Sebagai Ibu rumahan saya cenderung punya waktu yang fleksibel. Karena kedua anak saya juga sekolah di rumah sebelum mereka mencapai usia 7, biasanya kebanyakan waktu saya habis dengan anak-anak. Kalau tidak mengerjakan pelajaran dengan mereka, ya menyiapkan bahan ajar, atau mencicil tulisan untuk penerbit. Pekerjaan rumah biasanya kalau tidak selesai lebih dulu berarti selesai belakangan. Seringnya sih selesai belakangan, setelah anak-anak tidur. *guilty*

Pernah, saya merasa lelah. Padahal kalau dipikir-pikir apa sih lelahnya. Saya memang tidak memakai ART, tapi toh pekerjaan rumah juga standar (standar nggak habis-habisnya). Mengingat ibu saya menderita Diabetes Melitus, saya jadi curiga saya juga membawa penyakit yang sama. Alih-alih periksa ke dokter dan jadi horor sendiri, saya kemudian bertekad untuk memperbaiki pola hidup. Mending berubah sekarang daripada nyesal kemudian.

Saya lihat kalender. Usia saya nyaris 30 (waktu itu). Mau nunggu kapan baru berbenah? Saya lihat anak-anak. Well, lihat sepintas memang kami baik-baik saja. Tapi bagaimana kalau sifat easy going saya selama ini kebablasan dan baru sadar setelah bom meledak.

Hal pertama saya ubah adalah hubungan dengan Allah. Yang sebelumnya hanya rutinitas, saya berusaha untuk lebih ter-connect. Bagaimana caranya supaya ibadah menjadi penyiram kekeruhan hati, bukan sekadar checklist yang harus dipenuhi.
 
Kedua, kesehatan. Yang namanya perempuan dan pernah melahirkan, kayaknya daftar yang harus dicek ke dokter bertambah. Sebelum terlambat lebih baik memastikan. Tapi kesehatan juga berkaitan dengan hal berikutnya yang harus saya perbaiki.

Ketiga, pola makan. Biasanya saya suka manis, pedas, asin, ekstrem pokoknya. Makanan favorit aja nasi padang. Camilan goreng-gorengan. Lalu saya pikir, kapan mau berhenti makan seenaknya? Nunggu masuk rumah sakit? Sederhana saja sih perubahan yang saya buat, saya cuma menambahkan jumlah sayur, buah dan jumlah air yang dikonsumsi. Lalu perlahan mulai sugar free, caffein free, natrium free... entah kapan bisa ice cream free hehehe.
Keempat, pola istirahat. Saya sedang berusaha keras untuk mendapat istirahat 6 jam per hari, tidak kurang tidak lebih. Saya percaya tidur yang cukup adalah awal dari fisik yang baik, dan fisik yang baik adalah awal dari hati dan pikiran yang jernih--karena saya orang yang cenderung gagal fokus kalau kurang tidur.

Kelima, olahraga. Nggak pakai ngoyo. Saya ambil jalan kaki 20-30 menit per hari. Saya suka pagi hari karena udaranya masih bersih dan kaya oksigen, dan anak-anak masih tenang. Duh jangan tanya gimana beratnya di awal. Tapi nikmatnya melihat matahari terbit itu... bertahan sepanjang hari!

Mengatur daftar adalah bagian paling gampang. Yang susah adalah disiplin menjalankannya. Jangan cuma kuat di niat tapi berat di eksekusi.

Saya memutuskan untuk #BeraniLebih Disiplin. Disiplin saya artikan sebagai melakukan sesuatu lepas dari rasa suka atau tidak. Disiplin berarti keluar dari zona nyaman. Disiplin berarti siap bersusah-susah dahulu baru menikmati hasilnya kemudian.


Demi hasil yang baik--bukan cuma badan langsing muka cerah ceria tapi juga sehat secara batiniah, saya harus membiasakan diri. Ini ternyata berdampak ke banyak aspek hidup. Yang saya perlukan hanya bangun di pagi hari dan berkata, “Ya, saya harus #BeraniLebih Disiplin.” 


Words: 479
Bulan Nosarios
FB Bulan Nosarios
Twitter @Bulannosarios
Setelah sekian lama mengikuti bisikan hati setiap kali merasa lapar, saya mulai berpikir, kenapa sepertinya lapar ini mengontrol saya, bukan sebaliknya? Padahal, menurut para ahli, rasa lapar yang memancing tersebut seringkali bukanlah lapar sebenarnya. Bisa jadi hanya rasa haus yang disalahterjemahkan oleh otak, atau hanya kebiasaan untuk mengunyah, atau justru kebutuhan psikologis untuk memuaskan keinginan. Lambung yang tidak bersalah itu tidak benar-benar lapar! Kalaulah ia benar-benar lapar, seharusnya segenggam nasi tanpa rasa sudah bisa membuatnya diam. Tapi ternyata itu tidak cukup kan? Saya masih membongkar kulkas untuk menemukan potongan cake, es krim, roti, atau bahkan mencari mi instan.

Lapar itu manusiawi. Hanya sejengkal menuju sifat hewani kalau kemudian saya hanya memuaskan dan memuaskan dan memuaskan rasa lapar tanpa mengetahui (atau peduli) apa yang saya makan.

Halal dan baik. Itulah sunnahnya. Eat well!


Saya mulai belajar untuk mengontrol keinginan untuk makan. Dan hanya makan ketika tubuh membutuhkan dan memakan makanan halal dan baik. Berhasilkah? I'm struggle on it.

Kebanyakan makanan baik itu tumbuh di tempat paling dekat dengan kita, tidak mengalami banyak proses, dan sayangnya, rasanya tidak terlalu enak :D

Di hari pasar tradisional buka, saya mencari jenis makanan yang tumbuh di dekat saya. Ada bayam merah, bayam hijau, pisang mas, labu kuning, ubi rambat, ketela, terung ungu, lemon, kemangi, pakis. Lumayan bukan? Sebenarnya masih ada kacang panjang, wortel, kentang, dll, namun itu adalah hasil pertanian skala besar. Kenapa saya menomorduakan hasil pertanian besar? karena petani-petani skala besar bersaing bahkan secara nasional untuk hasil terbaik dan terbanyak, yang dalam prosesnya akhirnya memakai pupuk non-organik (yg organik mahal yaaa). Kalau saya harus diingatkan tentang tidak memakan kulit kentang dan timun karena tercemar oleh pestisida, berarti makanan itu bukan yang terbaik kan?

Jadi menurut saya, makanan terbaik adalah makanan yang tumbuh di halaman kita atau halaman tetangga :D Yaaa, paling jauh milik petani desa yang tanahnya hanya sepetak dua petaklah. Kalau sulit menemukannya, berarti itu petunjuk agar kita mulai menanam sendiri ;)

Seperti yang sudah saya sebut di atas, ternyata ada banyak jenis makanan yang tumbuh di sekitar kita.

Eat well, live well :)