Tampilkan postingan dengan label Parenting. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Parenting. Tampilkan semua postingan
Pictureperfectforyou.tumblr
Anak laki-laki itu wajahnya bersih, giginya rapi, dengan rambut keriting menggemaskan. Ia begitu lucu, kalau saja ia mau diam sejenak. Umurnya antara 4-5 tahun, sekelas dengan Ami di TK A. Kami memanggilnya Afiz.

Ia seperti tak bisa diam. Ada saja yang membuat kaki dan tangannya bergerak. Menyapa ke sana ke mari, menyentuh ini itu, berlari, menendang, melompat, memukul, melempar... dan semuanya ia lakukan sambil tertawa atau berteriak. Tidak peduli 'korban'nya yang menangis.

Ia anak paling nakal di sekolah. Begitulah kata orang-orang. Jika seorang anak menangis, pastilah nama Afiz yang pertama diteriakkan. Pengasuhnya yang kurus tampak kwalahan mengejar dan mencegah bencana. Konon, beberapa anak sudah babak belur dibuat Afiz.

Setiap kali bertemu anak-anak, saya mematikan asumsi. Biarlah apa yang saya lihat sendiri yang berbicara. Pagi itu, sambil menemani Nizam bermain di ruang balita, saya melihat Afiz keluar dari kelasnya dan menghampiri kami.
"Halo," katanya dengan seringai lebar.
"Hai Afiz," kata saya. "Afiz tidak duduk di kelas?"
Dia menggeleng, masih menyeringai. Dalam satu gerakan cepat, ia merubuhkan jembatan balok Nizam. Dengan kakinya.
Nizam menatapnya kaget.
"Afiz akan membantu menyusun ulang," kata saya cepat, sebelum Nizam balas mengamuk.
Afiz mengangkat bahu, duduk di dekat saya dan mulai membantu Nizam menyusun kembali balok-balok itu. Saya kembali pada bacaan saya. Beberapa menit berselang, saya melihat keduanya sudah berhasil membangun jalan layang, menara, 'lumbung mobil busuk' dan sebagainya. Mereka tertawa bersama.
Di luar, saya lihat pengasuhnya mulai mencari ke mana Afiz.

Sebulan setelah kejadian itu, Afiz berulang kali keluar kelas dan bermain di kelas balita. Pengasuhnya cemas hal ini akan memengaruhi pembelajaran Afiz. Saya heran, apa sih yang diharapkan anak seusianya dipelajari selain bekerja sama dengan baik dan ketekunan dalam mengerjakan sesuatu? Bagi saya, dua hal itu jauh lebih penting daripada kemampuannya berhitung dan membaca, di usia ini. Tapi saya tidak punya hak mencampuri urusan pendidikan Afiz. Saya hanya bisa 'meracuni' pemikiran pengasuh dan gurunya, untuk membiarkannya bermain bersama kelas balita yang belum dicekoki calistung.

Suatu hari, kami di luar mendengar suara jeritan anak dari dalam kelas. Di kelas, guru sedang kesulitan memisahkan dua anak yang sedang berkelahi. Afiz dan seorang anak. Ibu-ibu yang sedan menunggu di luar berkata, "Anak itu memang nakal."
Tidak ada orang tua yang mau anaknya duduk di dekat Afiz.

Pengasuhnya tertunduk dengan rasa bersalah.

Siang itu saya mengawasi anak-anak bermain di dekat perosotan. Afiz dan Nizam bermain bersama. Dari tempat saya berdiri, saya melihat seorang anak menyikut Afiz. Afiz, yang cenderung cepat terpancing, berteriak dan mengejar anak itu. Untungnya ada yang segera memisahkan mereka.

 "Afiz nakal!"
"Kenapa Afiz pukul?"
"Memang nakal. Dihukum saja."
Begitulah suara penonton.
Ia meronta-ronta di pelukan gurunya. Menangis begitu keras. Ketika akhirnya ia tidak mau masuk kelas dan memilih duduk di ayunan di luar, ia masih tersedu.

Tidak ada yang mendengarnya. Tidak ada yang peduli untuk bertanya siapa yang memulai. Meski saya sendiri tidak pernah bertanya siapa di antara anak-anak yang lebih dulu memulai, setidaknya orang tua harus bersikap adil, tidak menyalahkan salah satunya. Keduanya berhak didengar. Keduanya berhak mendapatkan kesempatan untuk saling memaafkan, tanpa harus ada yang disebut di biang kerok atau si anak nakal.

Karena memang begitulah mereka berinteraksi. Menguji batas kesabaran satu sama lain. Menguji batas toleransi orang lain. Mencoba-coba apa yang membuat orang memerhatikannya. Mencari tahu mana yang boleh, mana yang berbahaya, mana yang tidak boleh tapi sebenarnya tidak apa-apa jika dilakukan.
Anak-anak adalah manusia yang masih cepat merasa bosan, ingin tahu banyak hal, ingin mencoba semua cara, tidak hanya cara biasa seperti yang ia lihat atau orang tua ajarkan. Itulah yang seringnya kita sebut nakal. Padahal, mereka hanya belajar tentang dunia dengan caranya sendiri.

Anak-anak yan dilabeli nakal, bodoh, bebal, liar, seperti kehilangan haknya untuk dipercayai. Seolah-olah ia tak lagi pantas didengar. Di mana ada suara tangisan, maka anak nakal itulah yang menjadi tertuduh sebagai penyebabnya.

Melihat Afiz yang menangis tersedu tanpa seorang pun yang memercayai bahwa ia tak salah, membuat hati saya ngilu. Sayang, saya bukan ibunya, pengasuhnya, gurunya, apalagi kepala sekolah. Saya hanya bisa  mengeluarkan pesawat mainan dari tas Nizam,
"Kita masih punya waktu sepuluh menit, Ijam mau main sama Afiz? Pinjamkan dia ini,"
Putra kecil saya, yang sedari tadi memerhatikan Afiz, berlari memanggil temannya, dengan pesawat merah di tangan. "Kakak Apiiiz, ayo maiin..."

Andai saya bisa melakukan lebih. Andai saya bisa memeluknya dan berkata bahwa saya memercayainya.
Di rumah saya tidak berlaku program sensor. Ketika melihat artis korea yang pakai rok mini, dengan sendirinya anak-anak bertanya, "Kenapa dia pakai rok sependek itu? Apa aku boleh memakainya?" jawaban saya biasanya, "Boleh, kalau kamu nggak malu sama Allah." dan berikutnya dia sudah tau, yang nampak2 itu berhubungan dengan rasa malu.

Lain waktu, anak saya melihat darah. Dengan penasaran, ia bertanya. "Ih, apa ini?"
saya: "Luka."
Anak:"sakit?"
saya:"Ya. itu darahnya. Luka berdarah kadang bikin sakit. Mau mengobati bunda? tolong ambilkan kotak obat."

berikutnya, ketika adiknya terluka dan berdarah-darah (menginjak beling di parkiran), si kakak mendekat dan mengusap darah itu dengan tangannya. Lalu mencari obat. Begitu saja, ia menerjemahkan luka berdarah sebagai sesuatu yang perlu ia obati, bukan sesuatu yang menjijikkan dan perlu dihebohi.
Sampai, ia ada di pangkuan saya ketika saya membuka berita di Aljazeera. Ia melihat banyak orang terluka. Saya memerhatikan wajahnya yang terlihat tertarik, beralih dari bukunya.
"Anak itu kenapa, bunda?"
saya: "Terluka."
kakak: "Tidak ada yang obati?"
saya: "tidak, pasiennya terlalu banyak, dokternya sedikit."
kakak: "kenapa pasiennya banyak?"
saya: "karena mereka sedang perang. Orang-orang dewasa rebutan tanah dan anak-anak terkena tembakan dan bom."
kakak: "aku mau jadi dokter."
saya: "boleh. InsyaAllah."
ia masih tercenung. "Apa anak itu akan sembuh?"
saya: "tidak, dia sudah meninggal. Jiwanya pulang ke Allah."
Kakak: "Apa dia kesakitan?"
saya: "Mari berdoa, semoga perang selesai dan anak-anak bisa bermain lagi. Atau, kamu mau doakan yang lain?"

Dan dia mengucapkan sederet doa lain, termasuk agar Allah melimpahkan mereka roti yang enak dan hangat.

Kadang, kita menganggap anak terlalu kecil untuk tahu tentang dunia. Padahal perasaan mereka, pertanyaan mereka, sedang menuntut untuk dilatih oleh orang tua. Memang kadang memelahkan berdialog dengan anak, mengingat pertanyaan mereka yang seperti tidak berujung. Tapi janganlah asal menjawab hanya agar anak diam, karena jawaban itulah yang akan membentuk persepsinya terhadap dunia. Tidak remeh, kan?

Apakah anak akan takut pada dunia yang mengerikan atau anak dengan berani maju menjadi penyembuh dunia, ada di jawaban2 orang tua. It depends to us. Mau anak yang aman damai sentosa seperti katak dalam tempurung, atau anak yang memiliki bekal berbagai rasa yang terasah dengan positif dalam menghadapi dunia yang carut marut. Pilihlah!
Seolah hanya sekedip mata, tiba-tiba kita sudah menjadi orangtua. Rasanya baru kemarin kita mendengarkan nasihat dan kasih sayang dari ayah ibu kita. Lalu hari ini, sebuah jiwa telah memanggil kita sebagai ayah, atau ibu. Begitu cepat, hampir-hampir tak dipersiapkan. Kadangkala saya menemukan ilmu setelah terlanjur mengalami, bukan sebaliknya. Ah, kasihan anak-anak. Kalau saja saya lebih dulu belajar, mereka tidak perlu terlanjur menjadi korban ketidaksiapan.
Tapi, begitulah menjadi orangtua. Proses tak berkesudahan. Pembelajaran dari hari ke hari. Seperti yang dikatakan orang, ketika kita menjadi orangtua, bukan saja anak yang belajar dari kita, melainkan kita belajar tentang hidup dari mereka.
Ada banyak sekali nasihat-nasihat parenting untuk ayah dan ibu. Dari berbagai sudut pandang. Akhirnya saya paham, tidak ada yang salah dan benar dalam metode tersebut. Hanya mengenai ingin menjadi orangtua yang bagaimanakah kita.
Misalnya...
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa usia terbaik belajar teknologi adalah 3 tahun. Penelitian lain menyebutkan, anak-anak perlu bermain dan belajar di luar. Tak baik membiarkan mereka terpapar screen terlalu dini. Keduanya benar. Tergantung Anda, ingin menjadikannya penjelajah alam, atau penjelajah cyber.

Contoh lain,
Suatu hari koran Tempo di Indonesia memuat artikel tentang bahayanya anak menonton TV terlalu lama. Lucunya, di hari yang sama BBC mengeluarkan artikel tentang penelitian bahwa menonton televisi tidak membuat anak bodoh atau otaknya mampet seperti yang dikira orang. TV membuat anak mendapatkan nilai rendah karena mereka menggunakan waktu mengerjakan PR nya untuk menonton televisi.
Mana yang benar? Saya melihat pada anak-anak saya. Semuanya tergantung bagaimana anda, sebagai orangtua, memantau kegiatan anak. Dari TV ia bisa melihat banyak hal: tergantung channelnya. TV membuat anak konsumtif: kalau anda menuruti semua yang dia minta. TV membuat anak gemuk: kalau anda biarkan ia makan di depan TV. TV menjadi berguna ketika kita memantau tayangan dan durasinya. Kitalah bossnya, bukan televisi.

Tidak usah berdebat dan tersinggung dengan metode orangtua lain membesarkan anaknya. Seorang teman memasukkan anaknya ke Islamic School sedini mungkin, karena ia berharap anaknya menjadi hafidz, dan ilmuwan dalam dunia Islam. Anda yang ngeri melihat bagaimana anak kecil harus menghafal begitu banyak, tidak usah mengernyit. Pada dasarnya kemampuan intelektual anak akan menyanggupi hal tersebut. Mentalnya? nah, itu adalah pekerjaan orangtua. Kalau anaknya diinginkan menjadi hafidz, maka orangtuanya harus menyiapkan mental yang kuat, sehingga anak tidak sekedar menjadi penghafal, namun pecinta Al Quran.

Ada orangtua yang ingin anaknya menjadi pionir. Ia menggemblengnya sedemikian rupa sejak dini.
Ada orangtua yang ingin anaknya menjadi pembawa ketenangan dunia. Dunia sudah cukup tertekan, ia ingin anaknya tumbuh sebagai jiwa tenang yang bergembira.
Ada orangtua yang ingin anaknya disiplin sejak bayi. Karena ia mengira dunia tempatnya hidup penuh dengan kompetisi.
Ada orangtua yang cukup bahagia jika anaknya berhasil menanam bulir-bulir jagung di pekarangan.

Dunia membutuhkan ulama, ilmuwan, petani, nelayan, dokter, guru, seniman, penulis, dan tentara.
Anak kita akan menjadi salah satunya. Ringankan diri dari tugas mengkritik cara orangtua membesarkan anak mereka. Karena anak kita dengan anaknya jelas berbeda. Mereka sudah diberi Allah bakat masing-masing, orangtua hanya perlu melihatnya dengan hati dan menempanya dengan hati-hati, agar ia tidak rusak. agar bakat tidak menjadi sumber bencana: stress, terlalu kompetitif, hipersensitif, dan kerapuhan jiwa lainnya.

Apakah kita masih membutuhkan segala teori parenting itu?
"bacalah anakmu, bukan buku," begitu pepatah Afrika berbunyi.
Kita masih memerlukan buku, panduan, teman, untuk mengetahui bahwa kita tidak keluar dari garis. Namun semua itu tidak untuk mendikte kita untuk memangkas anak menjadi seperti yang kita, atau dunia, inginkan. Anak memiliki jalannya sendiri. Kita hanya perlu menggandengnya dengan selamat.