Setiap kita punya batas kewarasan.

Bagi saya rasanya batas itu adalah ketika hari sudah siang, tangan sedang berjibaku membersihkan udang, mengerat punggungnya dan melihat mungkin masih seratus udang lagi menunggu...
Di kompor yang menyala kentang sedang digoreng, periode ke dua.
Si kakak datang berkata, "Lihat, lihat, ini PR matematikaku, sudah betul?"
Itu adalah penjumlahan menurun yang ditulis kecil-kecil yang diajukan sambil melonjak-lonjak.
"Maaf, nanti saja bisa? Tangan Ibu kotor."
"Cuci saja dulu. Lihat, itu 476 betul?"
"Hmm, mungkin, bawa ke depan, setelah ini Ibu lihat."
dan tiba-tiba ingat, kentang itu seharusnya bukan digoreng, tp dikukus.... bagaimana bisa lupa?!
Si adik teriak dan buuum! Dia pasti melompat lagi dari kasur ke lantai. Oke, dia tertawa...
Selamatkan kentang
Teruskan udang.
Mereka berkelahi.
Si kakak datang bercucuran air mata, masih membawa bukunya. "Lihat dulu ini, please?"
Blender tiba-tiba macet. Kurang air.
Cuci tangan, cek PR. "Oke, betul semua. Ini untuk dikumpul besok? Bukannya besok bagi raport?"
"Ini kan bukuku semester lalu..."
Aah.... I See.

Bumbu yang halus terlihat tidak seperti seharusnya... oke, pertanda buruk.
si adik melompat, si kakak ikut. Buuum! Gedebuk!
Suara tangis, dua anak.
Matikan kompor, cuci tangan, lepas celemek.
"Berhenti lompat-lompat dan ambil buku kalian. satu di depan, satu di kamar."
 "Aku mau Tiviiii!"
"Aku pinjam laptop boleeeh?"
Ponsel berbunyi. "Oke, jangan berisik, Ibu harus bicara di telepon. Jarum panjang di dua belas kita makan siang."
Oh! Rice cooker belum di posisi On.
"Hei, haaai... apa kabar?"
bla bla bla...
Dia: "Enak ya jadi dirimu, aku bayangkan ada di rumah. jam segini makan siang udah siap, bisa nonton ulang serial favorit, sambil terima telepon temen... ngeteh, baca majalah, yada yada yada yada...."


Tarik napas. Hitung mundur. Istighfar. Count blessing.

Kakak: Tebak aku jadi apa!
Adik: Monster?
Kakak: Salah! Ibu yang sedang marah!

Yes, ketika kau mengira itu adalah batasmu, nooo... wrong. Masih ada besok dan besok. Tertawa saja. Hari ini memang gila. Tapi lumayan untuk ditertawakan kemudian.




Biasanya, pas menulis cerita, kebahagiaan si tokoh utama diberikan dekat-dekat ceritanya mau habis. Bab terakhir. Namanya aja happy ending.
Kalau bukunya masih tebal tapi sudah bahagia, yakin deh si tokoh utama masih harus mengalami tantangan sekali lagi. Atau dua kali lagi. Makin besar malah. Ujian utamanya belum keluar.

Hidup juga kayaknya begitu.
Kalau masih muda merasa hidupnya agak susah, wajar. Dimudahkan Allah dalam hal jodoh dan anak, diuji dari sisi rezeki; yang kerjaannya susahlah, jauhlah, gak naik-naik pangkatlah... gitu juga sebaliknya. 
Dimudahkan Allah ke mana-mana, diuji dengan orang-orang sekitar yang kelakuannya nggak biasa. 
Yang rumahnya gede dan megah ternyata sepi karena isinya pada sibuk. Yang rumahnya rame dari nenek, ponakan, sepupu, anak ilang, dst, rumahnya enggak gede-gede dan kredit nggak ada bau-baunya selese. Doh.
Maunya kita sih pas-pas aja. Pas keluarga kita gede, pas rumah kita juga gede. Pas anak-anak kita usia sekolah, pas juga tuh sekolah terbaik, murah, ada di dekat rumah.  
Bagus lagi kalau: rumah gede, furnitur minimal IKE*, apa-apa tinggal pencet dan gesek, daaan usia masih di bawah 40an :D

Anggaplah itu gambaran sukses hidup seseorang. Dan nggak ada salahnya untuk menginginkan kesuksesan. Laa hawla wa laa quwwata illa billah. Tapi kalau dalam prosesnya kita membenci masalah, selalu meributkan kesuksesan orang lain, menginginkan semua itu serta merta dalam satu langkah, mengomeli keadaan yang kayaknya gak berubah... Butuh sulap dong ya.

Katanya yang instan itu bahaya. Kalau mau cepat sukses tapi ngambilnya jalan pintas, sama saja seperti mempercepat kaset film dengan kekuatan penuh tapi habis itu kasetnya rusak. *Masih pada ingat kata ‘kaset’ gak sih? :D

Kapan matahari terlihat paling terang?
Setelah hujan yang pake badai.
Semoga tua kita juga begitu, tenang dan barokah. Meski kita berdoa semoga mudanya nggak pake badai-badai banget. Semoga kita selalu ingat bahwa dalam perjalanan menuju ke sana, Allah tidak mungkin membebankan melebihi kemampuan. Yang terasa berat dijalani, itu adalah niscaya. Dari buruh sampe CEO punya beban. Pasti lewat. Pasti ada masa untuk happy ending. Tetap usaha dan sabar menunggu happy ending. Jangan maksa minta segera, ntar epilognya juga segera lho :D 

Dan tetaplah jadi orang baik, karena biasanya yang dapat happy ending itu yang baik-baik.










Sebagai Ibu rumahan saya cenderung punya waktu yang fleksibel. Karena kedua anak saya juga sekolah di rumah sebelum mereka mencapai usia 7, biasanya kebanyakan waktu saya habis dengan anak-anak. Kalau tidak mengerjakan pelajaran dengan mereka, ya menyiapkan bahan ajar, atau mencicil tulisan untuk penerbit. Pekerjaan rumah biasanya kalau tidak selesai lebih dulu berarti selesai belakangan. Seringnya sih selesai belakangan, setelah anak-anak tidur. *guilty*

Pernah, saya merasa lelah. Padahal kalau dipikir-pikir apa sih lelahnya. Saya memang tidak memakai ART, tapi toh pekerjaan rumah juga standar (standar nggak habis-habisnya). Mengingat ibu saya menderita Diabetes Melitus, saya jadi curiga saya juga membawa penyakit yang sama. Alih-alih periksa ke dokter dan jadi horor sendiri, saya kemudian bertekad untuk memperbaiki pola hidup. Mending berubah sekarang daripada nyesal kemudian.

Saya lihat kalender. Usia saya nyaris 30 (waktu itu). Mau nunggu kapan baru berbenah? Saya lihat anak-anak. Well, lihat sepintas memang kami baik-baik saja. Tapi bagaimana kalau sifat easy going saya selama ini kebablasan dan baru sadar setelah bom meledak.

Hal pertama saya ubah adalah hubungan dengan Allah. Yang sebelumnya hanya rutinitas, saya berusaha untuk lebih ter-connect. Bagaimana caranya supaya ibadah menjadi penyiram kekeruhan hati, bukan sekadar checklist yang harus dipenuhi.
 
Kedua, kesehatan. Yang namanya perempuan dan pernah melahirkan, kayaknya daftar yang harus dicek ke dokter bertambah. Sebelum terlambat lebih baik memastikan. Tapi kesehatan juga berkaitan dengan hal berikutnya yang harus saya perbaiki.

Ketiga, pola makan. Biasanya saya suka manis, pedas, asin, ekstrem pokoknya. Makanan favorit aja nasi padang. Camilan goreng-gorengan. Lalu saya pikir, kapan mau berhenti makan seenaknya? Nunggu masuk rumah sakit? Sederhana saja sih perubahan yang saya buat, saya cuma menambahkan jumlah sayur, buah dan jumlah air yang dikonsumsi. Lalu perlahan mulai sugar free, caffein free, natrium free... entah kapan bisa ice cream free hehehe.
Keempat, pola istirahat. Saya sedang berusaha keras untuk mendapat istirahat 6 jam per hari, tidak kurang tidak lebih. Saya percaya tidur yang cukup adalah awal dari fisik yang baik, dan fisik yang baik adalah awal dari hati dan pikiran yang jernih--karena saya orang yang cenderung gagal fokus kalau kurang tidur.

Kelima, olahraga. Nggak pakai ngoyo. Saya ambil jalan kaki 20-30 menit per hari. Saya suka pagi hari karena udaranya masih bersih dan kaya oksigen, dan anak-anak masih tenang. Duh jangan tanya gimana beratnya di awal. Tapi nikmatnya melihat matahari terbit itu... bertahan sepanjang hari!

Mengatur daftar adalah bagian paling gampang. Yang susah adalah disiplin menjalankannya. Jangan cuma kuat di niat tapi berat di eksekusi.

Saya memutuskan untuk #BeraniLebih Disiplin. Disiplin saya artikan sebagai melakukan sesuatu lepas dari rasa suka atau tidak. Disiplin berarti keluar dari zona nyaman. Disiplin berarti siap bersusah-susah dahulu baru menikmati hasilnya kemudian.


Demi hasil yang baik--bukan cuma badan langsing muka cerah ceria tapi juga sehat secara batiniah, saya harus membiasakan diri. Ini ternyata berdampak ke banyak aspek hidup. Yang saya perlukan hanya bangun di pagi hari dan berkata, “Ya, saya harus #BeraniLebih Disiplin.” 


Words: 479
Bulan Nosarios
FB Bulan Nosarios
Twitter @Bulannosarios
Setelah sekian lama mengikuti bisikan hati setiap kali merasa lapar, saya mulai berpikir, kenapa sepertinya lapar ini mengontrol saya, bukan sebaliknya? Padahal, menurut para ahli, rasa lapar yang memancing tersebut seringkali bukanlah lapar sebenarnya. Bisa jadi hanya rasa haus yang disalahterjemahkan oleh otak, atau hanya kebiasaan untuk mengunyah, atau justru kebutuhan psikologis untuk memuaskan keinginan. Lambung yang tidak bersalah itu tidak benar-benar lapar! Kalaulah ia benar-benar lapar, seharusnya segenggam nasi tanpa rasa sudah bisa membuatnya diam. Tapi ternyata itu tidak cukup kan? Saya masih membongkar kulkas untuk menemukan potongan cake, es krim, roti, atau bahkan mencari mi instan.

Lapar itu manusiawi. Hanya sejengkal menuju sifat hewani kalau kemudian saya hanya memuaskan dan memuaskan dan memuaskan rasa lapar tanpa mengetahui (atau peduli) apa yang saya makan.

Halal dan baik. Itulah sunnahnya. Eat well!


Saya mulai belajar untuk mengontrol keinginan untuk makan. Dan hanya makan ketika tubuh membutuhkan dan memakan makanan halal dan baik. Berhasilkah? I'm struggle on it.

Kebanyakan makanan baik itu tumbuh di tempat paling dekat dengan kita, tidak mengalami banyak proses, dan sayangnya, rasanya tidak terlalu enak :D

Di hari pasar tradisional buka, saya mencari jenis makanan yang tumbuh di dekat saya. Ada bayam merah, bayam hijau, pisang mas, labu kuning, ubi rambat, ketela, terung ungu, lemon, kemangi, pakis. Lumayan bukan? Sebenarnya masih ada kacang panjang, wortel, kentang, dll, namun itu adalah hasil pertanian skala besar. Kenapa saya menomorduakan hasil pertanian besar? karena petani-petani skala besar bersaing bahkan secara nasional untuk hasil terbaik dan terbanyak, yang dalam prosesnya akhirnya memakai pupuk non-organik (yg organik mahal yaaa). Kalau saya harus diingatkan tentang tidak memakan kulit kentang dan timun karena tercemar oleh pestisida, berarti makanan itu bukan yang terbaik kan?

Jadi menurut saya, makanan terbaik adalah makanan yang tumbuh di halaman kita atau halaman tetangga :D Yaaa, paling jauh milik petani desa yang tanahnya hanya sepetak dua petaklah. Kalau sulit menemukannya, berarti itu petunjuk agar kita mulai menanam sendiri ;)

Seperti yang sudah saya sebut di atas, ternyata ada banyak jenis makanan yang tumbuh di sekitar kita.

Eat well, live well :)


Tak akan panjang tulisan ini.

Saya tidak terlalu mengenal wanita itu. Hanya tahu bahwa suaminya terbaring di rumah sakit. Untuk waktu yang sudah cukup lama, dan entah sampai kapan. Mereka masih muda. Bayi mereka baru akan merangkak satu dua langkah. Mungkin ia tidak sekuat yang terlihat, tapi itulah yang saya ingat; ia tak pernah mengeluh. kata-katanya penuh semangat. Senyumnya tak pura-pura dan memancing iba. Setiap kali ia menjawab kabar tentang suaminya, bukan kasihan yang orang rasa, namun takjub, membuahkan doa semoga Allah merahmati mereka.

Ia mungkin tak sekuat omongan saya. Ia mungkin bukan satu-satunya wanita sekuat itu. Ujiannya mungkin bagi beberapa orang tak seberapa.
Namun bagi saya, ketika kembali melihat diri... betapa hebat ia. Sungguh Allah menampakkannya pada saya, mungkin akan saya bisa lebih kuat. Ujian seujung kuku saja saya sudah mengeluh, maka apalah saya jika ada di posisinya. Tak punya pembantu saja sudah merasa jadi babu, padahal suami dan anak-anak masih ada, tertawa di ruang yang sama....

Lalu bagaimana mungkin, wahai diri, beraharp Allah menuangkan rahmatnya, sementara pada ujian saja hati ini jeri. Pada penundaan nikmat dunia barang sekejap saja, diri ini enggan. Pada panggilan adzan, subuh, para yatim, miskin, diri ini masih pura-pura tuli...
Jika saja iri dibolehkan, maka ijinkan aku iri pada mereka; para istri dan ibu kuat yang tak menyempatkan diri mengeluh, melainkan menyelesaikan ujian sebaiknya, semampunya.  Semoga Allah merahmati mereka.

Ada dua alasan kenapa saya menulis ini.
Pertama, karena udah lama nggak ngisi blog. Sudah sering buka template, tapi kemudian bengong. Semoga kali ini selesai dan beneran tayang, bukan cuma teronggok di kolom draft.
Kedua, mumpung lagi waras, menulis hal2 yang membuat saya waras. biar nanti pas nggak waras lagi, baca ini, dan mudah2an mampu waras kembali.

Tadi saya mau nulis apa ya...
(kembali setelah 7 menit)

Sudah bosan beum denger cerita para ibu tentang betapa jungkir baliknya berada di rumah 24 jam bersama satu anak dan satu balita yang seolah berada di jet coaster? Saya nggak akan mengurainya.
Saya tidak tahu bagaimana para ibu lain mengalami atau merasakannya, karena ketika para ibu berkumpul dan bertukar cerita, telinga saya biasanya jauh dari situ: mencoba menangkap suara anak-anak saya yg sedang bermain di luar. Mustahil untuk duduk tenang dalam sepuluh menit tanpa satu teriakan. Meski seringnya yang teriak ternyata bukan anak saya, hehehe.

Ada masa-masa ketika saya merasa ada sesuatu di kerongkongan. Membuat sulit menarik napas. Dan tiba2 saja mata saya basah. Tak bernai bertanya pada Allah Maha Baik, kira-kira jet coaster ini memiliki berapa putaran lagi?

Tapi kemudian, daripada merasa-rasai sesuatu di kerongkongan itu, saya mencari cara sebanyak mungkin untuk tetap waras. Ada dua artikel yg cukup berpengaruh untuk saya (terima kasih mommy2 yang sudah mengupload ide2 brilian!)--membaca artikel lebih mudah daripada mendengar teman bercerita, karena artikel tidak cemberut kalau saya terpaksa mengabaikan mereka sejenak demi cucian-jemuran-penggorengan-atau kecelakaan toilet.
Artikel pertama tentang self discipline. artikel kedua tentang mother priorities. Kalau di google, insyaAllah kedua topik tersebut banyak sumbernya, dan tinggal pilih mana yang sesuai dengan gaya kita masing2.

Saya sendiri, akhirnya menemukan cara untuk tetap waras. Ini dia:
1. Menjaga hubungan dengan Allah.
 Shalat wajib dengan buru2? Mengejar target 1 juz?
Bukan hubungan seperti itu yang cocok untuk saya. saya membutuhkan moment untuk berdiam dan berpikir tentang mengapa saya di sini; mencoba melihat hidup sebagai gambaran utuh, bukan potongan puzzle. Anak menangis dan cucian segunung itu adalah potongan puzzle. Gambaran besarnya pasti lebih baik. Saya cuma perlu berhenti untuk menyadarinya kembali. Dan seringnya, waktu itu saya temukan tepat setelah shlat. Jadi kalau shalat dengan terburu-buru, berarti saya kehilangan momen itu.
Saya tipe yang memilih membaca Al Quran di saat tenang, ketika anak membaca, mewarnai, atau bahkan bersedia mendengarkan. kemudian membaca terjemahan, baik lagi jika lebih dari itu. Kadang hanya tiga ayat. di saat lain, saya mengambil mushaf, membukanya secara acak, dan membaca ayat yang paling pertama ditangkap oleh mata saya. Kadang2 terasa benar2 ajaib :)
Mengingat Allah, memandang semua keberkahan dan ujian itu datang dari Allah, membuat saya tetap waras.


2.. Mengatur prioritas.
Seolah-olah ada banyak sekali yang harus dikerjakan; membersihkan kompor, melap kaca oven, menyusun ulang rak piring, menyapu kolong meja tv, memasukkan baju usang ke kardus, menggosok sudut lantai di toilet, memasang kancing baju kakak, mencari topi adik yang hilang, menyelesaikan hafal Al Buruj, shalat dhuha, menjenguk tante A atau Mbak B, membeli roti atau membuat roti, mengambil lidah buaya, menyiram cabe, menelepon fulan fulanah, ke bank, ke pasar, ke sekolah. Menemani kakak menggambar, memerhatikan adik membangun benteng, mengajari kakak melipat selimut, menemani adik ke toilet dengan benar.
Benar-benar menyenangkan kalau dilakukan satu per satu, bukannya menyerbu di saat bersamaan. Kadang, yang dibutuhkan hanya prioritas, mana yang lebih penting untuk dilaksanakan. Lihat, menulis dan membaca bahkan tidak saya masukkan ke sana :D ada beberapa hal yang akan menumpuk kalau tidak segera dikerjakan, ada hal yang bisa menunggu dan dilakukan kemudian dengan mengorbankan beberapa hal yg tidak penting.


3. Jaga kondisi tubuh
Saya punya masa2 buruk ketika tidur makan dan olahraga tidak menjadi perhatian besar. kemudian saya merenung, kalau bukan saya yg menjaga fisik ini, siapa lagi? kalau bukan skrg menjaganya, kapan lagi? Kalau tidak segera berbenah, apa yang sebenarnya saya tunggu?
Saya mulai memperbaiki makanan, menjadwalkan olahraga, tidur lebih teratur. berhenti keras kepala dan nggaya dengan pola hidup tidak sehat.
Hasilnya? Saya merasa waras sepanjang hari--sebagian besar :p

4. Miliki beberapa sahabat
Yaitu mereka yang tidak menuntut saya ada 24 jam, memaklumi ketika saya terpaksa menghilang, tidak membuat saya melihat dunia dengan negatif, dan kami bisa menerima satu sama lain tak peduli berapa gilanya kami kadang2 :D

5. Bercita-citalah!
Apa sih yang mau saya capai? kalau yang saya mau saja tidak jelas, wajar kalau lihat teman sukses, stres. lihat temen punya anak lucu dan pintar, stres dan mulai deh nilai2 anak sendiri. Lihat temen dapat beasiswa dan kerja di kantor keren, stres; bertanya2 apa memang mau jadi ibu rumahan selamanya. duh, gak ada habis-habisnya... -_-
Setiap orang punya target yang berbeda. Saya menetapkan target sendiri. Masa depan seperti apa yang saya inginkan? Karena saya tipe living in the moment, buat saya masa depan itu ya termausk hari ini. Hidup yang disyukuri dan dinikmati per kepingnya. Ada angin, wah semilir! ada hujan, wah cabenya tumbuh! ada panas, was jemuran kering! ada badai, wah kayak di pilem pilem... :p
Masa depan tidak mungkin baik jika hari itu, saya akan mengingat hari ini sebagai hari penuh keluhan. Miliki cita-cita, apa pun itu. genggam erat2, bekerjalah terang2an atau diam-diam. tapi teruslah berdoa dan percaya. saya yakin, yang hari ini menikmati pemberian Allah, tak mengabaikan keping-keping nikmatnya, insyaAllah akan didekatkan pada cita-citanya.

Kalau hari ini saya tidak bisa menulis untuk novel kedua karena sempitnya waktu, malas, dan beban otak (alessssaaan), saya tidak perlu menyalahkan anak-anak, waktu, dll. Akan ada masanya hal itu menjadi prioritas. Begitu juga dengan pertemanan. Jika skrg saya hanya punya dua sahabat yg nyaris saya telantarkan, saya tidak bisa bilang kalau saya sibuk. itu hanya alasan, jujurnya, saat ini mereka ada di prioritas di bawah urusan anak2. akan ada masanya bagi kami untuk duduk ngeteh dan ngobrolin film. Nanti.

nah, anak2 mulai menjerit, mumpung masih waras, sepertinya saya akan mengambil buku dari rak, membacakannya dan mengantar mereka tidur siang.
:) bersemangatlah membuka halaman hidup berikutnya!













Dear You,
Di antara  jemari kita yang bertautan,
aku meletakkan kepercayaan, rasa hormat, kasih sayang, dan permohonan akan kesabaran.

Kurasa itulah cinta.
Percayalah bahwa aku akan selalu berusaha membuatmu bahagia;
Lebih sering tertawa, dan berlapang dada pada satu-dua duka.
Mungkin akan ada kelebatan mendung yang lewat,
Kurasa kita bisa melewatinya, berbagi humor kering sebelum matahari muncul kembali.
Mungkin akan ada nada yang lepas meninggi, kata-kata yang tak kausukai.
Kurasa aku membutuhkan banyak maaf dan kesabaran, kita akan terus belajar.
Dari fajar ke petang,  senin ke minggu, hari ke tahun...
Entah berapa banyak yang akan kita lewati, aku tak akan menghitungnya.
Aku akan menghabiskannya dengan mengenalmu,
lewat sepotong pagi, sejumput hujan, bahkan dalam heningnya malam.
Aku akan bertahan meski sekali dua kali mungkin orang mengatakan aku pasti bosan.
Tidak, aku akan bertahan. Aku akan ada saat kau tertawa, kesal, marah, luka dan berduka.
Aku hanya meminta, agar Tuhan mengijinkannya.
Aku meminta ruang, waktu, dan kesabaranmu.. menjalani ini bersamaku. Tanpa batas waktu.
Will you?