Tak akan panjang tulisan ini.

Saya tidak terlalu mengenal wanita itu. Hanya tahu bahwa suaminya terbaring di rumah sakit. Untuk waktu yang sudah cukup lama, dan entah sampai kapan. Mereka masih muda. Bayi mereka baru akan merangkak satu dua langkah. Mungkin ia tidak sekuat yang terlihat, tapi itulah yang saya ingat; ia tak pernah mengeluh. kata-katanya penuh semangat. Senyumnya tak pura-pura dan memancing iba. Setiap kali ia menjawab kabar tentang suaminya, bukan kasihan yang orang rasa, namun takjub, membuahkan doa semoga Allah merahmati mereka.

Ia mungkin tak sekuat omongan saya. Ia mungkin bukan satu-satunya wanita sekuat itu. Ujiannya mungkin bagi beberapa orang tak seberapa.
Namun bagi saya, ketika kembali melihat diri... betapa hebat ia. Sungguh Allah menampakkannya pada saya, mungkin akan saya bisa lebih kuat. Ujian seujung kuku saja saya sudah mengeluh, maka apalah saya jika ada di posisinya. Tak punya pembantu saja sudah merasa jadi babu, padahal suami dan anak-anak masih ada, tertawa di ruang yang sama....

Lalu bagaimana mungkin, wahai diri, beraharp Allah menuangkan rahmatnya, sementara pada ujian saja hati ini jeri. Pada penundaan nikmat dunia barang sekejap saja, diri ini enggan. Pada panggilan adzan, subuh, para yatim, miskin, diri ini masih pura-pura tuli...
Jika saja iri dibolehkan, maka ijinkan aku iri pada mereka; para istri dan ibu kuat yang tak menyempatkan diri mengeluh, melainkan menyelesaikan ujian sebaiknya, semampunya.  Semoga Allah merahmati mereka.

Ada dua alasan kenapa saya menulis ini.
Pertama, karena udah lama nggak ngisi blog. Sudah sering buka template, tapi kemudian bengong. Semoga kali ini selesai dan beneran tayang, bukan cuma teronggok di kolom draft.
Kedua, mumpung lagi waras, menulis hal2 yang membuat saya waras. biar nanti pas nggak waras lagi, baca ini, dan mudah2an mampu waras kembali.

Tadi saya mau nulis apa ya...
(kembali setelah 7 menit)

Sudah bosan beum denger cerita para ibu tentang betapa jungkir baliknya berada di rumah 24 jam bersama satu anak dan satu balita yang seolah berada di jet coaster? Saya nggak akan mengurainya.
Saya tidak tahu bagaimana para ibu lain mengalami atau merasakannya, karena ketika para ibu berkumpul dan bertukar cerita, telinga saya biasanya jauh dari situ: mencoba menangkap suara anak-anak saya yg sedang bermain di luar. Mustahil untuk duduk tenang dalam sepuluh menit tanpa satu teriakan. Meski seringnya yang teriak ternyata bukan anak saya, hehehe.

Ada masa-masa ketika saya merasa ada sesuatu di kerongkongan. Membuat sulit menarik napas. Dan tiba2 saja mata saya basah. Tak bernai bertanya pada Allah Maha Baik, kira-kira jet coaster ini memiliki berapa putaran lagi?

Tapi kemudian, daripada merasa-rasai sesuatu di kerongkongan itu, saya mencari cara sebanyak mungkin untuk tetap waras. Ada dua artikel yg cukup berpengaruh untuk saya (terima kasih mommy2 yang sudah mengupload ide2 brilian!)--membaca artikel lebih mudah daripada mendengar teman bercerita, karena artikel tidak cemberut kalau saya terpaksa mengabaikan mereka sejenak demi cucian-jemuran-penggorengan-atau kecelakaan toilet.
Artikel pertama tentang self discipline. artikel kedua tentang mother priorities. Kalau di google, insyaAllah kedua topik tersebut banyak sumbernya, dan tinggal pilih mana yang sesuai dengan gaya kita masing2.

Saya sendiri, akhirnya menemukan cara untuk tetap waras. Ini dia:
1. Menjaga hubungan dengan Allah.
 Shalat wajib dengan buru2? Mengejar target 1 juz?
Bukan hubungan seperti itu yang cocok untuk saya. saya membutuhkan moment untuk berdiam dan berpikir tentang mengapa saya di sini; mencoba melihat hidup sebagai gambaran utuh, bukan potongan puzzle. Anak menangis dan cucian segunung itu adalah potongan puzzle. Gambaran besarnya pasti lebih baik. Saya cuma perlu berhenti untuk menyadarinya kembali. Dan seringnya, waktu itu saya temukan tepat setelah shlat. Jadi kalau shalat dengan terburu-buru, berarti saya kehilangan momen itu.
Saya tipe yang memilih membaca Al Quran di saat tenang, ketika anak membaca, mewarnai, atau bahkan bersedia mendengarkan. kemudian membaca terjemahan, baik lagi jika lebih dari itu. Kadang hanya tiga ayat. di saat lain, saya mengambil mushaf, membukanya secara acak, dan membaca ayat yang paling pertama ditangkap oleh mata saya. Kadang2 terasa benar2 ajaib :)
Mengingat Allah, memandang semua keberkahan dan ujian itu datang dari Allah, membuat saya tetap waras.


2.. Mengatur prioritas.
Seolah-olah ada banyak sekali yang harus dikerjakan; membersihkan kompor, melap kaca oven, menyusun ulang rak piring, menyapu kolong meja tv, memasukkan baju usang ke kardus, menggosok sudut lantai di toilet, memasang kancing baju kakak, mencari topi adik yang hilang, menyelesaikan hafal Al Buruj, shalat dhuha, menjenguk tante A atau Mbak B, membeli roti atau membuat roti, mengambil lidah buaya, menyiram cabe, menelepon fulan fulanah, ke bank, ke pasar, ke sekolah. Menemani kakak menggambar, memerhatikan adik membangun benteng, mengajari kakak melipat selimut, menemani adik ke toilet dengan benar.
Benar-benar menyenangkan kalau dilakukan satu per satu, bukannya menyerbu di saat bersamaan. Kadang, yang dibutuhkan hanya prioritas, mana yang lebih penting untuk dilaksanakan. Lihat, menulis dan membaca bahkan tidak saya masukkan ke sana :D ada beberapa hal yang akan menumpuk kalau tidak segera dikerjakan, ada hal yang bisa menunggu dan dilakukan kemudian dengan mengorbankan beberapa hal yg tidak penting.


3. Jaga kondisi tubuh
Saya punya masa2 buruk ketika tidur makan dan olahraga tidak menjadi perhatian besar. kemudian saya merenung, kalau bukan saya yg menjaga fisik ini, siapa lagi? kalau bukan skrg menjaganya, kapan lagi? Kalau tidak segera berbenah, apa yang sebenarnya saya tunggu?
Saya mulai memperbaiki makanan, menjadwalkan olahraga, tidur lebih teratur. berhenti keras kepala dan nggaya dengan pola hidup tidak sehat.
Hasilnya? Saya merasa waras sepanjang hari--sebagian besar :p

4. Miliki beberapa sahabat
Yaitu mereka yang tidak menuntut saya ada 24 jam, memaklumi ketika saya terpaksa menghilang, tidak membuat saya melihat dunia dengan negatif, dan kami bisa menerima satu sama lain tak peduli berapa gilanya kami kadang2 :D

5. Bercita-citalah!
Apa sih yang mau saya capai? kalau yang saya mau saja tidak jelas, wajar kalau lihat teman sukses, stres. lihat temen punya anak lucu dan pintar, stres dan mulai deh nilai2 anak sendiri. Lihat temen dapat beasiswa dan kerja di kantor keren, stres; bertanya2 apa memang mau jadi ibu rumahan selamanya. duh, gak ada habis-habisnya... -_-
Setiap orang punya target yang berbeda. Saya menetapkan target sendiri. Masa depan seperti apa yang saya inginkan? Karena saya tipe living in the moment, buat saya masa depan itu ya termausk hari ini. Hidup yang disyukuri dan dinikmati per kepingnya. Ada angin, wah semilir! ada hujan, wah cabenya tumbuh! ada panas, was jemuran kering! ada badai, wah kayak di pilem pilem... :p
Masa depan tidak mungkin baik jika hari itu, saya akan mengingat hari ini sebagai hari penuh keluhan. Miliki cita-cita, apa pun itu. genggam erat2, bekerjalah terang2an atau diam-diam. tapi teruslah berdoa dan percaya. saya yakin, yang hari ini menikmati pemberian Allah, tak mengabaikan keping-keping nikmatnya, insyaAllah akan didekatkan pada cita-citanya.

Kalau hari ini saya tidak bisa menulis untuk novel kedua karena sempitnya waktu, malas, dan beban otak (alessssaaan), saya tidak perlu menyalahkan anak-anak, waktu, dll. Akan ada masanya hal itu menjadi prioritas. Begitu juga dengan pertemanan. Jika skrg saya hanya punya dua sahabat yg nyaris saya telantarkan, saya tidak bisa bilang kalau saya sibuk. itu hanya alasan, jujurnya, saat ini mereka ada di prioritas di bawah urusan anak2. akan ada masanya bagi kami untuk duduk ngeteh dan ngobrolin film. Nanti.

nah, anak2 mulai menjerit, mumpung masih waras, sepertinya saya akan mengambil buku dari rak, membacakannya dan mengantar mereka tidur siang.
:) bersemangatlah membuka halaman hidup berikutnya!













Dear You,
Di antara  jemari kita yang bertautan,
aku meletakkan kepercayaan, rasa hormat, kasih sayang, dan permohonan akan kesabaran.

Kurasa itulah cinta.
Percayalah bahwa aku akan selalu berusaha membuatmu bahagia;
Lebih sering tertawa, dan berlapang dada pada satu-dua duka.
Mungkin akan ada kelebatan mendung yang lewat,
Kurasa kita bisa melewatinya, berbagi humor kering sebelum matahari muncul kembali.
Mungkin akan ada nada yang lepas meninggi, kata-kata yang tak kausukai.
Kurasa aku membutuhkan banyak maaf dan kesabaran, kita akan terus belajar.
Dari fajar ke petang,  senin ke minggu, hari ke tahun...
Entah berapa banyak yang akan kita lewati, aku tak akan menghitungnya.
Aku akan menghabiskannya dengan mengenalmu,
lewat sepotong pagi, sejumput hujan, bahkan dalam heningnya malam.
Aku akan bertahan meski sekali dua kali mungkin orang mengatakan aku pasti bosan.
Tidak, aku akan bertahan. Aku akan ada saat kau tertawa, kesal, marah, luka dan berduka.
Aku hanya meminta, agar Tuhan mengijinkannya.
Aku meminta ruang, waktu, dan kesabaranmu.. menjalani ini bersamaku. Tanpa batas waktu.
Will you?

Pada subuh itu, aku akhirnya mendengar sesuatu yang lebih baik dari segala musik, lebih bermakna dari segala lagu.
Pada adzan yang memecah keheningan, entah bagaimana membuatku berani. Ah, hari, terus datang satu per satu, tak bosan meski aku selalu menggerutu; mengisinya tak sepenuh hati. Subuh, membuka hari yang baru, menawarkan semangat yang baru. Adalah aku; mengambilnya atau tetap menutup mata.
Pada kokok ayam itu, aku ingat jauuh ke kampung halaman. Tempat masa kanak-kanakku tertanam. Bersama orang-orang yang sudah tiada. Aneh rasanya, bagaimana kenangan itu terasa begitu hidup; seolah aku masih mendengar keran yang mengalir di belakang, bagaimana aku membaui arang dari tungku dan kopi panas pertama hari itu. Semuanya lekat dalam benak. Aku bahkan mengingat bagaimana penyiar radio itu menyapa pendengar dengan suara serak bangun tidurnya. Dulu aku membencinya, sekarang, aku ingin mendengarnya kembali, bersama orang-orang yang sudah pergi.

Pada segaris jingga di balik bukit yang perlahan naik itu, aku seperti melihatnya bersamamu, Ayah. Aku seperti kembali pada tahun-tahun di mana yang kukhawatirkan hanyalah; dengan siapa aku akan bermain hari ini.

Pada bintang terang yang kemudian hilang, pada rumput yang terjejak oleh kaki, pada air yang mengalir, pada cicit burung yang keluar dari sarang... aku menjumput semangat hidup.
Terima kasih sibuh. Terima kasih untuk lembar-lembar kenangan yang terus melekat.
Setiap kita memiliki hak untuk memilih. Setiap kita memiliki hak untuk menyuarakan pilihannya, atau menyembunyikannya. Itulah makna merdeka.

Setiap orang berhak merasa aman dengan pilihannya, yang bearti kewajiban orang lain untuk menghormati itu; tidak menekan, mengintimidasi, merendahkan, apalagi mencelakai.

Hanya karena seseorang diam, bukan berarti dia tidak berpartisipasi dalam pemilu. Mereka mungkin hanya memilih untuk tidak bertarung di perang semu yang tidak ada habisnya.

Hanya karena seseorang tidak ribut-ribut di socmed, bukan berarti dia tidak peduli. Bisa jadi bentuk pedulinya lain; tidak ikut membagi-bagi berita yang alih-alih membuat negeri ini maju dan damai, melainkan porak poranda dan terpecah belah.

Hanya karena seseorang berbeda pilihan denganmu, bukan berarti ia tidak menginginkan yang terbaik untuk negeri ini: pilihan seseorang selalu dipengaruhi pengalaman dan harapan-harapan hidupnya. Siapa yang lebih mengenalnya daripada dirinya sendiri? Lalu apa hakmu memaksa ia berganti pilihan.

Hanya karena pilihan kita sama, bukan berarti aku harus membenarkan segala caramu dalam mendukung pilihan ita; salah ya salah, benar ya benar. Aku masih memiliki hak suaraku sendiri, dan tidak harus selamanya sepakat denganmu.

Hanya karena kita teman, bukan berarti pilihan kita sama. Ekspektasi kita berbeda, karena pengalaman terkecil saja bisa berpengaruh di sana, sementara, tak semua pengalaman hidupku kuhabiskan denganmu.

Hanya karena pilihan kita berbeda, bukan berarti kita harus putus hubungan. Aku memilih ini, kau memilih itu. Kita tanggung resikonya masing-masing. Kita nikmati proses ini sedamai mungkin.Toh ini akan berakhir, sementara kau adalah temanku--kuharap selamanya.

Kita pikir nasib bangsa ini benar-benar ditentukan oleh apa pilihan kita. Kita lupa kekuatan yang lebih besar: kita sendiri. Kita adalah dua ratus juta lebih nyawa, pikiran, dan hati, yang sanggup berbuat dan bertahan dalam hidup. Mengapa merendahkan diri dengan menganggap salah pilih berarti kiamat? Jika dua ratus juta lebih jiwa itu saling berperang dan memusuhi... kurasa itu baru bisa disebut nyaris kiamat.

--to be continued--

Pohon Bungur, Sakura-nya Jogja :D









Dulu saya bertanya-tanya, akan seperti apa rasanya, jika buku saya sudah dibaca orang. Saat itu, tentu saja rasanya luar biasa. Akhirnya! Sekarang, sebulan setelah novel perdana saya muncul di toko buku dan sampai ke tangan pembaca... rasanya campur aduk. Kekhawatiran terbesar saya adalah pembaca kecewa sudah menghabiskan uangnya untuk membeli novel ini. Pfffiuuu... tapi kita tidak bisa menyenangkan semua orang, bukan?

Ketika teman-teman lama mengirimkan foto mereka bersama novel saya, rasanya luar biasa.... terharu, tak menyangka :) Saya berterima kasih karena kalian mau membaca novel ini, semata-mata karena kalian mengenal saya. Terima kasih karena terus percaya dan tetap mendukung saya, teman-teman...

Dan ada beberapa catatan yang saya ingat, dan saya akui memang layak #ByYourSide terima. Di antaranya adalah miskin konflik. Sepertinya saya terlalu menghayati kelas manajemen konflik sewaktu kuliah  :p Jadi alih-alih memupuk bibit2 konflik supaya pecah dan seru, saya malah memadamkannya sejak semula. *huf huf huf* :D Baiklaaah, ilmu satu itu nggak akan saya ulangi kapan2. Saya berterima kasih pada pembaca yang bersedia meluangkan waktu untuk menulis review dan menyampaikan kritikan. Ketika selesai menulis novel ini, saya bisa dibilang kehilangan perspektif. Satu-satunya orang  yang saya percayai ByYourSide saat itu adalah editornya. Tapi karena beberapa alasan, saya tidak berani mengganggu dan bertanya lebih banyak. Kadang saya membayangkan kami meluangkan waktu untuk makan siang yang mendiskusikan novel ini, mungkin saya bisa tercerahkan :D
 Jadi, satu-satunya yang bisa saya lakukan sebagai permintaan maaf adalah mencatat kekurangan saya dan belajar lagi. Jangan kapok baca karya saya ya ;)

Pernah seseorang bertanya, "Apa yang membuat novel ini beda?" intinya adalah, di antara novel-novel romance yang dikemas dengan cantik, yang memenuhi rak-rak di toko buku, apa yang membuat novel ini layak dibawa pulang?--udahlah penulisnya anak bawang, tebel, mahal pula :p

Well... saya khawatir, saya tidak menawarkan banyak perbedaan. Ceritanya  mungkin sama, kacangan, banyak di mana-mana. Tapi saya percaya, setiap kita tumbuh bersama pengalaman, nilai warisan, dan kultur yang berbeda-beda. Itulah yang membentuk siapa kita. Jadi meski cerita saya tidak jauh berbeda dengan orang lain, saya yakin ada beberapa hal yang tak sama. Semoga pembaca menemukan hal itu di ByYourSide. :)

Saya bukan pengiklan yang baik. Saya malu untuk mengatakan, "Dear Friends, baca novel pertama saya ini ya?" Tapi saya akan dengan senang hati menawarkan kalian, pembaca yang baik, untuk berkenalan dengan orang-orang yang lahir dari benak saya ini. Berkenalanlah dengan mereka; Erga, Kania, Evan, Vidya, Emi, Oma Linda, Dr. Rashid, Dr. Bian, bahkan Nina... saya percaya mereka orang baik, dan saya berharap mereka bisa menularkan ketulusan dan semangat.

Terus membaca dan mereview! ;)

Prambanan at Night

Ketika dunia terasa begitu ramai, hiruk pikuk, sahut menyahut...Telinga terus berdengung sementara mata mencari-cari apa lagi yang masih dikenali.
Kita hidup di masa ketika dunia ada dalam sepetak layar. Ketika teman baru ikut tertawa bersama, atau orang yang sama sekali tidak kita kenal mencibir dan berhasil membuat kita merasa buruk. Keduanya kita terima. Tapi sering kali, diam-diam kita merindukan gua sepi ntuk menarik diri sejenak.

Dan ketika hiruk pikuk semakin menjadi...

Close out all the tabs. Turn the phone on silent.
Open the window.
Take a deeep breath...
Look at the tree. A new branch, a new leaf.
Look at the sky. It's clean, or the clouds remind you of someone.

Pick a book. Choose a seat.
Read something that's really meaningful to you. Enjoy the words. Swallow the sentences. Let it dance in your mind.

Close the book. Close your eyes.

Now, can you hear them?

Your soul voices.





Alhamdulillah :)

Novel ini saya tulis pas baru-baru nyampe Gorontalo, tiga tahun lalu. Masih sepi, belum ada temen, anak-anak masih lama tidurnya, suami ngajar sampe sore. Belum ketemu endingnya, terus saya simpan. Tahun 2012 (ya Tuhan....udah selama itu ternyata :D) ada lomba Amore dari Gramedia Pustaka Utama. Saya coba ikutkan naskah ini, meski nggak yakin juga ini novel jenisnya apaan hehehe... Daaan, April 2013, keluar pengumuman gelombang kedua, saya termasuk pemenang berbakat, finalislah pokoke :D itu aja udah seneeeng banget. Tahun 2012, ulang tahun saya dapat hadiah pengumuman naskah anak saya menang lomba, juara satu, dapat dua jeti :p Jadi pas tahun 2013 dapat 1,5 jeti, girang kebangetan. Waktu itu gosip2nya sih segera diterbitkan. Oh ya, waktu itu diumumkan ada total sebelas finalis.

Lamaaaaa banget, finalis-finalis lain bukunya sudah mejeng di toko buku. Saya nanya ke editor dan dikabari, masih ngantri. Saya kira itu ngantrinya dua minggu-dua bulanlah. Temen-temen yang ngasih selamat pas pengumuman April itu sudah mulai bosan mungkin bertanya ke saya, "kapan terbitnya?"

Ada rasa sedih, malu, minder... dan sempat berpikir, eh, jangan2 nama saya nyelip dan sekarang mereka udah nyadar kalau naskah saya nggak layak :D waktu itu sediiih pake banget. Bertanya-tanya kenapa, tapi nggak tau mau nanya ke mana. Untunglah, sahabat dumay saya, Mbak Indah Hanaco, punya bejibun kalimat penyemangat--ya ampun mak, terharu deh kalo inget--yang bikin saya lumayan bisa move on. Dengan dia saya bisa cekikikan tiap hari dan merasa ringan saja kalau ada yang bertanya, "kapan terbit?" --udah kayak nerima pertanyaan "kapan lulus?" pas jaman skripsian dulu :D

Oktober 2013, saya pulang ke Jogja. Setiap hari hujan, nggak tau mau ke mana. Nggak ada temen yang pengangguran, dan anak2 sibuk sama neneknya. Saya melototin naskah di laptop tiap hari, ngecek e-mail sehari bisa tiga kali (pagi, siang, deket magrib) kkkk.... parah beud. Daripada nganggur dan sakit jantung, saya baca-baca tulisan Mbak Hetih Rusli, Editor Gramedia yang juga megang naskah saya waktu itu. Dari tulisan-tulisan beliau saya banyak belajar. Pelan-pelan, saya merapikan naskah saya, membuat pembuka, mengganti ending, meniadakan basa-basi, dll. Desember saya mengirimkan naskah hasil revisi itu. Dipandu oleh tulisan Mbak Hetih :)

Januari, Februari... saya dikabari proses editing sudah dimulai, naskah dibaca dan dikoreksi Mbak Ruth Priscilia A. Mereka jeli sekali. Saya sampai mikir, wuiih, kayak laser, tau aja salahnya nyelip di mana. Mereka membantu saya memahami kalimat yang benar tapi tetap indah. Mbak Hetih meminta saya memerhatikan PoV. Dikasi contoh dan beberapa tips, tapi tetep aja saya gablek :D ngutak-atik, bukannya tambah bagus malah ancur, kkkk.... akhirnya dua atau tiga malam berkutat dengan si PoV.

Bulan itu juga saya milih judul, membahas sampul. Dulunya novel ini berjudul When (WIll) You Merry Me? :D yang diputuskan demikian selagi nunggu mesin fotocopy bekerja (beberapa menit sebelum dikirim). Akhirnya dikasih judul By Your Side (setelah sebelumnya At Your Side ternyata ada yang punya. Saya malah nawarin A Lifetime Promise, tp kok kayak judul Hisrom, hehehe).

Maret saya diberikan pilihan sampul. Ada yang lebih bagus dari ini sebenarnya, maniiis banget. Mbak Hetih juga suka yang itu. Tapi saya dan Mbak Indah Hanaco ntah kenapa terhipnotis sama yang ini :D dan diam-diam berharap, aduh, semoga nggak kualaaat. Semoga teman-teman di luar sana menyukai sampul yang ini dan memutuskan membelinya ^__^

April saya diminta membuat sinopsis, lembar terima kasih dan profil penulis.

Dan inilah jadinya.


Ffiuuuuh.....

Biarlah keluar paling buntut, yang penting saya menikmati proses belajar melalui tulisan-tulisan Mbak Hetih. Membuat saya ingin menulis lebih baik :)

Selamat datang di dunia, Kania dan Erga! :D
Siapa yang masih geli sama siput sampai usia dewasa? Saya salah satunya. Beda dengan anak-anak saya, yang kalau lihat siput di rerumputan setelah hujan, bukan ajaib lagi kalau mereka langsung memungut dan mengintip ke balik cangkangnya. "Apa sih ini?" FYI, mereka masih 5 dan 4 tahun :)

Jadi, setelah minggu lalu belajar tentang gajah, minggu ini kami belajar tentang siput. Temanya siput, belajarnya, yaa.... pas Ami pingin nulis, dia nulis "Siput di halaman" atau "siput licin" atau "siput lucu aku suka" dst dst. Lalu kita menggambar siput. Ah, ada satu siput yang menemani di dinding kamar, tepat arah saya menghadap ketika tidur. Mewarnai siput, so far, yang anak suka adalah mewarnai cangkangnya dengan warna pelangi. Biarlah, sebelum mereka mengenal cupacabra snail yang menyeramkan itu :D

Saya jadi tau kalau siput itu hemaprodit, tapi tetep aja butuh siput lain buat kawin... (saya belum menjelaskan ini ke anak-anak sih) :D terus, siput itu hapal jalan pulang ke rumah. Sebenarnya rumahnya di punggung itu sih, kayak kantong tidur, tapi ada sarang di dalam tanah atau di tempat-tempat dingin yang mereka hapal arahnya. Siput itu penyendiri tapi kalau ada makanan dan bertemu temannya, dia suka berbagi. Siput suka keluar basah-basahan di saat hujan. Bukaaan, bukan karena romantis, tapi karena siput nggak mau tenggelam di rumahnya yang biasanya di dalam tanah. Mereka lebh sering ditemui ketika hujan, gerimis, setelahnya, atau malam hari, karena mereka suka suhu dingin. Dan kalau suhu terlalu panas, mereka akan menutup pintu cangkangnya dengan cairan mucus supaya udara di dalam tetap sejuk.
Ini nih ya, ngefek banget untuk mempengaruhi anak supaya masuk rumah kalau cuaca lagi hot-hot-nya. "Kalau panas apa yang dilakukan siput?"
Mereka jawab, "masuk cangkang!"
"apa kalian mau jadi siput sampai matahari redup??"
"Mauuuuu!" :D

btw, pas lg nyari2 bahan cerita, ketemu web cantik, yang memuat foto-foto luar biasa dari Photographer Vyacheslav Mishchenko (semoga ga salah nulis namanya -__-)













Pertanyaan yang sering kami terima sejak anak-anak homeschooling:

Kapan anaknya duduk belajar? --kelihatannya main terus :p
Yang diajarkan apa saja?
Apa anaknya sudah bisa baca? pakai metode apa?
Anaknya bisa berhitung? --nyanyi terus kedengarannya
Nanti susah lho beradaptasi...bergaul...
Sampai kapan?







Anak2 tidak punya jam khusus utk duduk dan belajar, karena homeschool bukanlah sekolah yang dipindahkan ke rumah. Anak bahkan belajar ketika berdiri di depan keran, jendela, ngglesor di lantai, mengukur ubin, dll. Di pagi hari, setelah main sepeda sebentar, mereka masing-masing membuka buku. Kadang mewarnai, kadang  gunting-tempel, kadang minta dibacakan buku. Tapi yang paling sering mereka menulis mandiri, artinya mereka tidak mau didikte tentang apa yang harus mereka tulis. Mereka menyalin kata-kata yang mereka lihat, atau sekadar membuat kode yang hanya Tuhan yang Tahu apa artinya.

Yang diajarkan adalah apa yang menarik perhatiannya saat itu. That's why anak yang belum bisa membaca kadang bisa tahu Nicaragua itu ada di mana, kenapa paus itu mamalia, dan kenapa gajah tidur berdiri. Anak2 akan siap membaca dan orang tua akan melihat kesiapannya, kalau dia sudah tertarik, proses membaca itu tidak perlu dua tahun duduk di kelas utk mengeja. Yang penting, mereka menikmati buku dan antusias mengenal kata per kata.
Kurikulum? Ya, kami punya, tapi tidak sebaku sekolah umum. Saya tidak menargetkan apa-apa dan tidak ada ujian apapun. Kami mengantarkan asmaul husna dalam cerita sehari-hari, ketika anak melihat burung, melihat awan, hujan, petir, orang sakit, dll. Nabi-nabi dikenalkan dalam cerita sebelum tidur (1 bagian dari 4 pengantar tidur: cerita nabi, fabel, pesan ayah-ibu, doa). Kami tidak mengajarkan berhitung secara khusus, tapi kami mengajarkan anak tentang alam, bagaimana hujan, beda laut dan danau, dari mana datangnya petir, dll. Apakah mereka mengerti, mengingat usia mereka baru 5 setengah dan 4? so far, mereka mengerti. Karena kami mengantarnya melalui cerita, gambar, foto, video, dan melihat langsung. Kami hanya sedikit berbicara, sisanya mereka bertanya.
Iqro' diajarkan setelah magrib, dan tidak ada target apapun. Ami mulai dari Iqro' 1 dan ingin melompat ke Iqro' 4. karea dia bisa menangkap, ya sudah, toh akhirnya dia tahu kalau dia harus melewatinya setahap demi setahap.

Anak2 tidak tahu 13 ditambah 4 itu berapa. Tapi mereka sadar kalau 4 jeruknya tinggal 3 karena 1 ada yang mengambil. Kami percaya bahwa matematika adalah logika tentang bilangan.

Anak tidak bisa beradaptasi? Banyak teman saya yang hasil produk sekolah publik, sampai usianya 30an masih merasa dialah yang harus diterima tanpa mau mengerti bahwa dia juga harus belajar menerima. Adaptasi bukanlah segala-galanya, saya tidak akan menyuruh dia menyesuaikan diri pada sesuatu yang dia anggap tidak cocok. Saya tidak mau dia mengikuti kehendak banyak orang hanya sekadar untuk diterima. Dan menerima seseorang sebagai bagian dari kita bukan berarti orang itu harus menyesuaikan dirinya agar sama dengan kita. Begitu juga sebaliknya.

Di rumah, dengan hubungan yang sehat di dalam anggota keluarga, anak akan mengerti tentang menghormati pilihan orang lain, mendengar pendapat tanpa menyela, namun tetap percaya diri ketika mengungkapkan pendiriannya--karena tidak ada yang membully pemikirannya di rumah. Kebanyakan basis komunikasi sehat itu asalnya di rumah. Kompromi, negosiasi, compassion... mereka pelajari melalui contoh di dalam keluarga.

Anak-anak lain terlihat lebih hebat, cepat membaca, berprestasi, dan sebagainya....
Salah satu alasan kenapa kami menarik anak dari sekolah publik adalah karena tidak ingin di usia dini mereka sudah berkompetisi dengan tidak sehat. Anak bukanlah sesuatu yang harus dibanding-bandingkan dengan orang lain. Apa yang ia lalui untuk belajar sangat berbeda dengan yang dilalui anak lain.

Sampai kapan?
Sampai kami melihat ia siap dan merasa aman untuk sekolah di luar, dan memiliki kemampuan untuk mempertahankan pendapatnya, setidaknya tidak terganggu dengan pendapat orang. Kapan itu tepatnya? entahlah, kami sedang mengamati hari-harinya, dan menikmati proses menuju ke sana :) Tak masalah berapa lama...
I'm 29 today.
Hidup dalam ingatan saya terbagi hanya menjadi empat bagian. Bagian pertama, saat Bapak masih ada. dalam ingatan yang itu, semuanya terasa manis. semua makanan terasa enak. Bahkan matahari dalam ingatan yang itu sangat indah biasnya.
Bagian kedua, setelah Bapak tidak ada, hidup bersama keluarga besar. Dalam ingatan yang ini, saya merekam banyak pelajaran. Tentang sabar, mengalah, pahit sebelum manis, kekuatan kata-kata, dan kekuatan seorang perempuan. Juga kedermawanan. Bagian ketiga, dunia kuliah yang amburadul. Mendadak saya kehilangan semua pijakan, marah pada dunia, enggan pada ilmu. Saya seperti Peter Pan yang enggan tumbuh. Kadang, beberapa kali dalam setahun, saya merasa masih berusia 12 tahun.
Lalu, bagian keempat, setelah saya menikah. Kehidupan yang hening membuat saya banyak berpikir, dan entah bagaimana lebih sering kembali pada keping-keping ingatan episode 1 dan 2 hidup saya. Saya lebih meresapi pengalaman, memaafkan diri sendiri (beratnya minta ampun), mengikhlaskan apa yang lepas, memahami apa yang di tangan. Begitulah hidup...
Dan beberapa waktu lalu, ketika saya melihat ke belakang. Ada banyak orang yang telah berpulang. Orang-orang penting dalam hidup saya. Meski tak pernah saya ucapkan terima kasih, cinta, dan doa yang layak, Allah pasti mendengar derit yang ngilu di hati ini. Lalu, ada orang-orang yang berubah. Orang-orang yang saya cintai. Selama mereka bahagia dengan cara mereka yang baru itu, biarlah...

Apakah saya berubah? di dalam, ya. Baru-baru ini saya mengikuti kuis iseng tentang usia sesungguhnya jiwa saya. Dan saya yang mau 29 (saat itu) ternyata berusia 42. Indikasinya sederhana, dan saya pikir ada benarnya: saya mulai sering mengkhawatirkan orang-orang yang akan saya tinggalkan :D Saya bahkan menulis 17 surat untuk putri saya hingga nanti dia berusia 21. Saya selalu memastikan suami saya tahu cara mengerjakan sesuatu. Saya mencintai orang-orang lebih banyak, berusaha lebih memaklumi, dan mengikhlaskan hal-hal yang terlepas...
Seseorang bertanya, jika bisa mengulang, saya ingin menjadi apa/siapa?

Saya ingin menjadi diri saya sendiri. Hidup yang Allah berikan ini, tidak akan saya tukar dengan apapun, meski nasib orang mungkin lebih mulus. Saya mendapatkan suami yang sabar, baik, dan anak2 yang luar biasa. Juga kesempatan untuk berbakti pada orang tua. Bagi saya itu berkah.
Tidak ingin mengubah dunia, menjadi wanita cerdas yang memegang kendali?
ya, itu dulu cita-cita saya, waktu saya 15 tahun :D sebelum saya mengerti, menjalankan keluarga agar tetap pada relnya bukanlah pekerjaan mudah. Kalau semua orang berhasil melakukannya, tidak ada lagi yang namanya PR tingkat dunia. Ambisi yang meletup-letup itu sudah jinak sepertinya :D sekarang, saya hanya berpikir, belajar satu, amalkan satu... kalau saya dan keluarga sudah baik-baik saja, saya yakin, energi kami akan menemukan caranya untuk mengalir pada bumi.

Pagi ini, saya tidak berdoa semata-mata karena saya meletakkan doa pada setiap hari, tidak ada hari khusus. Tapi ada helaan napas yang bersyukur, Terima kasih, Allah, saya masih sempat menjejak di usia 29. Tahun lalu, ketika masih 28, saya bertanya-tanya, akankah sampai 29? Jika ya, alangkah bersyukurnya. Dan hari ini saya berbisik hal yang sama. Akankah sampai ke 30? Jika ya.... semoga saya selamat menapakinya. Dalam hening yang penuh syukur, dalam cukup yang menenangkan, dalam ilmu yang teramalkan, dalam kerja-kerja yang menuai cintaNya.

Jika kemarin-kemarin ada gelisah tentang nasib. Hari ini saya merasa Allah memberikan ketenangan itu sebagai hadiah. Siapakah sebaik-baik penjaga selain Allah? Kita hanya mengantar hingga waktu kita sendiri habis, setelah itu, biarlah Allah mengatur segalanya, dengan keindahan seperti yang Ia beri ketika mengatur hidup ini.







Pada akhirnya, tidak semua orang akan menjadi orang besar. Orang besar yang mengurusi hidup orang banyak. Orang besar yang dielu-elu. Orang besar yang berbayar. 
Ada orang-orang yang menjadi orang kecil. Orang kecil yang beruntung.
Beruntung karena ia memiliki rasa syukur.
Beruntung karena ia merasa aman dengan apa-apa yang melekat pada dirinya:
Identitas, kepercayaan, dan pengetahuan.

Meski bagi sebagian orang ia adalah orang kecil,
tapi ia adalah orang kecil yang bahagia.
Memiliki harga diri dan kasih sayang.
Yang bisa bersyukur hanya dengan melihat langit bersih dan udara semilir.

Ia adalah orang kecil, dengan jiwa yang besar.



amazingsky.net 





Adzan subuh. Kadang tergoda untuk menilai suara yang memanggil-manggil itu. Ada yang masih diselimuti kantuk, ada yang begitu syahdu, seolah menembus langit, menceritakan rindunya pada Allah, Rabb pemilik jiwa. Terima kasih para pemanggil...

Ada rasa berat di hati ini, beberapa hari ke belakang. Bumi seolah gelap. Keributan di mana-mana. Dari darah yang tumpah hingga kata yang kotor terlempar dan berserak. Sedih. Karena sebagian besar adalah orang-orang yang bersujud ketika adzan telah memanggil. Ada yang salah. Mungkin karena kita tergesa-gesa, ada satu langkah yang kita lupa. Sungguh, keterburu-buruan itu menyesatkan.

Kudengarkan lagi adzan subuh ini. Suaranya benar-benar seperti menembus langit. Adakah ia menembus setiap hati?

Aku bersedih karena manusia. Aku bertanya-tanya, mengapa kita begitu mudah membenci, menuduh, tersinggung, membalas dengan keji, melontarkan semua yang di kepala, meludahkan semua apa yang belum terpikir, dan tak pernah melihat dengan selain mata...

Sebentar lagi adzan itu berhenti. Aku melihat langit di luar jendela.
Ah... alih-alih menatap langit yang terbentang, aku selama ini bersedih karena melihat langit-langit yang suram.

Mari membuka jendela kita.








Kalaulah anak hanya sekedar anak,
bukan amanah Allah,
bukan bagian dunia di masa depan,
bukan penggenggam palu-palu peradaban..
Kalaulah ia sekedar anak: tentu aku akan memperlakukannya sesuai keinginanku.

Tapi, apa yang aku tinggalkan untuknya akan ditanyai oleh Tuhanku.
Caraku berbicara padanya akan menjadi caranya berbicara pada dunia.
Caraku menghadapinya akan memengaruhi caranya menghadapi zamannya.
Apakah yang kutinggalkan itu adalah kebingungan, ketidakpastian,
Apakah yang kukenalkan adalah cara2 tak beradab, penuh cela dan hina,
Apakah aku menghadapinya sebagai keburukan, beban, penuh keluh kesah, penuh hardikan dan prasangka...




Ada masa ketika saya merasa, betapa tidak mudah membesarkan anak. Dan saya ingat pada orang tua dan keluarga besar yang membesarkan saya. Pastilah tidak mudah. Setiap keputusan benar-benar harus dipertimbangkan. Oh, bukan cuma perkara besar soal sekolah dan semacamnya, tapi bahkan, ketika ketegangan memuncak dan ada dorongan kuat untuk membentak, menghardik, mengabaikan...

Memangnya kenapa kalau saya memarahinya? orang tua punya hak untuk marah. Anak juga harus tau kalau ada masanya orang tua sedang labil, tidak bisa diganggu, dll, "hey son, welcome to the world!"
Ya... mereka memang tidak akan steril dari orang marah selamanya. Akan janggal kalau kita hendak membuatnya tidak pernah menerima kekesalan orang. Tapi sungguh, Maha Baik Allah dengan pengingatnya. Suatu hari ketika kita menua, ia akan berdoa... "Kasihi mereka seperti mereka mengasihiku sewaktu kecil..."
Maka, biarkan ibu dan ayahmu berusaha lebih keras untuk berbuat baik dan menahan marah padamu Nak.. karena kami berutang itu pada Allah.

Apakah anak tidak boleh kecewa?
Saya sering mengatakan tidak pada anak. Tapi bukan berarti sebagai orang tua berhak melepas anak menghadapi kekecewaan sendirian. Saya memilih duduk di sampingnya, menjelaskan segumpal kesal di hatinya yang bernama kecewa. Ada banyak hal tidak mengenakkan di dunia ini, yang akan dia hadapi: orang menyerobot antrian, orang meludah sembarangan, orang mencuri karyanya, usahanya terlambat, seseorang yang dicintainya ternyata bukan jodohnya...
Maka, Nak, saat ini, ijinkan ayah dan ibumu menemanimu menghadapinya. Ingat2lah ini: dunia kadang tidak sesuai dengan yang kita minta. Tapi bukan berarti hidup harus berhenti. Seperti hujan yang turun saat kau berharap panas yang datang, masih ada hal lain yang bisa kau lakukan dan kau syukuri.

Banyak orang tua yang memertanyakan pola asuh liberatif. Parenting ala Amerika, kalau kata seorang kakak saya. Membiarkan anak jadi raja kecil? No... belajarlah lebih lanjut. Membiarkan anak melakukan banyak hal, bukan berarti membiarkan mereka menerabas yang haram, yang tidak disukai Allah. Tapi selama yang dilanggarnya hanyalah ego orang tua (tidak mau repot, tidak mau berisik, tidak mau disusahkan) layakkah kita mengambinghitamkan metode parenting? padahal masalahnya ada di kita.

ah... rasanya akan panjang membicarakan ini. Suatu hari saya ingin sekali mengatakan pada seseorang yang menganggap saya terlalu liberatif. Bahwa menerangkan perkara boleh dan tidak, haram dan halal, baik dan buruk, tidak mesti dengan pelototan, hardikan, apalagi pukulan. kita masih bisa duduk baik2 dan berbincang. Semoga, kelak anak2 kita akan menjadi generasi yang berlapang dada, muthmainnah, tidak tergesa-gesa, dan pintar membuka percakapan alih-alih menghakimi dan melempar batu pada orang.

Membiaran anak menangis agar dia tahan banting? sembuh sendiri dan bangkit lagi?
Maukah kau duduk di sana dan tersedu sendirian Bu? Dunia yang akan dimasuki anak2 kita adalah dunia yang keras. Duduklah di sampingnya selagi masih bisa untuk menyiapkan jiwanya.
Nak, meski dunia keras, bukan berarti kau harus mengeraskan hatimu. Teladani Rasulullah, yg tetap berhati lembut di zamannya yang jahiliyah. Semoga ayah dan ibumu ada ketika kau memanggil, dan kau akan ingat untuk ada ketika zamanmu memanggil.

Ya, saya pernah lepas kontrol, menghardik, mengabaikan. Pada Allah saja saya memohon ampun. Kepada anak saya meminta maaf. Haknya adalah diberi tahu, bukan dihardik, dan karena saya melanggar haknya, maka saya meminta maaf. Agar kelak ia tahu, tak peduli betapa tinggi jabatannya, jika ia melanggar hak seseorang, ia harus meminta maaf dan menebus kesalahannya.

Allah yang Maha Baik, lindungi kami dari sifat mencari pembenaran atas kejahilan kami. Terangkanlah yang salah itu salah, dan yang benar itu benar. Jadikan kami orang yang melihat hikmah. Berikan kami jalan untuk merendahkan hati, agar semakin banyak ilmu yang dapat kami terima dan amalkan. Jauhkan kami dari prasangka dan keterburu-buruan. Selamatkan kami dan anak2 kami hingga akhir jalan yang Kau tentukan. Amin.








Don't let fears hold you back...



Ini bukanlah kali pertama, aku merasa kau sedang menatapku.
Kadang, entah bagaimana, kita bertukar pandang dalam diam:
di antara percakapan, berpapasan di jalan, atau suatu waktu di persimpangan,
kau melihatku, dan aku diam-diam berpaling.. Diam-diam menolak.

Di antara hening, di tengah keramaian... aku tahu kau mengikutiku.
Aku juga tahu, pada akhirnya kita akan bertemu. Kau, aku, tanpa jarak.
Hanya masalah waktu, bukan?
Kita bahkan tak perlu membahas tempat. Asal bukan di tempat sampah, kukatakan pada seseorang, berharap kau mendengar.

Aku melihatmu, dan mengingat berapa lama waktu yang sudah kuhabiskan,
dan menebak-nebak berapa sisa yang bisa kumiliki.
Lalu pada suatu titik, kau melihatnya di mataku:
aku terlalu mencintai semua ini; terlalu berat meninggalkan apa yang memang seharusnya kulepaskan.

Kapan kau akan belajar untuk siap?
tanyamu, tidak bosan pada kosa kata yang sama.

Kau sungguh-sungguh mau tahu?
Kurasa aku tidak akan pernah siap.
Kau benar, aku harus belajar, selama... berapa waktu yang aku punya?

Kau menggeleng, setia di tempatmu.
"Bahkan aku tak mengetahuinya," katamu. "Bisa kapan saja.
Kau, bersiaplah. Aku akan tetap menjemputmu. Karena aku hanya menjalankan titah."

Ya... pada suatu waktu, di masa yang telah ditulis, kau akan mengatarku pulang.




pictureperfectforyou tumblr


Allah Yang Maha Pemurah, Terima kasih....

Untuk adanya keluarga yang bisa kurindukan,
Untuk sanak saudara yang bisa mencintai dan kucintai apa adanya,
Untuk tarikan nafas kesekian di hari ini, dalam hidup ini,
Untuk udara bersih tidak berduri,
Untuk matahari yang tidak melepaskan kulit dari tubuh--meski ia bisa
Untuk tubuh yang masih bisa bergerak,
Untuk keran yang masih mengalir,
Untuk saluran air yang tidak tersumbat,
Untuk hujan yang datang saat beberapa dari kami kepanasan,
Untuk panas yang ada ketika kami memerlukan sesuatu yang hangat dan kering,
Untuk segelas kopi, teh, dan minuman lain yang tidak menjadi racun di tubuh kami,
Untuk tawa anak-anak yang seperti lagu dari surga,
Untuk jeritan anak-anak sebagai irama hidup kami,
Untuk seribu pertanyaan anak-anak yang mengejar tumbuh akalnya,
Untuk kesabaran yang Kau sisipkan pelan-pelan di hati kami,
Untuk seseorang yang Kau percayai di sisi kami, mencintai dan setia,
Untuk angin yang membuat daun-daun bergoyang, menjadi peringan beban di kala sesak,
Untuk suap demi suap yang Kau halalkan,
Untuk tetangga yang selalu bertanya dan peduli,
Untuk teman yang bisa dipercaya dan bertukar mimpi,
Untuk mereka yang bekerja keras; menghidupkan listrik, menyuplai beras, menemukan internet, membuat film bagus...
Untuk tanah yang tidak banjir,
Untuk banjir yang mengingatkan kami pada kebutuhan Bumi,
Untuk pohon-pohon yang teduh,
Untuk Pohon-pohon yang tumbang, sebagai pengingat kami akan KemahabisaanMu,

Untuk Azan subuh yang mengudara: sejuk, hening, menyentuh...
Untuk ilmu yang Kau beri pada para ulama bersahaja..
Untuk nikmat iman, yang begitu terasa ketika kami tengah berduka...

Untuk segala yang termiliki, bahkan tanpa kami sadari, tanpa sempat kami minta,

Alhamdulillah...
Jika bukan karenaMu, tak akan sampai semua itu pada kami: makhuk-makhluk tapa daya di bumi.







Memaafkan mereka yang tidak mengerti,
Memaafkan mereka yang tidak pandai berkata-kata,
Memaafkan mereka yang tidak sesuai harapan,
Memaafkan mereka yang sering salah paham,
Memaafkan mereka yang berpikir seperti adanya mereka,

Memaafkan diri sendiri atas semua ketidakmengertian, kemampuan yang terbatas, nilai diri yang tidak sempurna.

Memaafkan,

Menjadi hadiah terbaik yang bisa diberikan setiap orang untuk dirinya sendiri.
Agar diri itu menjadi pundak yang ringan dari beban, menjadi hati yang lapang.