Alih-alih teriakan cemas dan segala larangan.

Ada yang hilang di taman bermain sekolah anak-anak hari itu. Pendidikan. Sejak perilaku baik dan sopan tinggallah kata-kata dalam poster di dinding kelas atau lembar-lembar buku. Kalah oleh gaung berhitung dan membaca.







Sekolah sudah bubar beberapa saat yang lalu. Masih ada beberapa anak bermain di halaman. Hujan turun rintik. Anak-anak tak peduli. Mereka berlari, memanjat, melompat. Menjerit dan tertawa. 
Saya duduk di gazebo di samping gerbang sekolah, menunggu jemputan datang. Tak jauh dari saya, seorang anak perempuan duduk dengan kakinya yang bergoyang. Matanya menatap teman-temannya yang sedang bermain, sesekali melempar pandang ke gerbang. 
Orin, gadis kecil bermata tajam dan berambut hitam lebat itu adalah anak dari kawasan tinggal saya juga. Ia juga sekelas dengan Yasmin, putri sulung saya. Kadang mereka memang berdua. Saya ingat Orin beberapa kali ikut makan dan mandi di rumah. 
"Hari ini Mama yang jemput?" tanya saya setelah menggeser duduk untuk lebih dekat dengannya.
"Em..." jawabnya, mengangguk dan kembali menggoyangkan kaki. 
Rinai hujan semakin rapat. Saya memanggil anak-anak agar berteduh. Mereka mengabaikan, tentu saja. Mereka baru mendekat dengan kepala basah beberapa menit kemudian, tergelak di antara kecipak air yang dihentak kaki-kaki kecilnya.
Jemputan datang.
Saya memanggil Orin, mengajaknya pulang bersama. "Nanti Tante telepon Mama Orin, ya? Mungkin Mama masih ada pekerjaan."
Orin menatap ke seberang jalan, tempat gedung kantor mamanya berada. Ia mengangguk, menyeret tas dan langkahnya.
Hujan sudha berhenti, menyisakan bau tanah dan rumput segar. Bunga pukul sepuluh tetap mekar dengan bandel di pot-pot di halaman. Sementara anak-anak masuk dengan berisiknya, saya mengantarkan Orin. Baru beberapa langkah, telepon saya berbunyi. Ada pesan masuk.

Bunda Ami? Masih di sekolah? Orin belum pulang juga Bu, bisakah tolong ibu lihatkan? Saya khawatir.

Saya segera membalas. Orin sudah dengan saya. Ini Mama Orin ya? Nomor baru ya Bu? :)

Di depan rumahnya, di bawah payung, seorang wanita paruh baya berdiri. Pengasuh Orin di rumah, saya mengenalnya. Ia sedang memakai ponselnya sambil berjalan.

Ponsel saya kembali berbunyi.

Tak peduli pada hujan, Orin berlari menuju pengasuhnya. Ia tertawa. "Aku pulang bareng Amii..."
Setelah mengantar Orin dan sedikit berbasa-basi, saya pulang. Anak-anak sudah berganti baju dan menunggu susu hangat. "Jangan terlalu panas ya Bundaaa..."

Saya memerika ponsel saya. Meski saya sudah tahu jawabannya. 

Ini Tante yang jaga Orin, Bunda. Terima kasih banyak, Bu. Biar saya jemput Orin ke sana...

Setiap anak mungkin menginginkan seorang ibu. Setiap anak, pasti menginginkan cinta dan kasih sayang. Handuk kering di saat kehujanan. Susu hangat di saat kedinginan. Segelas air di saat kehausan. Berbahagialah mereka yang memiliki ibu untuk menyediakannya. Jika tidak ada, semoga Allah hadirkan orang penuh cinta lainnya di hari-hari mereka, dan semoga Allah membalas jerih ibu yang bekerja dengan sebaik-baiknya. Allah Maha Pengasih. Allah Maha Penyayang. Aamiin.







ASEAN Youth Volunteers Network

ASEAN: One Vision

ASEAN, yang tahun ini memasuki usia ke 46, telah bertumbuh menjadi kekuatan besar yang cukup dipertimbangkan, di mata dunia. Sementara di dalam negara-negaranya, terutama di Indonesia, saya berharap ASEAN lebih dari sekadar sebuah bab bahasan dalam sebuah buku pelajaran IPS. Membicarakan ASEAN bagi generasi ini seperti nostalgia tentang orang-orang heroik yang berhasil menandatangani sebuah kesepakatan dan cita-cita bersama yang mulia. Peace, prosperity, and freedom.

Cita-cita itu mungkin belum sepenuhnya terwujud, tapi setidaknya formula untuk mencapainya sudah mendekati yang paling tepat untuk masa ini. Lihat saja bagaimana Komunitas ASEAN 2015 telah mulai digagas. Seperti sebuah gurita yang menggeliat, tentakel-tentakelnya mulai bergerak. Berbagai komunitas sebagai bagian dari roadmap menuju Komunitas ASEAN 2015 telah berjalan. Di dunia pendidikan, ekonomi, pariwisata, geliat ini lebih terasa.

Tapi, apakah ASEAN hanya milik mereka yang bermodal yang bersinggungan dengan perekonomian kelas dunia? Atau hanya milik mereka yang duduk di universitas bergengsi dan mendapatkan kesempatan untuk pertukaran pelajar di negara-negara ASEAN?

Sejatinya ASEAN adalah milik semua warga negara anggotanya. Peace, propsperity, dan freedom yang diidam-idamkan oleh para pendirinya dahulu itu bukanlah milik selapis warga negara saja. Ia tidak semata-mata menjadi bahasan eksklusif kaum cerdik cendekia, namun terasa jauh ketika warga berdebat tentang batas-batas budaya dan ketimpangan kemajuan antarnegara. 
Menjadi bangsa maju yang berada di garis depan pelaku pembangunan seharusnya mampu mendorong setiap warga bangsa untuk berbenah. Jika tidak ingin menjadi penonton dan objek kebijakan di masa depan, maka hari ini adalah titik awal untuk segera mengejar ketertinggalan. Ada pekerjaan rumah yang menunggu kita: kemerataan pendidikan bagi anak-anak kita, keseteraan kesempatan berusaha bagi semua kelompok ekonomi, dan keadilan gender. Sejalan dengan itu, ketika ASEAN akan menjadi bagian dari tatanan dunia yang stabil dan damai, maka negara-negara di dalam ASEAN memiliki tanggung jawab untuk menjaga komitmen terhadap kestabilan dan kedamaian hubungan regionalnya. 



ASEAN: One Identity

ASEAN Cultural Exchange
ASEAN, sejak semula adalah kerja sama regional yang dibangun di atas keragaman. Negara-negara anggotanya memiliki sistem pemerintahan dan politik yang berbeda, mata uang yang berbeda, bahasa yang berbeda, keunggulan sumber daya yang juga berbeda. Jikalah tidak berbeda, ia beririsan sehingga mudah membuatnya bergesekan--ingat kasus kemiripan budaya antara Mayasia dan Indonesia?
Untuk menjadi apa yang kita cita-citakan, sebuah komunitas kelas dunia yang berperan aktif dalam peta peradaban, setidaknya kita harus berangkat dari titik pemahaman yang sama.  Bahwa yang membuat kerja sama ini memungkinkan bukanlah dasar yang sama, namun keinginan yang sama untuk menjadi entitas besar yang kuat dan tidak terjajah.
Kita memang beragam, dan keragaman yang bersinggungan ini kadang-kadang meletup, menimbulkan gesekan identitas dan kepentingan. Sebutlah itu konflik. Jika kita antarbangsa di dalam ASEAN masih kesulitan untuk berdamai, bagaimana kita akan menjadi referensi perdamaian bagi dunia? 
Kehidupan Indonesia yang multikultural menjadi semacam cermin bagi kemampuan kita untuk hidup dalam keragaman. Kemampuan untuk bertoleransi. Kemampuan untuk mengedepankan kesamaan visi, alih-alih mengedepankan perbedaan. Jika kita-masyarakat Indonesia-masih sensitif dengan cara tetangga kita melakukan urusanpribadinya, maka pertanyakanlah kemampuan kita untuk menolelir tetangga bangsa kita.

Perbedaan yag berasal dari akar budaya tak seharusnya ditentangkan. Kalaulah ada perbedaan yang membuat kita harus berlomba, maka berlombalah demi kesetaraan pendidikan, kemerataan ekonomi, kemampuan berbahasa antarbangsa.

Apakah menjadi satu identitas berarti melunturkan identitas asli kita? Tentu saja tidak. Kita tetaplah apa yang diwariskan oleh bangsa kita dalam nilai-nilai baiknya. Dalam dunia yang lebih luas, kita tetap menyimpan identitas itu, kemudian melebur dalam entitas yang lebih besar: bangsa yang beradab; bangsa yang damai;  bangsa yang cendekia; bangsa yang adil. 


ASEAN: One Community

ASEAN Blogger Community

Jadi di sinilah kita, sebagai sebuah tubuh yang lebih besar dan beragam warna. Mengambil dan memberi keuntungan. Merumuskan dan melaksanakan kebijakan, bukan lagi untuk kepentingan semata-mata sebuah bangsa, tetapi multibangsa. Ketidakmampuan kita menghadapi gejolak regional akan membawa kita mundur dari percaturan politik-ekonomi-sosial secara global. Namun tergesa-gesa mengeluarkan kebijakan dengan mencampuri urusan rumah tangga negara sahabat akan membuat perseteruan regional. Beban untuk menjalani hubungan tersebut tidak hanya ada di pundak pemimpin negara, melainkan di pundak seluruh warga negaranya. Harapan paling sederhananya adalah, sebanyak itu sebuah bangsa berkontribusi, semoga sebanyak itu pula seluruh bangsa mendapat manfaatnya.
Sebuah komunitas bisa saja dibangun dengan dasar kesepahaman dan kesepakatan. Namun yang mengisinya dan membuatnya menjadi komunitas yang bekelanjutan, adalah perilaku orang-orang di dalamnya. Beberapa orang mungkin akan menganggap ASEAN melulu tentang kesepakatan perdagangan yang mementingkan negara-negara bermodal besar. Beberapa yang lain bisa saja menganggap ASEAN hanya lembaga formalitas di mana para pemimpin  bertemu dan berbasa-basi tanpa bisa membuat keputusan yang signifikan, atau lowongan pekerjaan bagi mereka yang suka menyusun rencana tanpa tahu bagaimana mewujudkannya. 
Ya, bisa saja begitu. Kalau kita membiarkannya begitu. 

Sharing and Caring...
People
Sebagai bagian dari netizen, ketika dunia kita lebur dari batas-batas geografis, persebaran ide terjadi dalam hitungan detik, dengan jangkauan yang luas. Kita mengambil dan memberi informasi di dunia cyber. Mungkin di sinilah satu-satunya tempat bagi manusia untuk lebih dulu melihat isi daripada kulit. Mengutamakan informasi daripada pembawanya. Mungkin itulah sebabnya, para blogger (penulis blog) lebih mudah menjalin hubungan antarbangsa daripada orang-orang di luar sana. Di masa ini, blogger menjadi duta bangsa tak resmi yang terus menyuarakan pelbagai berita. Ketika berita di media mainstream tidak bisa lagi dipercaya, maka blogger memiliki tempat khusus sebagai referensi kabar. 

Komunitas ASEAN Blogger kemudian menjadi signifikan, mengingat jumlah dan jangkauan keberadaannya. Setiap blog anggota komunitas ini bisa berkontribusi sesuai dengan keahliannya masing-masing. Tidak hanya menyebar informasi pariwisata dan kuliner (yang tampaknya paling banyak peminat, sejalan dengan tren backpacker di Asia), tetapi juga dalam penyebaran ilmu, pengetahuan budaya negara lain, peluang ekonomi, gerakan lingkungan hijau, semuanya bisa bekerja sama lebih baik dengan bantuan informasi dari para blogger. 
Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengambil peran dalam  lompatan menuju Komunitas ASEAN 2015. Tetapi tidak semua orang dimudahkan untuk memiliki jalan menuju peran itu. Blogger, dengan segenap potensi yang dimilikinya, haruslah benar-benar memanfaatkan kesempatan ini. Jika kita masih bertanya mengapa, maka wajah-wajah anak bangsa inilah yang bisa menjadi alasan kita untuk bersuara dan mengambil posisi dalam tubuh Komunitas ASEAN 2015:

Pasar Indonesia

Petani Indonesia


Pelajar Indonesia









Di rumah saya tidak berlaku program sensor. Ketika melihat artis korea yang pakai rok mini, dengan sendirinya anak-anak bertanya, "Kenapa dia pakai rok sependek itu? Apa aku boleh memakainya?" jawaban saya biasanya, "Boleh, kalau kamu nggak malu sama Allah." dan berikutnya dia sudah tau, yang nampak2 itu berhubungan dengan rasa malu.

Lain waktu, anak saya melihat darah. Dengan penasaran, ia bertanya. "Ih, apa ini?"
saya: "Luka."
Anak:"sakit?"
saya:"Ya. itu darahnya. Luka berdarah kadang bikin sakit. Mau mengobati bunda? tolong ambilkan kotak obat."

berikutnya, ketika adiknya terluka dan berdarah-darah (menginjak beling di parkiran), si kakak mendekat dan mengusap darah itu dengan tangannya. Lalu mencari obat. Begitu saja, ia menerjemahkan luka berdarah sebagai sesuatu yang perlu ia obati, bukan sesuatu yang menjijikkan dan perlu dihebohi.
Sampai, ia ada di pangkuan saya ketika saya membuka berita di Aljazeera. Ia melihat banyak orang terluka. Saya memerhatikan wajahnya yang terlihat tertarik, beralih dari bukunya.
"Anak itu kenapa, bunda?"
saya: "Terluka."
kakak: "Tidak ada yang obati?"
saya: "tidak, pasiennya terlalu banyak, dokternya sedikit."
kakak: "kenapa pasiennya banyak?"
saya: "karena mereka sedang perang. Orang-orang dewasa rebutan tanah dan anak-anak terkena tembakan dan bom."
kakak: "aku mau jadi dokter."
saya: "boleh. InsyaAllah."
ia masih tercenung. "Apa anak itu akan sembuh?"
saya: "tidak, dia sudah meninggal. Jiwanya pulang ke Allah."
Kakak: "Apa dia kesakitan?"
saya: "Mari berdoa, semoga perang selesai dan anak-anak bisa bermain lagi. Atau, kamu mau doakan yang lain?"

Dan dia mengucapkan sederet doa lain, termasuk agar Allah melimpahkan mereka roti yang enak dan hangat.

Kadang, kita menganggap anak terlalu kecil untuk tahu tentang dunia. Padahal perasaan mereka, pertanyaan mereka, sedang menuntut untuk dilatih oleh orang tua. Memang kadang memelahkan berdialog dengan anak, mengingat pertanyaan mereka yang seperti tidak berujung. Tapi janganlah asal menjawab hanya agar anak diam, karena jawaban itulah yang akan membentuk persepsinya terhadap dunia. Tidak remeh, kan?

Apakah anak akan takut pada dunia yang mengerikan atau anak dengan berani maju menjadi penyembuh dunia, ada di jawaban2 orang tua. It depends to us. Mau anak yang aman damai sentosa seperti katak dalam tempurung, atau anak yang memiliki bekal berbagai rasa yang terasah dengan positif dalam menghadapi dunia yang carut marut. Pilihlah!
Setiap ibu yang bekerja, mungkin merasa terbelah hatinya ketika harus meninggalkan si kecil di rumah. Entah dengan ibu/mertua, pengasuh, saudara... kalaulah boleh, pasti rasanya ingin bersama dengan anak sepanjang waktu. Apalagi, ketika waktu yang ingin digenggam itu terasa bergulir begitu cepat...

Saya memutuskan untuk menemani anak-anak di rumah, alih-alih bekerja. Meski dengan banyak konsekuensi (ga bisa berfoya-foya karena tidak ada gaji ganda, hehehe) juga dianggap tidak memanfaatkan ilmu.
Sudahlah, saya tidak akan membela diri. Terserah saja. Setiap ibu punya tantangan, bukan? Dari yang kecil sampai besar...(tantangannya ya, bukan body-nya :D)


Para SAHM (Stay at Home Mom) kadang dikomentari, "Enak ya, jadi ibu rumah tangga..."

Bu, percayalah, menjadi ibu itu bukan perkara enak dan nggak enak. Kita semua memilih. Ibu-ibu yang tidak berseragam itu juga sudah memilih, menerima resiko, menegakkan harga diri dan tetap berjalan. Begitu juga ibu yang bekerja. Karena kehadiran anak bukanlah perkara yang kita putuskan sendiri. Ada kekuatan Allah di dalamnya. Namun untuk memutuskan akan menjadi ibu seperti apa kita, kitalah yang menentukan. Pilihan apakah kita akan membersamainya atau memilih ladang lain. Pilihan antara menjadi ibu yang kuat atau ibu yang terus memandangi diri di cermin, "Bagaimana aku terlihat di mata masyarakat?"
 
Pernah, melihat seorang sahabat yang risau karena harus meninggalkan anaknya dengan pengasuh. Di lain waktu, ketika pengasuh mendadak libur, ia harus membawa putrinya ke tempat kerja. Babak belur lahir batin: menghadapi keriuhan, cibiran, dan multichallenge dalam waktu yang bersamaan. Sedih sekaligus takjub melihatnya. Siapa bilang menjadi ibu bekerja itu enak-enakan?

Tidak semua ibu yang bekerja akan menghasilkan anak yang terlantar, kurang kasih sayang, tidak terurus lahir batinnya. Ada yang bilang, anak yang ibunya bekerja, yang dirindukannya adalah pengasuh, yang disukainya adalah masakan pembantu. Benarkah? Mmm....nggak sedramatisir itulah. Satu dua ada yang begitu, tapi bukan karena ibu bekerja, tapi karena ibunya emang ga bisa masakdan jarang mangku anak :)

Dan tidak semua ibu rumahan akan menghasilkan anak santun baik budi dan bergizi.
masalahnya adalah, berusaha atau tidak?

Semoga kita menjadi ibu yang menyadari diri kita sebagai ibu. Jika kondisi membuat kita harus bekerja, semoga Allah kuatkan hati kita untuk mengemban amanah ganda. Jika kita menjadi ibu yang berkesempatan di rumah 24 jam bersama anak, semoga kita ingat bahwa Allah sedang mengawasi amanah ini.

Menjadi ibu bekerja tidak membuat seorang ibu bisa berhenti memikirkan anaknya. Sama seperti menjadi ibu di rumah tidak membuat seorang ibu abai terhadap kondisi dunia di luarnya. Jadilah ibu yang kuat. Ketika telah mengambil keputusan, jangan merengek.

Dulu, awal-awal karir saya sebagai ibu rumahan (lagaaak), saya sakit hati kalau ada yang dengan suka rela menyebut saya tidak berpendidikan dan tidak berpengaruh pada perubahan dunia. Ibaratnya, saya ini sebutir debu atau rakyat jelata yang kalau krisis tiba, dikorbankan tidak apa-apa. Beuh. Lama-lama, setelah memikir ulang kenapa saya ada di posisi ini, saya mulai lapang dada dengan komentar orang. Toh itu cuma komentar. Mereka tidak tahu apa-apa, lalu kenapa hal seperti itu harus mengubah prinsip saya.

Tidak adil menilai ibu yang bekerja sementara saya tidak pernah merasakannya. Begitu juga sebaliknya.
Memilihlah karena prinsip. Sertakan Allah dalam setiap pilihan. Sehingga ia tak tergoyahkan.
Keraguan, ketidakpercayadirian, bertindak setengah-setengah, akan terlihat dalam keseharian kita. Ibu rumahan yang tidak ikhlas berada di rumah, akan terlihat oleh anaknya, sehingga anaknya merasa menjadi penyebab dunia ibunya menyempit. Ibu yang bekerja namun pikirannya ada di rumah, tidak bisa fokus bekerja apalagi menghasilkan sesuatu bagi dunia.
Jangan melangkah setengah-setengah. Kekuatan para ibu dalam setiap tindakannya akan menginspirasi anak untuk menjadi kuat, menjadi superhero dalam benaknya, di lapangan manapun yang ibu pilih untuk bertarung.


Ibu yang bekerja demi biaya sekolah anak-anak, demi meringakan beban suami agar tidak bekerja dari minggu malam hingga sabtu pagi, bukanlah ia sama mulianya dengan ibu yang meninggalkan standar hidup tinggi demi sebuah pekerjaan tak bergaji bernama "ibu rumah tangga"... Pada Allah sajalah kita bertanggung jawab. Saat ini, cukuplah kita berkuat diri dan mengingat-ingat, kenapa masing-masing kita ada di sini.

Tegakkan kepala, Bu, ada anak-anak masa depan yang sedang mengamati, seberapa tangguh kita menanggung beban zaman. Saya ingat sebuah pepatah, Bukanlah untuk menjadi tempat bersandar seorang ibu diciptakan, melainkan agar bersandar itu tidak lagi diperlukan.

Kuatlah, Bu, maka ia juga akan kuat sepertimu. 



Jelang sahur. Gorontalo.






Bagi saya, pertanyaan apa kabar itu penting. Kalau saya menanyakan "apa kabar?" saya senang sekali mendengar jawaban yang panjang lebar. Karena ketika saya bertanya apa kabar, saya benar-benar mau mengetahui kabarnya, bukan sekedar basa-basi di awal pertemuan. 

Jaman masih aktif di organisasi kampus dulu, seorang rekan menganggap saya 'keterlaluan' karena bagi saya mengetahui kabar rekan-rekan dan staf saya jauh lebih penting daripada mendengar laporan kerja. Itu menurut dia. Buat saya pribadi, saya akan mengetahui kabar mereka lebih dulu sebelum bertanya tentang tugas mereka. Pernah, seorang ketua tim berkata pada bawahannya, "Kamu mau pulang lagi? Terus tugasmu bagaimana? Ya sudahlah. Salam untuk bapak ya." Sang ketua tidak tahu, bapak yang ia maksud sudah meninggal dunia beberapa minggu sebelumnya. 

Dengan mengetahui kabar seseorang, saya tahu saya berhadapan dengan kondisi apa dan tuntutan apa yang memang layak saya berikan padanya. Karena itu sebelum membuka laporannya, saya bertanya, "ada kabar apa minggu ini? Kabarmu, maksud saya. Kalau kabar nasional saya bisa baca koran..."

Lately, saya melihat teman-teman saya kebanyakan masih sama, seperti saya yang juga masih sama seperti dulu: saya sibuk bertanya apa kabar pada semua teman-teman saya, dan mereka melaju dalam pekerjaan besar bernama membangun peradaban... :) I guess.

Hari ini saya sedang berduka. Tanah kelahiran saya diguncang gempa 6,5 SR. Banyak yg tewas, hilang, luka...dan tidak sedikit rumah2 yang hancur dan sekolah2 rubuh. Hidup mereka mungkin diamputasi mendadak. Saya berdoa, semoga dengan ini Allah melembutkan hati mereka, membuat kita mempersering menyebut namanya, dan merenung. There's something wrong with our life. Each of us need to figure it out.

Biasanya musibah seperti ini akan cepat menimba simpati nasional. Kenapa sekarang tidak? Ada kejadian yang mereka anggap lebih penting di luar sana. Kisruh politik dunia Islam di Mesir. 
Saya mencoba berprasangka baik. Sedikitnya hastag Pray For Gayo dibanding Pray for Mesir mungkin tidak berarti sedikit juga doa yang mengalir ke desa-desa kecil di Barat Indonesia sana. Saya berbaik sangka, bahwa di ruang empatinya yang luas, saudara2 saya bisa menyempatkan diri melihat ke dalam negeri. 

Kita memiliki ruang empati yang luas. Setiap kejadian adalah latihan untuk membuat kita arif. 

Semoga Allah membuat kita lebih kuat dari masa ke masa. Aamiin.

"Nizam, jangan digigit-gigit stik esnya."
"Kenapa?"

"Nizam, kalau nyeberang pegang erat tangan Bunda, ya."
"Kenapa?"

"Nizam, segera pakai celanamu."
"Kenapa?"

"Nizam, matikan televisinya kalau sedang makan."
"Kenapa?"

Hanya perasaanku saja atau memang benar kepala ini mau lepas dari tempatnya???
Saya sudah lupa fase "Why" -nya Yasmin. Jadi waktu Nizam (3+ y.o) sedikit-sedikit bertanya "Kenapa?" saya merasa cenut-cenut. Oke kalau kondisi lagi lapang dan bahagia. Kalau lagi sibuk, heboh, crowded, dan dia terus menerus menjerit "Kenapa???" sampai saya menjawabnya...arghhh...
Ya Allah...kasihinilah hambamu yang ini.... >.<

Jadi sekarang saya memangkas kalimat itu menjadi,
"Kalau tidak mau kena tabrak, pegang tangan bunda ya!"
"Pakai celanamu sebelum penismu digigit semut atau kejepit sesuatu."
"Matikan televisi sebelum kamu tersedak nasi dan sakit tenggorokan."
"gigit saja batang esnya kalau mau tenggorokanmu sakit."

Memangnya dia mau berhenti bertanya kenapa? NOOO.
Di akhir semua kalimat itu, dia tetap bertanya, "Kenapa?"

Akhirnya saya mengalah. Inilah fasenya bertanya tentang mengapa begini dan mengapa begitu.
"Nak, tolong matikan televisinya kalau sedang makan."
"Kenapa?"
"Kalau matamu ke tivi terus nanti tersedak."
"Kenapa?"
"Karena kamu jadi nggak lihat apa yang masuk ke mulut."
"Kenapa?"
"Karena matamu sedang melotot ke Tv."
"Kenapa?"
"Karena kamu nggak mau matikan TVnya."
"Oh..."

Tenang, dia cuma bilang OH. bukan berarti dia mau mematikan TV. Percakap mirip2 itu terulang lagi.
"Kenapa Bunda matikan tv nya?" (menjerit)
"Karena kamu sedang makan."
"Kenapa??"
"Karena orang makan matanya ke piring bukan ke tv."
"kenapa????"
-----------teruskan saja sendiri-------------

Pertanyaan KENAPA ini berarti dua hal: menguji kesabaran saya, dan memancing akal pikirannya. Amiin.
Dan lama2 saya paham, lebih baik bercerita padanya di waktu lapang daripada memberinya instruksi di waktu kejepit. Dan "kenapa?" nya itu tidak melulu tentang apa alasan di balik sesuatu. Kadang, ternyata dia mau tau BAGAIMANA, bukan KENAPA. Dan yang jelas dia mau saya berbusa busa cerita padanya. Sampai dia bosan mendengarkan dan akhirnya berhenti bertanya kenapa.

N.B: Bahkan di usia setua ini saya masih sering bertanya, "Kenapa, ya Allah?"






Why do I Write?

Duluuuuu, jawaban saya adalah karena menulis itu adalah cara saya menyentuh dunia (gaya banget anak sma ini....)

I don't know why do you write. Beberapa orang menulis untuk meruangkan imajinasinya. Beberapa mungkin menulis karena dengan itu ia bisa melihat bentuk emosinya sebagai outsider. Beberapa untuk mengikat ilmu. Beberapa untuk nyari duit. Saya sediri suka nggaya dengan pamer, "I want to inspire the people," meh...emang situ siapa? <-- sorak penonton.

Saat ini, saya sudah berhenti bertanya dan berharap ditanya kenapa saya menulis. Bahkan, kalau ada yang menganggap saya pengangguran karena pekerjaan saya cuma nulis-nulis nggak jelas (banyakan malam begadangnya daripada nerima gajinya) rasanya nggak jadi masalah lagi.

So, Why Do I Write?

Mau jawaban jujur?
Karena saya nggak tau harus ngapain lagi kalau tidak menulis. I can't make a good coversation. I have my own tiny world, yang saya tidak bisa paksakan orang lain memahaminya. Seperti saya tidak ingin dipaksa untuk memahami mereka. Satu-satunya manusia yang sesuai dengan mau saya ya cuma makhluk2 fiksi yang saya tulis. Hanya sejauh itulah saya berani 'bergaul'.

Call me hyprsensitive. I am.

Why I do Write? Since that's the only thing I can do. Blame me.





Ketika ada teman menyebutkan--di Facebook atau Twitter atau di arisan--ia baru membeli mobil baru, rumah baru, atau bahkan sepatu baru, reaksi pertama saya adalah, "Wow" terus, "Alhamdulillah," lalu "Gue kapan ya?" :D

"Alhamdulillah" seharusnya jadi reaksi pertama, ya. Sorry, saya cuma manusia, kadang lupa untuk menyukuri rejeki yang diterima orang lain. Bukan gue ini yang nerima, begitu kata hati kelam saya.

Tapi saya tetap ikut senang kok. Bukan karena saya berharap kecipratan ya, tapi, rejeki seseorang membantu saya belajar bahwa Allah memberi setiap manusia rejeki. Meski porsinya berbeda, waktunya berbeda, sungguh, hanya Ia yang tahu kebutuhan luar dalam manusia. Tidak pada tempatnya untuk mendebat mengapa Allah memberi satu orang begitu banyak, sementara orang lain begitu sedikit. Siapalah kita yang mengetahui rahasiaNya?

Saya sering mendengar kalimat ini, "Berbagi kebahagiaan nih, saya baru diberi rejeki Allah berupa.... naik haji/rumah/mobil/cucu/dll".

Seperti saya bilang, reaksi pertama saya adalah wow. Alhamdulillah. Kapan ya giliran saya? :)

Lalu saya berpikir ulang tentang konsep menebar kebahagiaan ini. Kata seorang teman, "Membagi kebahagiaan itu perlu, memberikan kabar gembira, sebagai bukti bahwa Allah itu Maha Pemurah."

Lalu sampailah saya pada sebuah artikel tentang adab memberikan selamat dan kabar gembira yang ditulis oleh Majid Bin Su'ud Al Usyan. Disebutkan bahwa, Al Bisyaroh--memberikan kabar gembira--adalah sunnah Rasulullah. Kabar gembira ini adalah sesuatu yang dapat melegakan pendengarnya. Seperti ketika Rasulullah menjenguk seorang ibu yang sedang sakit, dan menyebutkan bahwa sesungguhnya penyakit bagi seorang muslim ibarat api yang membersihkan emas dan perak dari kotoran.
Kabar gembira juga diberikan pada mereka yang sedang menuntut ilmu, bahwa malaikat meletakkan sayapnya di atas para penuntut ilmu, sebagai bentuk keridhaan mereka. Kabar gembira juga dibawakan pada perempuan yang menunggu lamaran, mereka yang sedang berperang dan menunggu kemenangan... artikel ada di sini

Jadi, kabar gembira sesungguhnya adalah apa yang bisa melegakan pendengarnya.
 Ada pula Adh Dhuha ayat 11 yang berisi, "Dan tentang nikmat Rabbmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)," mengingatkan kita pentingnya mensyukuri pemberian Allah. Masalah menyebutkannya ke halayak, saya tidak berhak menghakimi orang lain. Saya sendiri akhirnya berpikir, nikmat yang dititipkan Allah pada kita, alangkah indahnya jika bukan beritanya saja yang kita bagi. Ada sesuatu pada nikmat itu yang bisa bermanfaat bagi orang lain.

Dulu ayah saya berkata, "kalau ada tetangga punya mobil, jangan iri. Alhamdulillah, kali aja besok2 bisa minjem, hehe..."
Saya kira kalimat itu benar-benar harus diterima secara harafiah. Lama-lama setelah direnung-renungkan, bukan bentuknya saja yang bisa kita bagi. Tapi esensi dari nikmat itu.

Jika kita adalah pegawai negeri yang diberikan nikmat Allah berupa kenaikan gaji, tentulah orang lain akan kecipratan nikmat itu jika kita kemudian menjadi pegawai yang bersemangat bekerja, bersemangat melayani bangsa. Tak hanya mengeluh dan mencaci. Tidak mamanfaatkan fasilitas publik demi kepentingan pribadi.

Jika kita mendapatkan rejeki berupa rumah baru, tetangga kita toh tidak berharap numpang tidur atau mandi di rumah mewah kita. Tetapi, mereka akan kecipratan nikmat jika kita bisa menjadi tetangga yang lebih baik. Tidak membongkar aibnya, tidak menggunjingnya, menjenguknya ketika ia sakit, dan memberikan apa yang menjadi haknya sebagai tetangga.



Maka, berbagi kebahagiaan, menebar kabar gembira, bukanlah semata-mata menyebutkan apa yang kita dapatkan pada halayak. Namun mengolah nikmat itu menjadi energi yang bisa menentramkan orang lain, melegakan orang lain, sehingga nikmat kita menjadi nikmatnya juga. Mengubah kita menjadi pribadi bersyukur yang bukan sekedar pamer saat riang dan memaki saat kecewa.

Jika besok kita naik haji, semoga bentuk syukur kita tidak hanya sebentuk status, "Alhamdulillah saya akhirnya dapat rejeki naek haji," tapi juga keindahan akhlak kita, keteduhan jiwa kita, menjadi penenang bagi yang lain. Menjadi bentuk kasih sayang Allah yang hadir di Bumi.

Wallahu a'lam.









Seolah hanya sekedip mata, tiba-tiba kita sudah menjadi orangtua. Rasanya baru kemarin kita mendengarkan nasihat dan kasih sayang dari ayah ibu kita. Lalu hari ini, sebuah jiwa telah memanggil kita sebagai ayah, atau ibu. Begitu cepat, hampir-hampir tak dipersiapkan. Kadangkala saya menemukan ilmu setelah terlanjur mengalami, bukan sebaliknya. Ah, kasihan anak-anak. Kalau saja saya lebih dulu belajar, mereka tidak perlu terlanjur menjadi korban ketidaksiapan.
Tapi, begitulah menjadi orangtua. Proses tak berkesudahan. Pembelajaran dari hari ke hari. Seperti yang dikatakan orang, ketika kita menjadi orangtua, bukan saja anak yang belajar dari kita, melainkan kita belajar tentang hidup dari mereka.
Ada banyak sekali nasihat-nasihat parenting untuk ayah dan ibu. Dari berbagai sudut pandang. Akhirnya saya paham, tidak ada yang salah dan benar dalam metode tersebut. Hanya mengenai ingin menjadi orangtua yang bagaimanakah kita.
Misalnya...
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa usia terbaik belajar teknologi adalah 3 tahun. Penelitian lain menyebutkan, anak-anak perlu bermain dan belajar di luar. Tak baik membiarkan mereka terpapar screen terlalu dini. Keduanya benar. Tergantung Anda, ingin menjadikannya penjelajah alam, atau penjelajah cyber.

Contoh lain,
Suatu hari koran Tempo di Indonesia memuat artikel tentang bahayanya anak menonton TV terlalu lama. Lucunya, di hari yang sama BBC mengeluarkan artikel tentang penelitian bahwa menonton televisi tidak membuat anak bodoh atau otaknya mampet seperti yang dikira orang. TV membuat anak mendapatkan nilai rendah karena mereka menggunakan waktu mengerjakan PR nya untuk menonton televisi.
Mana yang benar? Saya melihat pada anak-anak saya. Semuanya tergantung bagaimana anda, sebagai orangtua, memantau kegiatan anak. Dari TV ia bisa melihat banyak hal: tergantung channelnya. TV membuat anak konsumtif: kalau anda menuruti semua yang dia minta. TV membuat anak gemuk: kalau anda biarkan ia makan di depan TV. TV menjadi berguna ketika kita memantau tayangan dan durasinya. Kitalah bossnya, bukan televisi.

Tidak usah berdebat dan tersinggung dengan metode orangtua lain membesarkan anaknya. Seorang teman memasukkan anaknya ke Islamic School sedini mungkin, karena ia berharap anaknya menjadi hafidz, dan ilmuwan dalam dunia Islam. Anda yang ngeri melihat bagaimana anak kecil harus menghafal begitu banyak, tidak usah mengernyit. Pada dasarnya kemampuan intelektual anak akan menyanggupi hal tersebut. Mentalnya? nah, itu adalah pekerjaan orangtua. Kalau anaknya diinginkan menjadi hafidz, maka orangtuanya harus menyiapkan mental yang kuat, sehingga anak tidak sekedar menjadi penghafal, namun pecinta Al Quran.

Ada orangtua yang ingin anaknya menjadi pionir. Ia menggemblengnya sedemikian rupa sejak dini.
Ada orangtua yang ingin anaknya menjadi pembawa ketenangan dunia. Dunia sudah cukup tertekan, ia ingin anaknya tumbuh sebagai jiwa tenang yang bergembira.
Ada orangtua yang ingin anaknya disiplin sejak bayi. Karena ia mengira dunia tempatnya hidup penuh dengan kompetisi.
Ada orangtua yang cukup bahagia jika anaknya berhasil menanam bulir-bulir jagung di pekarangan.

Dunia membutuhkan ulama, ilmuwan, petani, nelayan, dokter, guru, seniman, penulis, dan tentara.
Anak kita akan menjadi salah satunya. Ringankan diri dari tugas mengkritik cara orangtua membesarkan anak mereka. Karena anak kita dengan anaknya jelas berbeda. Mereka sudah diberi Allah bakat masing-masing, orangtua hanya perlu melihatnya dengan hati dan menempanya dengan hati-hati, agar ia tidak rusak. agar bakat tidak menjadi sumber bencana: stress, terlalu kompetitif, hipersensitif, dan kerapuhan jiwa lainnya.

Apakah kita masih membutuhkan segala teori parenting itu?
"bacalah anakmu, bukan buku," begitu pepatah Afrika berbunyi.
Kita masih memerlukan buku, panduan, teman, untuk mengetahui bahwa kita tidak keluar dari garis. Namun semua itu tidak untuk mendikte kita untuk memangkas anak menjadi seperti yang kita, atau dunia, inginkan. Anak memiliki jalannya sendiri. Kita hanya perlu menggandengnya dengan selamat.


Tahun lalu, saya masih bisa tertawa ketika membicarakan pilihan sekolah untuk anak. Waktu itu saya sedang menulis artikel untuk koran lokal. Tanpa kecurigaan saya berhasil melist beberapa sekolah bagus. Tahun ini, ketika putri saya siap menginjakkan kakinya di Taman Kanak-Kanak, saya tidak bisa tertawa lagi. Ini masalah serius. Sekolah-sekolah yang ada di list saya tahun lalu, mulai saya tatap dengan pandangan skeptis.
Kalau ada teman yang memuji sekolah anaknya, saya pasti langsung cara tahu, di mana??
Waktu masih tinggal di Jogja, saya sudah mencoret-coret kriteria sekolah untuk anak saya bahkan waktu dia masih dalam perut. Saya bakan nanya ke Bambini, kira-kira per tahun biaya sekolahnya naik berapa persen--berkaitan dengan tabungan dan sebagainya-- dan kalau-kalau anda mau tau, jawabannya adalah 20 % kenaikan setiap tahun. Bagooss...

Sayangnya di Kota ini saya tidak punya banyak pilihan. Montessori yang Islami, ada nggak? :D

Sejauh ini saya berhasil menahan anak-anak untuk belajar dari rumah. Ya ampun, belajar... main-main doang aslinya. Main masak-masak, susun-susun, cari harta karun, nonton Dora, main playdough, dll.... Sejauh ini anak saya masih terbalik balik menghitung 1-10. So what? Setidaknya dia sudah bisa membuka pintu dan menginterogasi tamu. Di dunia yang beringas ini (kalau nenek saya masih hidup, dia pasti kaget lihat dunia skarang) keterampilan menghadapi orang lebih saya hargai daripada menghitung 1-10 (karena toh pada akhirnya dia akan hafal. Lihat saja saya, memangnya umur berapa saya bisa berhitung, nggak ngefek juga ke kehidupan saat ini)--oh well, saya mendengar beberapa orang berkata: kalau kamu lebih cepat belajar berghitung, siapa tau kamu sudah bekerja di NASA saat ini :p

Tapi, demi satu dan lain hal, saya harus mencarikan sekolah yang tepat untuk anak saya. Nah, kata tepat itu yang nggak mudah.
Ada sebuah sekolah keren. SDIT. Pertama, jauhnya minta ampun. Baiklah, sekolah memang butuh pengorbanan, tapi kalau tenaga dan waktunya harus habis di perjalanan? Apalagi yang tersisa untuk di rumah? padahal dunia yang harus dieksplorasinya bukan cuma sesempit lapangan sekolah.
Kedua, mahal. Beruntunglah anda-anda yang berhaisl menemukan sekolah relijius yang jarak dan biayanya terjangkau. Saya nggak akan belagu dengan bilang kalau saya bukan pendukung komersialisasi SDIT, masalah saya adalah ini terlalu mahal dan nggak sesuai dengan budget saya. Kalau menurut anda saya harus berkorban, menabung, dan berasuransi, tengkyuverymuch, katakan itu pada tujuh puluh persen penduduk negeri ini yang kebutuhannya bukan cuma membiayai kaca anti peluru sekolahnya atau biaya perawatan rumput bermuda di halaman sekolah.
Kenapa harus sekolah relijius? Padahal di sekolah seperti itu anak-anak akan didoktrin, diharuskan menghafal...blablabla... "alim aja bisa korupsi" kata seorang teman. Rrr... itu dia, yang alim aja bisa khilaf, apalagi yang buta? Saya berharap anak-anak punya pegangan, masalah apakah pegangannya kuat dan selamanya, tentu bukan perkara sekedar membalik tangan. Orang tua dan pendidik di sekolah harus sama-sama menginstal jiwa-jiwa yang kuat itu pada anak-anak. Well, akan banyak kritik, apa sih yang dikritik orang saat ini. But for me, jawabannya cuma satu kata: aqidah. tidak bisa didebat lagi.

Soal aqidah tidak bisa diganggu gugat, yang lain masih bisa dinego. Dulu, daftar saya panjaaang sekali. Akhir-akhir ini saya mulai insaf.
Ini daftar insaf saya:
1. Tidak ada sekolah yang sempurna untuk melepaskan anak anda. Tapi ada banyak yang cukup baik untuk anda jadikan partner mendidik anak. ingat ya, partner, jadi jangan lepas tangan.

2. Sekolah bukanlah semesta pendidikan. Sekolah hanya sebuah tempat. Sebuah rantai dari serangkaian upaya untuk mengajarkan anak melihat dunia. Jadi saya tidak bisa menganggap urusan pendidikan anak selesai dengan memberinya sekolah, tak peduli bagaimana rating sekolah itu. Bagus atau tidak sekolah, kami tetap masih harus mendidiknya di rumah.

3. Kadang-kadang saya pikir, urusan mencari sekolah yang baik ini, apakah benar-benar karena saya menginginkan yang terbaik untuk anak-anak, atau karena saya tidak ingin mereka kalah dibandingkan anak-anak lain? Karena kalau saya benar-benar mempertimbangkan kepentingan anak saya semata, maka seharusnya saya mengukur kredibilitas sekolah itu dari sudut pandang anak saya. Apakah itu tempat yang nyaman, apakah toiletnya tidak ketinggian, apakah guru itu tidak galak, apakah sekolah itu mengerti tentang beberapa keterbatasannya dan mengapresiasi dengan tulus beberapa kelebihannya?

4. Saya bertemu seorang ibu dari generasi di atas saya. Tinggal di desa, dengan sekolah negeri yang gaji gurunya pas-pasan, fasilitas terbatas, namun anak-anaknya berhasil tumbuh dewasa sebagai pribadi yang hebat? Dikasih apa Buuu?
"Sekolah itu tempat dia mendengar, melihat. Rumah itu tempat dia menyaring mana yang harus diterimanya, mana yang harus diabaikan."
Sang ibu menyediakan waktunya (sudah belasan tahun,kalau dihitung-hitung) untuk mendengarkan anak-anaknya. Obrolan seperti, tadi di sekolah belajar apa, temanmu kenapa, siapa yang terluka, siapa yang merusak apa, apa yang kalian lakukan ketika dihukum...

5. Tidak ada guru yang sempurna. Tentu saja, guru sesekali marah dengan yang berkecenderungan psikopat tentu berbeda. Saya mengenal seorang guru yang selalu mencaci-caci di wall facebooknya, memaki anak didiknya (meski di belakang) dan mengaku telah mematahkan penggaris di pantat muridnya. Saya berdoa cukup dia saja guru yang punya kelabilan jiwa seperti itu. Aamiin. Tapi, saya cukup tenang membaca nasihat Marie Hartwell--psikolog dan konsultan pendidikan untuk orang tua-- bahwa, guru bukanlah malaikat. Dia punya tekanan, masalah rumah, masalah sekolah, tuntutan orang tua dan kepala sekolah.. ketika suatu hari anda menemukan ia marah, jangan buru-buru memakinya balik dan mengeluarkan anak anda dari sekolah. Ajak ia bicara. siapa tau kepala dingin anda bisa menular padanya ;)

6. Dan, saya menemukan sekolah itu. TK negeri yang mungil, dengan halaman hijau dan pohon-pohon teduh. Ada banyak yang mengkritik, oke, bertanya, kenapa dan berapa. Bagi saya ini mencukupi. Semuanya bisa diatur, saya hanya perlu menginstal jiwa pembelajar dalam diri saya dan anak-anak. Kekurangan yang akan kami temui, akan kami bicarakan, akan kami perbaiki. Sebisanya. Kata seorang teman generasi tua: hadiahkan guru anakmu sebuah buku, atau sebuah obrolan dari hati ke hati....

Tentu saya khawatir pada efek kekerasan--apapun bentuknya-- termasuk tindakan bullying. Di negeri ini, drama komedi saja isinya mbully. Tapi, saya sendiri menghabiskan dua pertiga masa SD saya dengan menjadi korban bully sesama teman. Separo masa SMP saya dibully oleh guru. Masa SMU saya sepenuhnya dibully oleh sistem. Dan sebagian besar teman-teman saya merasakan hal yang sama. Kekerasan pada masa itu dianggap tindakan wajar, pendisiplinan. Tapi saya baik-baik saja, thank to my mother. Dan buku-buku serta kepercayaan diri yang diwariskan ayah saya.
Di masa ini, bukan berarti saya akan memaklumi tindak kekerasan di sekolah. Tapi saya akan kehilangan waktu dan banyak kesempatan jika hanya fokus menghindari. Kalaupun saya dan anak-anak bisa menghindari, tidakkah sebagai ibu cukup untuk membuat saya mempertimbangkan kecemasan ibu lain yang anaknya harus masuk ke sekolah negeri dengan banyak keterbatasan, sementara mereka tidak punya banyak pilihan. Saya mungkin bisa berlega untuk anak-anak saya, tp bagaimana dengan anak lain? Karena itu, saya memilih menerima ketidaksempurnaan, tidak menghindarinya mati-matian sampai kategori alergi sekolah miskin, dan bersama ibu-ibu lain, saya harap kami bisa memperbaikinya (cita-cita itu harus muluk, biar rajin mencapainya :))






Tahun 1991. Saya dan teman berjalan pulang dari sekolah di bawah terik matahari pukul sebelas. Kami berjalan kurang lebih dua kilometer. Saya masih kelas satu SD saat itu. Sebelumnya, guru bertanya tentang cita-cita kami. Di antara semua teman, saya nyaris tidak sempat menjawab. Ada banyak tangan yang mengacung dan berebut menjawab. "Dokter!" "Pilot!" "Bos!" dan sebagainya. Saya, si pemikir, ternyata terlalu lama berpikir. Di sepanjang perjalanan pulang itu saya terus berpikir, dan akhirnya teman seperjalanan saya bertanya. "Kau mau jadi apa?"
"Hari senin aku akan menjadi dokter. Hari rabu aku jadi polisi (waktu itu saya takjub pada Robocop). Hari berikutnya aku akan jadi istri Superman (waktu itu superman=Dean Cain)."

Teman saya melihat saya dengan tatapan kalau saya sudah gila.

Saya memang terlahir dengan banyak cita-cita. Ingin menjadi segalanya. Ketika ditanya Bapak (almarhum) saya akan menjawab "bankir" biar beliau senang. Ketika ditanya ibu, saya menjawab "dokter" juga agar beliau senang.
Makin kemari ternyata cita-cita saya tidak mengerucut. Tetap saja masih banyak. Tapi saya lama-lama sadar, ada beberapa hal yang tidak bisa saya kuasai meskipun saya ingin. Mungkin bisa, tapi kemudian saya sadar bahwa kita harus berbagi peran. Keinginan saya untuk menjadi segalanya mungkin secara tidak sadar berawal dari ketidakpercayaan saya pada orang lain. Atau karena saya terlalu ingin menyenangkan ibu bapak saya. Begitu saya bisa memercayai orang bisa melakukannya dengan baik, saya merasa tidak perlu mengerjakan hal itu. Dulu saya berpikir (maafkan pikiran sok anak umur 5 thn ini) kalau dunia akan beres (waktu itu Bosnia lagi perang) kalau saya mengerjakan semuanya.

Ketika beranjak dewasa, saya menyadari hal lain lagi. Kita sering mendengar kalimat, "gantungkan cita-citamu setinggi langit." Tapi saya lupa diberitahu bahwa langit itu milik bersama. Cita-cita satu orang akan memengaruhi cita-cita orang lain. Saya pun berpikir, betapa egoisnya saya selama ini, mengumumkan cita-cita saya tanpa mempertimbangkan, bintang yang saya gantung di langit itu akan bersinggungan dengan bintang siapa?
Saya memiliki seorang teman, namanya Mai. Suatu hari ia datang ke kamar saya--waktu saya hampir lulus SMU. Ia berkata bahwa tidak bisa kuliah. Karena tahun depan adiknya akan kuliah juga di jurusan yang sama. Ayahnya meminta dia untuk segera bekerja, dan membantu membiayai kuliah adiknya, atau setidaknya menafkahi dirinya sendiri.

Saya berduka untuk Mai. Ia bahkan tak bisa menggantung bintang di langit cita-citanya, karena bagi keluarganya, langit itu sangat sempit dan mereka harus berbagi. Lalu saya teringat kakak saya yang masuk militer. Apakah dia mengganti cita-citanya--dia adalah penulis dan kartunis yang hebat-- agar saya bisa menggantung cita-cita lebih tinggi? Ah... andai saya tahu.

Saya masih belum dewasa juga, ketika akhirnya saya menikah. Dan perkara cita-cita ini bertambah pelik. Suatu hari tanpa sengaja saya mendengar obrolan di radio, antara seorang penelepon dengan psikolog. Penelepon itu bertanya, "Saya diterima kuliah di Jerman, tapi suami dan anak saya tidak bisa ikut, bagaimana saya harus memutuskannya?" psikolog itu menjawab,
"itu adalah pertanyaan yang seharusnya Anda tanyakan sebelum melamar pekerjaan atau beasiswa. Sekarang, Anda harus memilih dengan resiko yang cukup ekstrim. Meninggalkan salah satunya." --jangan bahas jawaban psikolog tega ini, sepertinya dia capek atau bagaimana--

Saya merenung. Setiap keputusan, bahkan yang menyangkut hal yang paling kita inginkan... kini harus diambil bersama setelah seseorang menikah. Karena keputusannya akan memengaruhi orang lain di sisinya. 


Setelah punya anak, saya jarang memikirkan cita-cita saya pribadi. Ketika ditanya punya target apa, otomatis otak saya akan memindai target-target pertumbuhan anak saya. Sekolah mana yang cocok, kurikulum apa yang diperlukan, metode apa yang kami setujui. Baru beberapa saat kemudian saya akan sadar, "oh, target saya?"

Saya punya cita-cita. Saya punya target. Saya juga punya yang saya maui. Tapi itu bukan lagi gambaran utuh tentang sesuatu. Saya tidak menargetkan diri menerbitkan sebuah buku. Saya hanya memaksa diri saya untuk tetap menulis. Target saya adalah saya tetap memiliki ide.

"Nggak ingin sekolah S2 lagi, Mbak?" tanya seorang teman.
Tentu. Meski bukan kata 'S2' yang dicerna oleh benak saya, melainkan kata 'sekolah'. Mungkin mengulang S1 dengan jurusan yang berbeda. Mungkin sekedar short course terkait pekerjaan saya. Tidak penting. Asal itu adalah judul dari menuntut ilmu.

"Tidak mau mengajukan aplikasi beasiswa?"
Untuk saat ini tidak. Tidak memungkinkan bagi saya untuk meninggalkan anak-anak. Membawa mereka? Dan menjadi beban orang lain? Saya berpikir tentang mereka yang masih single dan benar-benar membutuhkan pendidikan lanjutan. Sementara saya, saya tidak sekepepet itu untuk harus mengambil S2. Untuk kebutuhan saya, masih banyak pendidikan di dalam negeri yang terjangkau. Tidak tahu kalau besok-besok.

"Kasihan, sudah sarjana cuma di rumah." Saya tertawa pada kalimat ini. Tak masalah bagi saya. Saya juga tidak merasa harus membela diri. Kenapa?
Mm... saya justru bertanya, untuk apa saya membela diri?
Saya tahu saya ada di titik mana dalam hidup dan akan ke mana melangkah. Jadi kenapa saya harus menjelaskan pada orang yang tidak menjalaninya.

Sekarang, anak-anak sudah mau masuk sekolah. Saya akan menjadi ibu kesepian di jendela. Sedih rasanya membayangkan rumah sepi tanpa teriakan mereka. Kosong, tidak lagi meneriaki mereka dari jendela, "Heeey, itu kotoran ayaaam!"
Tapi mereka bertumbuh. Saya harap ilmu dan amal saya pun akan bertumbuh. Karena itu, meski rasanya sesak, saya mulai mencari-cari sekolah dan pekerjaan untuk diri saya sendiri. Secukupnya, yang tidak perlu merenggut saya dari rumah. Mungkin sekedar menghabiskan waktu selama anak-anak di luar.

"Apa kamu punya cita-cita?" tanya seseorang, melihat saya yang katanya tidak memiliki ambisi. Saya tersenyum. Saya punya. Tak perlu saya sebutkan.
Ia ada dalam doa. Di antara bisikan agar Allah menjernihkan hati saya, membedakan antara cita-cita dan nafsu mengejar citra: wanita berpendidikan tinggi.
Bagi saya, cita-cita adalah yang digenggam dalam diam, diupayakan selangkah demi selangkah, tetap gigih meski tak ada yang mengetahui ia menginginkannya. Tak iri melihat orang lebih duluan mencapai cita-citanya. Tak lemah melihat tak ada yang menyemangatinya. Tak tergempur oleh arus. Tak berkarat oleh sorak-sorai. Ia teguh sejak dalam hati. Berusaha dan berusaha.... 
Saya meyakini, Allah akan mendekatkan apa yang diam-diam kita idamkan, jika kita bersungguh-sungguh mengerjakan apa yang diamanahkan sekarang.



Mungkin Anda pernah membaca artikel tentang "Istri Bukan Pembantu". Kalau belum, Anda akan dengan mudah mendapatkannya melalui Google atau Facebook. What do you think?:)

Tentu, post tersebut banyak mendulang tanda jempol di Facebook. Apalagi yang share. Adapula yang men-tag suaminya... whatever it means.
Saya menulis ini tanpa berniat menyinggung sesiapa. Kita sudah dewasa dan bebas berpikir, I guess. And I hope you agree.

Saya seorang ibu, yang pasti merasa tersinggung ketika ada yang menghina perempuan dan peran seorang ibu. Tapi, ketika ada yang membesar-besarkan peran ibu (terutama ibu rumah tangga) entah mengapa saya merasa tidak nyaman, meski saya sendiri adalah ibu rumah tangga.
Bagi saya, ibu-ibu di masa lalu adalah sosok sempurna untuk dicontoh keikhlasannya. Sulit membayangkan mereka bisa bercerita tentang 'baru membuatkan kopi untuk suami, masak ini, itu, ngepel, nyapu' pada halayak seperti yang beberapa orang lakukan di Facebook :)

Saya tidak menyalahkan mereka yang senang berbagi di Facebook. Itu hak setiap pengguna Facebook. Memaki-maki di Facebook saja tidak bisa ditangkap polisi, apalagi cuma menyebut agenda
harian di dapur.

Kembali pada peran ibu. Kenapa saya bilang mereka terlalu membesar-besarkan? Semua ibu rumahan tanpa pembantu seperti saya pasti tahu rasanya berada dalam jet coaster itu. Tapi maaf, saya rasa kami sepakat bahwa kami melakukannya bukan untuk dikenal media sebagai 'pahlawan rumah tangga'. Peran sebagai ibu dan istri itu bukan pekerjaan, itu adalah ujian yang diberikan Tuhan ketika seseorang memasuki perjanjian yang namanya pernikahan. Semua bentuk balasan yang kita terima--baik maupun buruk-- tidaklah cash and carry. Melainkan seperti deposit, yang hanya bisa diambil saat kita sudah dihidupkan kembali, kelak.

Bahkan, ketika seorang ibu mendengar kata TERIMA KASIH, ia tersenyum senang bukanlah karena mengetahui pekerjaannya dihargai, namun karena suami atau anaknya adalah orang baik yang tak sungkan berterima kasih. Seorang ibu mengambilnya sebagai sebuah pelajaran, bukan sebagai kebanggan pribadi.

Seorang ibu merasa lega ketika anak dan suaminya menjadi orang baik. Bukan untuk dibanggakan pada orang lain. Agar, jikalau ia harus berpulang lebih dulu, ia telah menyiapkan anak dan suaminya sebagajiwa-jiwa yang kuat dan baik. Itu saja.

Jadi, ketika ada yang berkoar-koar tentang 'hargai kami sebagai istri, jangan jadikan kami pembantu' dan rengekan lainnya...

Perasaan saya campur aduk.
Seperti menagih pada manusia atas sesuatu yang saya lakukan untuk Allah. Pantaskah? Padahal yang kami upayakan belum seberapa. Toh kami masih diberi rejeki, diberi anak-anak sebagai penyambung nafas dan nama. Bahkan sebenarnya, kami bisa memilih melalui doa.

Saya jadi bertanya-tanya, benarkah ada yang pernah menyebut para istri sebagai pembantu? Saya merasa, kalaulah para ibu, ibu mertua, suami, dan anak mengetahui bagaimana orang yang selama ini memudahkan mereka menganggap telah diperlakukan sebagai pembantu.... mereka pasti sedih. Mereka pasti tidak mau dianggap telah semena-mena. Mereka mungkin akan berkata, "kenapa tidak kau katakan saja tidak bisa, daripada mengatakan kami mendzalimimu?" Sungguh berat beban yang ditimpakan pada mereka, padahal mereka tidak tahu...

Ah...sedihnya.

Seorang istri adalah pembantu; mengerjakan banyak hal sekaligus, diperintah ini itu, masih juga diprotes. Anak dan suami bahkan mertua punya selera berbeda.... semua itu seperti memborbardir seorang istri. Itukah yang kau sebut sebagai pembantu? Bagiku kau terdengar seperti orang yang dicintai, dipercayai, dan dianugerahkan pundak yang kuat. Bukankah tidak ada beban yang melebihi pundak? Begitu janjiNya.

Pembantu itu dibayar. Sementara saya, dan saya yakin beberapa istri di luar sana setuju, kami akan tersinggung kalau apa yang kami berikan dinilai dengan uang. Maka, bukan. Kami BUKAN pembantu.

Pembantu mengerjakan semua hal karena diinstruksikan demikian. Kami, para istri, melakukan semua itu semata-mata untuk memudahkan penghuni rumah kami. Jika mereka lapang, sungguh kami senang. Bukankah sebaik-baik orang adalah yang paling banyak manfaatnya? Jika itu yang kau sebut sebagai pembantu.... baiklah, kami mungkin pembantu. Pelayan manusia yang mengharapkan ridha Allah.

Pembantu tidak boleh balik memerintah. Kami boleh. Bahkan kami akan membagi sedikit tugas ketika kami memerlukan tambahan waktu tidur. Kami diperbolehkan melakukannya, hanya saja ditantang soal bagaimana menyampaikan permintaan itu, karena laki-laki harus selalu mendengar permintaan dengan kalimat jelas, bukan sindiran, rajukan, atau ancaman samar. Apalagi lewat Facebook.

Janganlah nistakan diri kita dengan menganggap diri direndahkan oleh orang lain. Muliakan diri kita dengan melakukan banyak hal melelahkan itu semata-mata karena Allah mencintai yang demikian. Dan, jika kau sudah merasa sampai pada batasmu....

.........mintalah bantuan!

Beberapa istri nabi meminta bantuan dengan do'a. Siapa lagi yang lebih kuat dari DIA yang MAHA KUAT?
Lalu, mintalah bantuan pada suami, atau siapapun yang bisa mendengarmu.
Ukurlah kemampuan diri. Kerjakan sesuai kemampuan diri, bukan sesuai standar rumah tangga orang lain. Ringankan diri dari kompetisi menjadi ibu rumah tangga paling tulen. Hati yang ringan, ibu yang bahagia, lebih akan dikenang keluarga daripada rumah yang cantik.
Jika berkemampuan lebih, lebih baik membayar pembantu betulan daripada menghinakan diri di depan publik dengan mengatakan bahwa sebagai istri kita dianggap pembantu.
Kalau tidak punya kelebihan dana untuk membayar pembantu... jangan memaksakan diri. Dapur yang keren adalah dapur yang berantakan, istana yang menyenangkan adalah tempat anak bebas bermain tanpa  khawatir soal kerapian. Masakan paling enak adalah yang dimasak dengan cinta, bukan seberapa ribetnya proses itu. Buang hal-hal tidak penting yang menguras tenaga, termasuk Facebook-an tengah malam jika tidak mengundang manfaat (lebih baik tidur).

 (Beneran saya heran, para ibu yang mengeluh dirinya menjadi budak rumah tangga, padahal suaminya memberikan laptop, jaringan internet, dan malam hari ketika anak dan suami tidur mereka bebas berselancar di dunia maya. Mana ada budak semewah itu?)

Menjadi istri dan ibu adalah peluang terbaik mengatur tenaga dan pikiran. Fokus pada apa yang menjadi tanggung jawab, dan abaikan apa yang tidak memberi pengaruh signifikan pada kehidupan sekarang dan di masa yang akan datang.

Ada banyak para istri yang benar-benar membanting tulang di luar sana. Semoga Allah merahmatinya dan memudahkan urusan mereka.Sementara pada istri yang diberi kelapangan, teruslah berkarya, mendidik anak, menjadi teladan, memberi pengaruh baik bagi sesama.


Bagaimana dengan suami yang berperilaku semena-mena memerintah istrinya? Suami jenis pemalas tidak berguna?

Mungkin tidak sesederhana saya mengatakannya. Tapi, bisa jadi kita memiliki banyak pilihan; memberitahunya dengan jelas, mendiskusikannya, memengaruhinya pelan-pelan... Karena suami yang malas adalah ujian bagi istri shalihah. Memperbaiki hubungan dengan Allah akan memudahkan kita memperbaiki hubungan dengan manusia, itu yang saya yakini. Banyak cara yang layak dicoba, namun, mendzalimi diri sendiri dengan mengemis belas kasih manusia--dengan menghinakan suami dan keluarga-- tentulah bukan cara yang bijak.

Apa yang kita keluhkan dari ini, akan memengaruhi apa yang akan kita kenang di masa yang akan datang.

wallahu 'alam. Nasehati saya jika salah.