Pernahkah Anda, sedang membawa anak atau keponakan jalan-jalan, lalu bertemu ibu lain yang juga membawa anaknya. Lalu si ibu berkata,
"Wah... kok kurusan?" atau,
"Gemuk ya sekarang? Susunya apa? Awas obesitas lho...." atau, apakah Anda familiar dengan kalimat berikut,
 "Umurnya 18 bulan, belum bisa jalan? Si kecil saya udah bisa jalan umur 9 bulan....(senyum lebar)"

Aaaand many else...

Pertanyaan sejenis itu sering sekali saya dengar, bahkan saya alami sendiri. Tidak terhitung berapa mata yang sudah memindai anak saya dan tiba-tiba menjadi timbangan otomatis dan mengeluarkan hasilnya: "kurus banget sekaraaang?" atau "iih, gemuk, obes nih!"
Pernah, di sebuah playdate, putri saya bertepuk tangan karena temannya menyanyi. Ibu si anak mengatakan anak saya bertingkah aneh seperti sedang melihat pertunjukan. Well, bukankah dia memang sedang mengapresiasi 'pertunjukan' temannya?

Saya memaklumi komentar-komentar sesama ibu. Seperti saya sendiri, kadang saya tidak tahu harus mengatakan apa, membicarakan apa, dan kadang menemukan sebuah bahan obrolan yang setelah dipikir-pikir ternyata itu tidak baik. Jadi, daripada saya ngotot anak saya baik-baik saja (hal yang biasa dilakukan para ayah), saya memilih untuk senyum dan berkata.. "Masa sih Tante...? Alhamdulillah sehat kok!"
Itu jawab untuk yang kepedulian yang tidak diungkapkan dengan benar. Kalau untuk yang memang hobinya mencibir dan membagi-bagi aura negatif sampai bumi dipastikan kiamat... What I supposed to say? Sementara saya tahu dia tidak butuh jawaban.

Saya sudah kebal, sehingga tidak pulang dengan membawa beban, "Apa yang salah dengan anak saya?" atau buru-buru membuka google untuk mencari tahu kenapa anak saya.
Selama saya tahu anak saya sehat (siapa yang lebih tahu apa yang dilakukan dan dimakan anak saya selain saya?----hanya di kalangan manusia lho ya) dan tidak menunjukkan gejala-gejala kelainan psikologis, saya tetap percaya diri bahwa anak saya tidak seperti yang orang nilai, dengan tatapan penilaian beberapa menit itu. Satu-satunya pendapat yang bisa menggoyahkan pertahanan saya cuma pendapat dokter anak. Itu juga hanya dokter yang sudah menangani anak saya sejak bayi.


Tapi, lain cerita kalau seseorang menilai langsung di depan anak saya. Mereka hanyalah anak-anak yang mendengar setiap ucapan, dan seseorang harus membantu menyaringnya. Misal, ketika ada yang mengatakan, "Udah besar kok masih ngemut jempol?" atau, "Nggak bisa bilang R ya? Kasihan...udah mau sekolah lho..." atau, "Wah, kalah tinggi nih sama anakku...."

Oke, dalam mimpi buruk saya, mungkin saya sudah melakban mulut itu. Tapi, dalam dunia nyata, yang perlu saya lakukan adalah tarik nafas dan beristighfar banyak-banyak dalam hati, ngusir setan yang terus mengompori supaya saya marah, dan fokus pada anak saya. Seorang anak perlu mengetahui bahwa ibunya tidak menganggap dia aneh, nakal, atau kurang sesuatu, apalagi salah, terutama di depan umum. Ada cara lain (yang dikuasai oleh naluri keibuan) untuk membahas kelakuan anak. Bukan di depan umum.
Maka saya biasanya akan mengatakan, "Dia baik-baik saja." dan menatap anak saya dan memberi senyum mendukung.

Dunia ini cukup kejam, Moms, tidak perlulah senyinyir itu di depan anak-anak.



Untuk saya sendiri, berdasarkan pengalaman tidak enaknya ketika anak dipindai dan dihakimi, saya mengusahakan beberapa hal berikut ketika saya berada di antara ibu-ibu lain.

1. Daripada menebak-nebak dalam hati umurnya, lalu berkata, "Udah besar yaaa?" padahal umurnya masih 3 bulan dan dia hanya kelebihan berat badan, lebih baik saya bertanya umurnya. Lagi pula, kenapa saya harus mengukur besar kecil anak orang?

2. Gunakanlah rekam medis dan kartu sehat untuk mengukur tumbuh kembang anak kita, bukan ukuran anak lain. Daripada sibuk mengawasi  dan menilai anak orang untuk memastikan anak kita baik-baik saja, mending ke pediatrik!

3. Tetap fokus dan bersikap tulus. Keduanya memudahkan saya untuk melihat dengan jelas kelebihan lawan bicara (dan anaknya) daripada kekurangannya. Fokus juga membuat saya bisa berpikir jernih dan gampang mendapatkan kalimat percakapan yang bermutu. Daripada mengatakan, "kurusan ya, sakit?" lebih baik mengatakan, "main ke mana weekend ini? ke rumah yuk...." ---kalau dia mengiyakan, urusan nantilah siap-siapnya.

4. Berusaha untuk mengeluarkan pertanyaan yang netral, bukan menggurui dan menghakimi. Kalau anak teman terlihat sakit, kurus, dan tidak beres, lebih baik bertanya pelan-pelan pada ibunya, "apa kabar? sehat-sehat kan?" Saya percaya, kalau memang itu yang paling tepat, teman saya sendiri yang akan mengatakan kalau ada apa-apa dengan anaknya. Kalau dia tidak mengatakan, mungkin dia masih mau menghadapinya di internal keluarga dulu. Tidak semua orang gampang curhat, Moms...

5. Hargai anak-anak. Jangan anggap mereka patung mini yang tidak bisa mendengar dan merasa, sehingga orang dewasa menjadikan mereka objek pembicaraan dengan semena-mena. Mereka, anak-anak itu, mendengar dan merasakan kalimat-kalimat kita. "Ah, masih bayi kok, mana ngerti dia." justru semakin kecil maka sifat spons (menyerap)nya makin tinggi.



6. Saya cenderung memerhatikan ibu dan anak yang sebaya dengan anak saya. Kenapa? Sifat dasar saya sebagai manusia menyuruh saya untuk membandingkan capaian-capaian keduanya. Apa yang dia sudah bisa dan anak saya belum, begitu pula sebaliknya. Padahal, setiap anak memiliki asupan gizi, pengalaman, dan pengasuhan yang berbeda. Bagaimana kita bisa mengharap mereka tumbuh dan melewati milestone-nya dengan cara dan waktu yang sama?

Mungkin itulah yang membuat saya berpikir dulu sebelum keluar. Jika mood sedang buruk dan saya sedang tidak waras, saya menghindari bertemu orang. Kasihan kalau sampai ia dan anaknya yang jadi korban ucapan tidak waras saya. But, maybe it's only me... What about you, Moms? :)





Tanggal 22 lalu, saya mendapatkan kartu ucapan Happy Mother's Day dari murid-muridnya suami saya. Mengharukan, melihat perhatian dan upaya mereka. 
Saya nggak punya dasar kenapa harus merayakan hari ibu pada hari ini. Mereka yang merayakannya pasti punya alasan, dasar, lihat saja:

1. Bangsa Yunani kuno merayakan hari ibu pada festival musim semi, untuk menghormati Rhea, dewi kesuburan mereka.

2. Bangsa Romawi juga mengadakan festival di musim semi untuk menhormati Dewi Ibu, Cybele. Festival itu disebut Hilaria.

3. Pada 1600-an, gereja di Inggris memiliki perayaan yang disebut Minggu Ibu untuk menghormati Perawan Suci Maria.

4. Di US, Mother's Day diusung oleh Julia Ward Howe (1872) dan Anna Jarvis (sejak ibunya meninggal pada 1905). Mulai 1911, Presiden Woodrow Wilson menetapan Minggu kedua pada bulan Mei sebagai hari ibu dan ditetapkan sebagai hari libur nasioal.

5. Di Nepal dan beberapa negeri Hindu lainnya, Hari Ibu disebut dengan Mata Tirtha Aunshi, yang juga merupakan perayaan bulan baru dalam penanggalan Baisakh.

6. Di Australia, hari ibu dimulai pada 1920 ketika seorang warga, Janet Heyden, menemukan banyaknya ibu-ibu kesepian ketika ia mengunjungi panti sosial. Heyden kemudian mengajak anak-anak di lingkungannya dan dari sekolah-sekolah untuk menjenguk wanita-wanita itu dengan membawa hadiah, juga bunga Chrysanthemum.




7. Di Mesir, hari ibu dipopulerkan oleh seorang jurnalis melalui bukunya Smiling America (1934). Saat itu Mustafa Amin mendengar cerita tentang seorang ibu yang ditelantarkan anaknya yang telah menjadi dokter. Mustafa kemudian mempopulerkan hari ibu agar tidak ada lagi ibu-ibu yang ditelantarkan anaknya.

8. Banyak negara lain juga merayakan hari ibu dengan berbagai sebutan. Umumnya negara-negara komunis seperti Ukraina menghindari komersialisasi hari ibu dengan mengganti nama perayaan menjadi Hari Perempuan Sedunia.

Daaaaan,
Indonesia! Hari ibu di negara ini dirayakan pada tanggal 22 Desember. Kalaulah bukan karena membaca sejarah, saya sudah mengira asal muasal kita merayakan hari ibu adalah peristiwa Malin Kundang :p

Ternyata, hari ibu didekritkan oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno, dalam Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 pada Kongres Perempuan Indonesia ke 25. Hari ibu di sini dimaksudkan untuk memperingati Kongres Perempuan Indonesia yang pertama kali diadakan pada 22-25 Desember 1928 di Dalem Jayadipuran, Yogyakarta. Sekedar tambahan, yang datang di kongres itu adalah 30 organisasi feminis dari Jawa dan Sumatera.



Sebagai muslim, saya memiliki seseorang yang harus saya hormati lebih dari siapapun, yaitu ibu.
Yang tidak boleh saya ucapkan kata 'ah' padanya (bisa lihat Al Qur'an Surah Al Isra' ayat 23)--apalagi jika perkataan yang lebih buruk.
Yang setiap hari harus saya doakan. "Ya Allah, lindungilah, jagalah, sayangi ia seperti dahulu ia melakukannya padaku..."


Note:

Untuk ilmu lebih jauh agar aqidah tetap terjaga, bisa mampir ke Lapak Tetangga Ini.
 Jika ada yang berkata, "kan tradisi baik, nggak apa-apalah diikuti..." Berarti Anda belum mampir dan baca tuntas tulisan di lapak tetangga saya tadi :)

Islam telah memberikan saya paket yang lebih baik. Mereka punya tradisi. Saya punya prinsip. Semoga saya dan anak-anak dikuatkan untuk menggenggamnya hingga akhir hayat.

Untuk keluhan lebih lanjut, siapkan hati mendengar tausyiah di Nasehat Ustadz.





Akhir-akhir ini, konon ada beberapa jenis ibu. Pertama, FTM (full time mother), meski saya nggak ngerti-ngerti juga, kenapa harus ada istilah full time segala. Memangnya ada gitu ibu paro waktu? Kedua, SAHM (Stay At Home Mother), ketiga, WM (working mother), dan juga WAHM (working at home mother), saya sih pingin menambahkan: SAM (Studying Abroad Mother)--sayang saya nggak tahu harus mengajukan inisial itu kemana-- Anda yang mana? Yang manapun, setiap ibu punya ujiannya masing-masing. Tidak ada kelompok yang lebih baik dari yang lain. Lagian, siapa pula yang tega-teganya menyuruh para ibu ini berlomba.

Meski tidak secara resmi diperlombakan, tetap saja beberapa di antara kami merasa sedang berlomba. Mungkin darah kompetitif itu sudah dari sananya mengalir di beberapa orang. Atau tekanan hidup akhir-akhir ini--taulah, tentang reach your dream, you can if you will, be the best of your, etc etc--membuat kami, para ibu,mulai bertanya-tanya, sudah seberapa baik saya di depan dunia? (Saya anjurkan untuk mengganti kata dunia dengan kata anak/anak-anak, demi keselamatan jiwa Anda).


Beberapa saat yang lalu,salah seroang sahabat saya jatuh sakit. Ia pingsan di tengah-tengah aktifitasnya. Dengan bayi yang bahkan belum bisa duduk tegak,tentu saja hal ini mengkhawatirkan. Ia terlalu lelah, dan sebagai ibu menyusui (juga peronda malam) kekurangan waktu istirahat juga makanan baik. Menurut saya, makanan baik selalu dihasilkan oleh dapur sendiri, tidak peduli siapa yang masak. Dengan komposisi dan juga bumbu-bumbu yang bisa kita pastikan sehat dan bermanfaat. Masalahnya, sahabat saya bukan pemasak yang baik, ia juga kesulitan untuk menemukan sayur segar. Di tempat saya tinggal, untuk bisa mendapatkan sayur segar, Anda harus memburunya ke pasar yang buka dari pukul 7-10 pagi dan berpindah setiap harinya. Dengan keadaan bayi, minimnya transportasi, dll, ia juga kesulitan mendapatkan sayur dan makanan segar. Ah, andai saja ada yang siap siaga membantunya...
Oke, mungkin beberapa orang akan mengatakan "Ah, manja." atau "Seharusnya cari akal dan beradaptasi." But, we never know until we walk on her shoes.

Saya sendiri punya dua balita, tanpa asisten, tapi saya juga pernah mengalami masa abu-abu itu. Ketika menjalankan semua roda itu terasa berat dan sulit. Ketika saya berharap memiliki kemewahan untuk memilih cara lain dalam menjalankannya. Akhirnya saya memilih, I'm not wonder mom. Saya jalani saja yang ini semampunya, tidak usah ikut kompetisi Ibu Terbaik, Rumah yg Paling Rapi, Istri Idaman, Chef Rumahan Abad Ini, dll. Dan, nomor kontak asisten per jam masih tertempel di kulkas, kalau-kalau suatu hari saya berubah pikiran dan membutuhkan bantuannya.

Seorang sahabat lain lebih beruntung, memiliki uang lebih untuk membayar asisten. Ketika ada yang mengatakan, "Ya iyalah, dia bisa jadi Ibu Hebat, semua pekerjaan kasar dikerjakan pembantunya!" saya pikir, well, toh dia bayar dengan uangnya, bukan dengan uang saya. Dan dia pasti sudah berusaha dalam dimensi lain untuk menghasilkan uang itu. Atau mungkin dia hanya diberikan kemudahan oleh Allah untuk membayar orang. Bagi saya, setiap kebaikan yang diterima seseorang pastilah tidak semata-mata karena Tuhan ingin memanjakan dia. Mungkin dia sudah atau akan melewati sesuatu yang berat, siapalah kita yang bisa menebak-nebak hidup orang lain.

Sayangnya, seperti ada peraturan SAHM tidak boleh punya asisten. Apalagi anaknya cuma/baru satu. Hm... benarkah? Tergantung juga, apa Anda mau jadi kelabakan demi sebuah gelar super mom, atau memang Anda menikmati semua hal kerumahtanggaan ini. Buat saya, masalahnya memang di situ: Anda nyaman tidak? kalau nyaman, who cares what people say.




Jadi, kalau Anda, pembaca yang disayangi Tuhan, sedang menimang-nimang apakah layak mempekerjakan seorang asisten di rumah, padahal Anda adalah SAHM, pertimbangkan hal-hal berikut:


1. Pekerjakan Asisten, kalau Anda merasa terjebak dalam rutinitas tidak berguna yang hanya menghabiskan tenaga--ngepel sehari lima kali, nyuci lap sehari dua kali, masak satu jam dikali tiga dikali empat orang,etc-- Kalau Anda pikir lebih baik waktu itu Anda habiskan dengan anak-anak, bukankah itu lebih baik?

2. Pekerjakan Asisten, kalau Anda mulai berpikir anak-anak telah mencabut Anda dari dunia nyata. Daripada Anda menyalahkan anak-anakkarena tidak punya waktu menikmati hidup, pekerjakan saja asisten

3. Pekerjakan Asisten, kalau setelah dua tahun menikah ternyata tidak satu orangpun di rumah merasa masakan Anda enak ^^ Tetaplah belajar memasak, tapi pastikan ada seseorang yang benar-benar bisa memasaka untuk anggota keluarga Anda, sementara Anda belajar.

4. Pekerjakan Asisten, kalau Anda merasa gampang lelah, memiliki riwayat penyakit tertentu, dan mudah marah atau pingsan saat lelah. Tidak ada keharusan menjadi Super Mom, ask for help, sebelum keadaan terlalu parah.

Tapi, sebelum Anda benar-benar mempekerjakan Asisten, cobalah beberapa hal ini:

1. Carilah akar masalah yang membuat Anda tidak bisa menangani urusan rumah tangga ini. 

2. Kenali apa yang membuat Anda nyaman. Saya sendiri nyaman dengan jadwal. Jika sesuatu melenceng dari jadwal, saya stress. Jaman dulu saya menyamankan diri dengan barang. Kalau mau fokus, maka saya harus memiliki barang bagus--kompor bagus, mangkok mie bagus, cangkir bagus, pemandangan bagus.... Well, I'm Human Beiiiing....

3. Anda kwalahan, atau cuma sedang bosan? Tarik nafaaaas....hembuuuus.... ayo take a break. Daripada membayar Asisten untuk sebulan penuh, mungkin Anda cuma perlu mengajak anak-anak ke rumah ibu atau mertua dan mendapatkan bantuan dan nasehat di sana (kalau saya, untuk mendapatkan tidur lebih sementara anak-anak bermain dengan nenek kakeknya).

4. Kenali apa yang Anda bisa kerjakan dan yang tidak. Kerjakan yang Anda bisa, pelajari yang Anda pikir Anda akan bisa, dan sisanya, mungkin bisa Anda serahkan pada ahlinya. Saya tidak bisa menyetrika. Seumur hidup, selalu ada orang yang membantu saya mengerjakan itu. Ibu, lalu adik perempuan.... dan sekarang tukang setrika. Saya membayar Asisten milik tetangga saya untuk menyetrika. Hanya setengah jam sehari. Dia mendapatkan upah di jam istirahat siangnya, dan saya tidak perlu pusing melihat pakaian berserakan. Anda akan temukan siasat lain, cobalah!

5. Bicarakan dengan pasangan, apa yang membuat Anda kwalahan. Mungkin sebenarnya dia bisa bantu cuci piring atau buang sampah, hanya saja Anda tidak pernah memintanya! You know them, moms....

Sekarang, kalau Anda yakin benar-benar perlu Asisten, tinggal lakukan dua hal ini:

1. Cek catatan finansial Anda, apakah ada pos yang bisa disiasati atau memang ada dana lebih untuk menggaji.

2. Bicarakan dengan pasangan. Apakah Anda memang perlu Asisten penuh waktu, tukang masak, atau tukang cuci-setrika.

Tapi, ada hal yang membuat saya benar-benar kesal! Yaitu, ibu yang membayar Asisten, Nanny, Koki.... dan dia menghabiskan waktunya di depan layar facebook.... Agar tidak disesali dikemudian hari, catatlah hal ini: anak Anda akan tumbuh dewasa dengan membawa ingatan apa yang telah ibunya lakukan untuk menemaninya belajar tentang dunia.







Kita pasti pernah berdoa untuk anak-anak kita. Membayangkan zaman yang akan ditempuhnya, kadang saya mengernyit ngeri, dan terbersitlah harapan itu, "selamatkan dia, Allah..."



Tina Fey, aktris yang kocak itu, membuat sederet doa untuk putrinya. doa yang detil, yang kalau dipikir-pikir, benar juga ya, kita harus jelas maunya apa, dan kita tunggu Allah bekerja :)

Saya ngambil Gambar dan tulisan ini di webnya Melody Godfred (di web lain juga banyak sih), silakan buka di web Write in Color. Tulisan ini sebenernya ada di bukunya Tina Fey, Bossypants, sayang belum ada di Indonesia :(







First, Lord: No tattoos. May neither Chinese symbol for truth nor Winnie-the-Pooh holding the FSU logo stain her tender haunches.

May she be Beautiful but not Damaged, for it’s the Damage that draws the creepy soccer coach’s eye, not the Beauty.

When the Crystal Meth is offered, May she remember the parents who cut her grapes in half And stick with Beer.

Guide her, protect her
When crossing the street, stepping onto boats, swimming in the ocean, swimming in pools, walking near pools, standing on the subway platform, crossing 86th Street, stepping off of boats, using mall restrooms, getting on and off escalators, driving on country roads while arguing, leaning on large windows, walking in parking lots, riding Ferris wheels, roller-coasters, log flumes, or anything called “Hell Drop,” “Tower of Torture,” or “The Death Spiral Rock ‘N Zero G Roll featuring Aerosmith,” and standing on any kind of balcony ever, anywhere, at any age.

Lead her away from Acting but not all the way to Finance. Something where she can make her own hours but still feel intellectually fulfilled and get outside sometimes And not have to wear high heels.

What would that be, Lord? Architecture? Midwifery? Golf course design? I’m asking You, because if I knew, I’d be doing it, Youdammit.

May she play the Drums to the fiery rhythm of her Own Heart with the sinewy strength of her Own Arms, so she need Not Lie With Drummers.

Grant her a Rough Patch from twelve to seventeen. Let her draw horses and be interested in Barbies for much too long, For childhood is short – a Tiger Flower blooming Magenta for one day – And adulthood is long and dry-humping in cars will wait.

O Lord, break the Internet forever, That she may be spared the misspelled invective of her peers And the online marketing campaign for Rape Hostel V: Girls Just Wanna Get Stabbed.

And when she one day turns on me and calls me a Bitch in front of Hollister, Give me the strength, Lord, to yank her directly into a cab in front of her friends, For I will not have that Shit. I will not have it.

And should she choose to be a Mother one day, be my eyes, Lord, that I may see her, lying on a blanket on the floor at 4:50 A.M., all-at-once exhausted, bored, and in love with the little creature whose poop is leaking up its back.

“My mother did this for me once,” she will realize as she cleans feces off her baby’s neck. “My mother did this for me.” And the delayed gratitude will wash over her as it does each generation and she will make a Mental Note to call me. And she will forget. But I’ll know, because I peeped it with Your God eyes.

(aamiin)


I cry and laugh at the same time :))







Pernah baca artikel di bawah ini? Saya nggak tahu penulis dan penerjemahnya. Tau-tau tulisan itu sudah tersebar di facebook.  Di bawahnya saya sertakan versi asli dari web marie curie foundation. 

Cuma Sekedar Ibu?

Ada seorang wanita yang sedang memperbarui SIM-nya. Dia diminta oleh wanita petugas di bagian pendaftaran untuk menyebutkan pekerjaannya. Dia bingung bagaimana harus menjelaskan pekerjaannya. "Maksud saya," kata wanita di bagian pendaftaran itu, 'Anda memiliki pekerjaan atau Anda hanya ...?' "Tentu saja saya punya pekerjaan," bentak wanita itu. "Saya seorang ibu." "Kami tidak menuliskan 'Ibu' sebagai pekerjaan, 'ibu rumah tangga' saja sudah cukup,' katanya tegas.
***
Saya lupa semua tentang kisah itu sampai suatu hari saya berada di situasi yang sama. Petugas di bagian administrasi itu adalah jelas seorang wanita karir, tegap, tegas, dan memiliki titel yang kedengarannya hebat sperti, 'Petugas Interogasi Resmi' atau "Petugas Administrasi Kota. " "Apa pekerjaan Anda?" Dia mengecek. Apa yang membuat saya mengatakan itu, Saya tidak tahu. Kata-kata itu muncul begitu saja.
"Saya adalah seorang Research Associate di bidang Child Development dan Human Relations (Peneliti di bidang Perkembangan Anak dan Hubungan Manusia)". Petugas itu berhenti, ujung pena pun beku di udara, dan dia mendongak seolah-olah dia tidak mendengar dengan benar. Saya mengulanginya lagi dengan perlahan, berusaha mengatakannya mirip dengan yang tadi. Lalu saya menatapnya dengan heran karena pernyataan saya ditulis dengan tinta hitam yang tebal pada sebuah kuesioner resmi.
"Kalu boleh saya mau bertanya," kata petugas wanita itu dengan rasa ingin tahu, "Apakah yang Anda lakukan di bidang Anda?". Dingin, tanpa ragu-ragu, saya mendengar diri saya menjawab, "Saya punya program penelitian yang berkelanjutan, (ibu mana yang tidak)... Di laboratorium dan di lapangan, (biasanya saya bilang dalam ruangan dan di luar)... Saya bekerja untuk Atasan saya, (pertama Tuhan dan kemudian seluruh keluarga)... dan sudah mendapatkan 4 penghargaan (semua anak
perempuan)... Tentu saja, pekerjaan itu sangat membutuhkan banyak pengorbanan, (semua ibu pasti setuju)... dan seringnya saya bekerja 14 jam sehari, (24 jam tepatnya)... Tapi pekerjaan itu lebih menantang daripada kebanyakan karir yang harus dikejar lainnya, dan hasilnya adalah lebih kepada kepuasaan, daripada uang "
Suara pegawai itu pun kemudian terdengar lebih menghormati saya ketika mengakhiri kuisioner itu, dia pun berdiri dan mengantarkan saya ke luar pintu.
***
Saya pun melaju menuju rumah saya, bersama dengan karir baru saya yang glamor, saya disambut oleh asisten lab saya - usia 13, 7, dan 3.
Di lantai atas saya bisa mendengar model baru percobaan kami, (bayi berusia 6 bulan), dalam program perkembangan anak, menguji pola vokal baru.
Saya merasa telah berhasil mengalahkan birokrasi! Dan saya telah menjadi catatan resmi sebagai seseorang yang lebih terhormat dan sangat diperlukan bagi umat
manusia dari 'sekadar ibu'. ke-ibu-an. Karir yang luar biasa. Apalagi kalau ada papan namanya di pintu.
***
Ini berarti Nenek bisa jadi: 'Senior Research associates in the field of Child Development and Human Relations' ('Peneliti Senior di bidang Perkembangan Anak dan Hubungan Manusia')
Dan Nenek Buyut: 'Executive Senior Research Associates" (Peneliti Senior paling senior)
Bibi adalah "Research Associate Asisten. " (Asisten Peneliti)
***
Silakan kalau mau kirim tulisan ini ke ibu2 yang lain, Nenek, Bibi, dan teman-teman yang Anda tahu. Semoga masalah Anda dapat berkurang, sementara berkahnya bertambah. Dan tidak ada selain kebahagiaan menghampiri Anda. Jadilah ramah kepada siapa saja dan terhadap apa pun yang terjadi. Setiap orang yang Anda temui
sedang berperang dalam peperangannya masing2. Anda tidak pernah tahu kapan saat kata-kata yang tulus, walau sedikit, bisa berdampak pada kehidupan.

Nah, ini aslinya (saya ambil dari http://www.poeticexpressions.co.uk/POEMS/Not%20just%20a%20Mum.htm) silakan berkunjung ke sana. Selain ada tulisan2 bagus lainnya, juga siapa tahu Anda mau menyumbang :)) 


Not just a Mum

A woman named Emily renewing her driver's license at the County Clerk's office was asked by the woman recorder to state her occupation.
She hesitated, uncertain how to classify herself.
 "What I mean is," explained the recorder, "do you have a job, or are you just a..."
"Of course I have a job," snapped Emily. "I'm a mother."
"We don't list 'mother' as an occupation... 'housewife' covers it," said the recorder emphatically.
I forgot all about her story until one day I found myself in the same situation, this time at our own Town Hall.
The Clerk was obviously a career woman, poised, efficient, and possessed of a high sounding title like, "Official Interrogator" or "Town Registrar." "What is your occupation?" she probed.
What made me say it, I do not know...
The words simply popped out. "I'm a Research Associate in the field of Child Development and Human Relations."
The clerk paused, ballpoint pen frozen in midair, and looked up as though she had not heard right.
I repeated the title slowly, emphasizing the most significant words.
Then I stared with wonder as my pronouncement was written in bold, black ink on the official questionnaire.
'Might I ask," said the clerk with new interest, "just what you do in your field?"
Coolly, without any trace of fluster in my voice, I heard myself reply, "I have a continuing program of research, (what mother doesn't), in the laboratory and in the field, (normally I would have said indoors and out). I'm working for my Masters, (the whole darned family), and already have four credits, (all daughters). Of course, the job is one of the most demanding in the humanities, (any mother care to disagree?) and I often work 14 hours a day, (24 is more like it). But the job is more challenging than most run-of-the-mill careers and the rewards are more of a satisfaction rather than just money."
There was an increasing note of respect in the clerk's voice as she completed the form, stood up, and personally ushered me to the door.

As I drove into our driveway, buoyed up by my glamorous new career, I was greeted by my lab assistants - ages 13, 7, and 3. Upstairs I could hear our new experimental model, (a 6 month old baby), in the child-development program, testing out a new vocal pattern.
I felt triumphant! I had scored a beat on bureaucracy! And I had gone on the official records as someone more distinguished and indispensable to mankind than "just another mother."
Motherhood...What a glorious career! Especially when there's a title on the door.


This makes grandmothers "Senior Research Associates in the field of Child Development and Human Relations" and great grandmothers "Executive Senior Research Associates" And Aunts "Associate Research Assistant.

"Poetic Expressions is a proud supporter of Marie Curie whose Nurses provide free nursing care to cancer patients and those with other terminal illnesses in their own homes"
"Please take time to click here and donate what you can"
Thank you
The Poetic Expressions Team
'Words of Comfort and Joy'



Medium, Being Mrs.O’leary’s Cow.
Begitu menyalakan TV, serial itulah yang muncul di layar. Tapi saya tidak akan menceritakan perihal penerawangannya Allison dubois, melainkan cerita putri Allison, Bridget.
Suatu pagi, Bridget (usianya kira-kira 5 tahun) memasuki dapur untuk sarapan dengan memakai helm sepeda. Bridget bilang, dia tidur memakai helm itu dan tidurnya terasa nikmaaat sekali. Jadi dia akan sarapan dengan memakai helm itu juga. Dia juga akan ke sekolah memakai helm itu.
Joe, ayahnya, dengan kalem berkata, “tapi Bridget, biasanya kia tidak makan dan tidur dengan memakai helm. Apa sebaiknya kita membukanya?”

O,o. Bridget menolak. Joe hanya tersenyum mengalah.

Itu terjadi selama dua hari. Sampai pada hari ketika Bridget dan Ariel kakaknya harus foto untuk album tahunan sekolah. Bridget sudah memakai gaun cantik dan... helmnya! Joe mulai tidak tahan, berpikir anaknya terlalu eksentrik. Jadi dia harus bicara empat mata dengan putrinya. 
“Bridget. Kita harus bicara.”
“Apa ayah akan membatakan Natal?”
“Tidak. Natal masih lama, lagi pula tidak ada yang bisa membatalkan Natal.” Joe duduk mensejajarkan diri dengan wajah putrinya.

“Bridget, foto  ini akan kita kirim ke teman dan nenek, akan kita tempel di kulkas, dan akan kita lihat untuk waktu yang lama. Ayah rasa, pasti akan lebih baik jika mata dan rambutmu yang indah tidak tertutup helm itu…”
Bridget menatap ayahnya dengan curiga. Gadis kecil itu tahu ayahnya ingin memisahkannya dari helm merah favoritnya itu. 

“Kalau ayah mau membatalkan natal tahun ini, tidak apa-apa kok…”

Joe hanya menatap putrinya dengan tatapan setengah putus asa.

Lalu, Joe meminta bantuan istrinya agar menghentikan sikap eksentrik putri mereka.  Inilah jawaban Allison,
“Biarkan saja. Itu akan jadi foto yang sangat natural. Begitulah ia pada usia ini, dengan helmnya itu. Mereka masih anak-anak.”

Melihat suaminya masih resah, Allison menambahkan, “Ini akan berlalu. Seminggu yang lalu dia memakai sepatu baletnya bahkan saat mandi. Juga Pakaian dalam spongebob-nya, setiap malam harus kucuci karena dia mau memakainya kembali keesokan paginya. Sudahlah, dia tidak akan menikah dengan memakai helm itu. Percaya padaku.”

Dan ya, Bridget kita akhirnya memakai helm sepeda berwarna merah itu pada foto tahunannya (lihat foto di atas, lucu banget kan? :D).
Saat ia menyerahkan hasil jadi fotonya pada ayah dan ibunya, Bridget sudah tidak memakai helmnya lagi.
Tapi, dia memakai sepatu boots berwarna merah. Ayahnya bertanya, "apa rumah kita kebanjiran?"
Sambil berjalan dengan langkah berderap, Bridget berkata, "aku merasa nyaman, jadi aku akan memakainya selamanya."

 O,0... Kedua orang tuanya hanya bertukar pandang.

---------Saya berpikir, andai saya punya kesabaran untuk bernegosiasi seperti itu ^^--------



Bersama anak-anakmu, satu hari lainnya  telah lewat…
Saat kau berbaring di sisinya yang  terlelap pulas, kau hanya perlu menatapnya, dan hal-hal berat terasa lewat.

Tiba-tiba hatimu terasa merekah, ringan bak bersayap. 

Pelan-pelan kau tersenyum, bahkan diam-diam kau tertawa, saat kau ingat pertanyaannya yang tak habis, protesnya yang konyol, penolakannya yang gigih, dan segala caranya membuat duniamu berputar seperti jet coaster

Menegangkan, tapi tak membuatmu jera.

Lalu tenggorokanmu terasa tercekat, matamu menghangat dan basah,
menyesali ketika tanpa sengaja, tanpa sadar, tanpa pernah benar-benar kau inginkan, kau telah menghardiknya. 

Kau mengabaikannya. 

Kau memintanya berhenti sejenak mengusikmu.
Kau sempat merasa duniamu habis dan dunianya mengepungmu. 
Kau merasa dia begitu sulit… kau merasa, kau hampir menemui batasmu sebagai seorang ibu.

Lalu…

Allah menghangatkan hatimu. Saat kau ingat, bagaimana dia memelukmu, memanggil namamu, menatapmu dan tersenyum, berusaha membuat muka lucu, hanya agar kau kembali tertawa. Agar kerut di dahimu hilang, agar tatapanmu kembali bersahabat. 

Ia lebih dulu memaafkanmu, Ma, tanpa menunggu kau memintanya.

Dan begitulah, kau merasa pundakmu kembali menguat dan hatimu terasa lapang. Maka nikmat Rabb-mu yang mana lagi yang kau pungkiri....

-------Sebenernya ini tulisan lama, cuma mindahin dari facebook. Mohon dimaklumi, karena kesibukan bulan puasa (nyiapin bebuka, di antaranya...) ------------

Sudah seminggu Ramadhan, apa kabar Parents?:) Bagi para orang tua yang sedang menghadapi anak-anak yang sedang tumbuh, ramadhan memang luar biasa bukan?
Di Bulan Ramadhan, Setan2 mudik ke kampung halamannya. ‘Diikat’ untuk tidak mengganggu manusia. Kenapa? Kata kenalan  saya, mengapa harus diikat, mengapa Allah perlu ‘membantu’ manusia seolah-olah manusia tidak mampu kalau setan dilepas. Mengapa tidak dibiarkan saja it become a real battle? Satu lawan satu.
Saya sendiri tidak membayangkan bisa sekuat itu melawan setan satu lawan satu.
Bagi saya, bulan ini adalah kesempatan saya untuk mengenali nafsu saya sendiri. Tanpa ada pembisik, siapakah saya dan nafsu saya? sudahkah saya menjinakkan nafsu saya? Setan memang musuh yang nyata. Tapi nafsu, bagi saya lebih berbahaya, karena wujudnya saaangat rapi menyatu dalam diri kita. Kalau biasanya kita bisa mengatakan, “ih, godaan setan, nih!” dan si setan pun membelalakkan matanya seraya berkata, “gue lagi??”
Di bulan ini, kita tidak bisa menuduh dia yang sedang mudik. Hanya ada kita, dan nafsu kita. Satu lawan satu. Sudahkah kita menjadi jiwa-jiwa yang tenang, yang nafsunya bisa diajak kompromi kapan harus muncul? “Ayolah nafsu, muncul saja ketika aku berada di depan yang halal…jangan muncul kalau aku di depan yang haram… ayo nafsu, buat aku bersemangat untuk bernafsu bekerja, bukan bernafsu menggoda orang (mengambil pekerjaan setan/infal, hehe)
Daaan, untuk parents, ujiannya sedikit lebih berat (huruf besar untuk kata sedikit ya). Karena, tugas berat sebagai orang tua, membesarkan anak (apalagi yang masih balita), menghadapi miniatur mereka;para anak-anak, yang meski ramadhan seharusnya dilarang menggoda, mereka tetap saja menyentil-nyentil saraf kesabaran kita.
Kenapa saya menganggap peran sebagai orang tua berat? (catat: saya tidak hanya menyebutkan ibu lho ya). Kalau anda pegawai dan kesal dengan bos dan lingkungan kerja anda, anda bisa cuti, atau sekalian resign. Anda bisa demo. Anda bisa ngetweet dan bikin heboh jagad raya. Atau, kalau anda adalah si bos dan keki setengah mati dengan anak buah anda yang mbalelo, terlalu banyak tanya dan membantah, seolah-olah pembangkangan adalah bernafas, anda bisa memecatnya. Memberhentikannya tanpa pesangon dan rekomendasi. But, no, no, dear parents, anda tidak bisa cuti, tidak bisa mengundurkan diri sebagai orang tua. Anda juga tidak bisa memecat anak anda…  Anda, harus tetap mengasihi mereka, tanpa peduli betapa pertumbuhan jiwa mereka menguras habis kewarasan anda sebagai orang dewasa
Orang tua yang praktis, pasti ingin menghadapi anaknya dengan kepraktisan pula. Jawaban praktis. Biar praktis diam. Biar bisa selesai dengan praktis. Maka, orang tua ini akan menjawab pertanyaan anaknya seperti : “ayah mau ke mana? Ke masjid? ngapain? shalat? kenapa? di mana? masjid? ngapain? di rumah aja? nggak usah aja…” dengan jawaban: “sssst, ntar Tuhan marah!”
Orang tua yang praktis akan meletakkan anaknya di depan TV, demi selamat dari prakarya anak-anak mereka yang luar biasa. Membantu Bunda mencuci  berarti mencelupkan pakaian yang telah dibilas ke ember cairan pel. Membantu bunda memasak sama dengan menggiling semua sawi dengan pantat gelas, mengupas tomat dengan gigi, dan melempar ikan biar masuk ke ember. Mengepel berarti menumpahkan cairan apa saja dan melapnya dengan kain apa saja.
Cara paling praktis agar anak anda berhenti  menangis  saat jatuh adalah dengan menciptakan kodok imajiner si biang kerok. “Wah, kodoknya nakal ya..uh!” *plok. Siapa bilang Cuma ada kambing hitam?

Cara paling praktis agar anak anda mau masuk ke rumah saat maghrib adalah dengan mengatakan ada hantu, tikus, kucing, yang akan memakannya kalau dia tidak segera masuk.
Dan sebagainya (maaf, saya belum berencana menulis ‘Cara Praktis Membesarkan Anak Anda’). Percayalah, cara-cara tadi, menurut pengalaman saya pribadi, saaangat efektif.
Sesekali, lihatlah televisi, tempat begitu banyak jiwa-jiwa rapuh berkeliaran. Anda mungkin akan bertanya, kok ada ya orang gob*** begitu? Atau, kok bisa ya dia bicara begitu? Atau, bagaimana mungkin seseorang yang sepertinya sekolah tinggi banget itu seolah-olah tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, anda saja yang cuma melihatnya di televisi bisa lebih cerdas. Orang tua seperti apa sih, yang membesarkan mereka? (pertanyaan terakhir diajukan orang tua narsis,hehe…)

Dear parents, menurut psikolog, Fauzil Adhim, jiwa-jiwa rapuh itu berasal dari pendidikan yang rapuh. Anak yang dibesarkan dengan tipuan, manipulasi, penghianatan (“Coba liat Nak, ada gajah lewat!” lalu anda pergi berjingkat-jingkat di belakangnya….), kebohongan, maka anak akan belajar untuk tidak mempercayai orang tuanya. Semakin tidak percaya dia pada anda, dari yang mulanya berkata “nggak tuh, bohong ah,” menjadi ketidakpercayaan ketika anda menasehatinya (padahal benar). Pada saat yang sama, kata Fauzil, kepekaan dan empati anak (khususnya terhadap orang tua) akan mengalami pengerdilan, karena tidak menemukan tempat persemian yang baik. Anak akan belajar untuk memaksakan kehendaknya, mengikis kesediaan untuk memahami, ia menjadi impulsif dan reaktif.
Saya juga teringat akan peringatan Allah dalam Surat An Nisa’ ayat 9 :”Dan hendaklah orang-orang takut kalau-kalau di belakang hari mereka meninggalkan keturunan yang lemah dan mencemaskan (merasa takut) akan mereka. Maka bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan Qaulan Sadida (perkataan yang benar).”

Kadang, demi mengindari tangisnya (yang paling lama cuma 15 menit itu) karena malu dilihat orang, takut dibilang kejam, takut dibilang tidak bisa menangani anak, kita mengabulkan semua keinginannya. Di waktu yang lain, demi menghindari permintaannya, kita berdusta. Kita menakut-nakutinya. Kita membuat kebenaran dunia kabur di mata mereka.
Berkatalah yang benar, dengan bahasa yang bisa dipahami oleh mereka. Mumpung setan lagi pada mudik, ajaklah nafsu anda berkompromi untuk tidak terburu-buru menghadapi anak (ini PR untuk saya pribadi). Jadilah bintang di mata anak anda. Merekalah fokus kita untuk berkata benar, menjadi contoh yang baik, konsisten (sementara, tatapan orang terhadap pola asuh kita, silakan lewat deh…)
Kalaupun mereka harus menangis, percayalah, setelah itu mereka akan merenungi perkataan anda dan, kelak, mereka akan menemukan bahwa anda benar. So, jadilah orang tua yang bisa dipegang kata-katanya oleh anak-anak kita. Mumpung ramadhan, ayo latihan!;)






Ada masanya Yasmin dan Nizam bosan bermain dan tiba-tiba hanya ingin di rumah saja, memeluk boneka dan selimut, dan menonton televisi. Saya bukan orangtua yang melarang TV di rumah, jadi, ya, kami punya Tv dan anak-anak sering menonton. Tapi, tentu saja acaranya harus dipilih dan nontonnya didampingi. Anak-anak juga tau, mereka lebih suka acara Tv yang melibatkan mereka meski sedikit. Ada beberapa jenis acara yang disukai anak-anak saya. Seperti Show Me Show Me, Jungle Junction, Timmy Time (kalau ini saya harus berperan sebagai pengisi suara). Dan yang lumayan baru bagi anak-anak saya di Cbeebies, ada Mr. Bloom's Nursery.
Ben Faulks, aktor sekaligus pemilik ide cerita ini, melakukan riset bertahun-tahun untuk menemukan format acara yang tepat. Ide utamanya adalah agar anak-anak mengenal dunia tanam-menanam. Mereka juga jadi mengenal sayuran dan manfaatnya. Mr. Bloom biasanya menanam biji-bijian ditemani Hasan, Grace, Jassie, dkk. 

Saya menenamni anak melihat Mr. Bloom dan murid-muridnya memilih pot, lalu mendiskusikan dengan anak kami akan memakai pot apa. Hm... mungkin kaleng bekas susu, cat, dan sebagainya. Mr. Bloom mengajari anak-anak cara menanam buncis. hey, tau buncis kan anak-anak? Nah, begitulah cara dia tumbuh lalu kita makan. Oh ya, di sekitar MR. Bloom juga ada bayi2 sayur yang lucu-lucu sekali. ada sawi, brokoli, umbi2an... 

percayalah, nonton bersama anak-anak saya bukan acara hening yang monoton. Mereka akn terus bertanya dan protes. Untungnya acara memang diset untuk mengajak pemirsa seperti berdialog. Anak-anak saya akan menjawab dengan antusias, dan menunjuk-nunjuk... "Jangan lupa batunya Mr. Blooomm...."

acara ini hanya 25 menit dipotong nyanyi bersama. Setelah itu, mari anak-anak, kita menanam sungguhaaan! 
(Kami sudah punya pot, sekop, dan bibit, hanya menunggu cuaca baik...).




Ngaku deh saya, akhir-akhir ini saya malaaas banget masak. Pagi, saat mata masih redup-redup rindu kasur, buat sarapan anak dan suami. Biasanya sih ringan. Mereka nggak mau nasi pagi-pagi. Perutnya melilit katanya. Pokoknya harus ada telor. Kata penelitian protein itu ngenyanginnya lebh awet dari pada karbohidrat (nasi goreng) dan karbo+lemak (nasi goreng juga, hehehe ga nemu contoh lain).

Siang saya masak yang 'rada berat'. Gulai, rendang, soto, dan sejenisnya itu jadwalnya siang. Jadi kalau saya nggak sempat untuk masak lain sorenya masih ada-lah makanan siang tadi. Tapi biasanya, karena saya masaknya sedikit, sengaja, sorenya saya masak lagi. Ini jadwalnya sup2-an dan sayuran lainnya. kadang2 malah makan pecel nggak pake nasi (tapi nambah dua kali :p).

Kenapa begitu repot? nggak sih... saya nggak repot :D
Temen saya aja yg bilang itu kayaknya repot. Saya senang makanan hangat, baru, belum menyerap minyak, dan belum lama terpapar udara. Persiapannya paling sepuluh menit. Total 15 menit-lah. Soalnya semua sudah siap di kulkas.
Begitu dari pasar, saya langsung membersihkan sayuran, bumbu2, ikan, dll. Sudah dibersihkan, masuk kontainer. Begitu mau masak tinggal nyemplung-nyemplung. Cooking is Fun for me.
Lah, terus kenapa jadi malas akhir-akhir ini?
Karena.... ya males :p bosan dan bingung mau masak apa. Jadilah itu gambar di atas sebagai korban kemalasan saya. Nyemplung wajan deh apa nemunya: wortel (ada yang iris serong buat persiapan sup, ada yang iris memanjang persiapan untuk salad) sawi (mau ijo, putih), jipang, kubis, ayam fillet, udang. Bumbunya? mmm...terinspirasi dari capcay sih, sayang kecap inggris sama minyak wijennya kosong. Jadi ya seadanya: Bawang putih merah, merica, jahe, saus tomat home made, kecap asin (buat netralisir bau udang). jadilah....dan anak2 beserta bapaknya pun bersiap makan! tiba-tiba Tante sebelah mengantar Milu Siram.... yah... tau gitu gue ga masak sekalian deh :p
((Asli, ini bukan catatan ilmiah. Just my experience))
Cuaca akhir-akhir ini susah ditebak. Sedang asik-asiknya main bola, eh, hujan.... baru setengah jalan pulang, sudah panas lagi. Syukurnya tubuh ini anti karat. Tapi tetap saja, cuaca jelek sering jadi kambing hitam pas kena serangan batuk, flu, diare.

Berhubung saya tipe emak yang rada paranoid sama obat, kotak P3K saya isinya sedikit sekali. Selain obat mag untuk ayah dan paracetamol untuk sakit kepala bunda, inhaler, untuk anak-anak cuma ada obat cacing sama paracetamol sirup. Obat cacingnya rutin 3 bulan sekali, paracetamolnya malah jarang sekali digunakan.

Yasmin dan Nizam sama-sama pernah kena flu, tapi biasanya giliran. Paling nggak tega pas hidungnya mampet :(  diam-diam Bunda mengolesi sarung bantalnya dengan minyak kayu putih, jadi waktu tidur sedikit terhirup, biar hidungnya lega. Soalnya anak-anak risih kalau pakai inhaler.
Kalau sudah dingin, biasanya cepet banget kena batuk. Sebelum beneran kena, punggung dan dadanya segera diolesi vicks. Kalau dinginnya sudah terlalu, kaus kaki dan topi adalah senjata berikutnya. katanya suhu tubuh itu keluar masuk lewat kepala dan kaki, jadi kalau mau tetap hangat, keduanya harus ditutup.

Kenapa nggak ke dokter?
Karena dokter juga nanti ngasinya antibiotik. Flu itu karena virus, jadi nggak perlu antibiotik, kecuali sistem imunnya terganggu. Untuk meningkatkan daya tahan, anak-anak 'cuma' perlu makan baik, istirahat cukup, hidup bersih (cuci tangan, ganti baju, ganti sprei, nggak gantian gelas&sendok dengan teman, dll). Kalau suhu tubuh di atas 38 derajat celcius, baru deh keluarin paracetamol... yang jarang sekali terjadi karena biasanya setelah diberi minum cukup panasnya turun, biidznillah.

Terus, kenapa dong ada gambar sup ayam?
Iya, itu sup ayam, tapi bunda kurang suka ayam, jadi sayurnya lebih dominan. Sejak bertahun-tahun lalu (maklum, udah setengah tua), cara paling mudah ngusir flu itu dengan sup ayam, dimakan anget2. Setelah itu tidur... itu saja. Saya percaya dengan sistem tubuh untuk melawan flu dengan sendirinya. Setelah ada suami dan anak-anak, mereka juga 'dipaksa' makan sup ayam saat musim hujan berangin datang. Kalau anak-anak suka dengan serbuan sayurannya, suami saya senang dengan sensasi jahe-mericanya. Bikin anget.
Alhamdulillah, so far, it works for my family :)
Yasmin (3 th) sedang terkekeh menikmati tarian Jungle Junction ketika adzan dzuhur berkumandang. seperti biasa, saya mengecilkan volumenya dan segera bangkit, mengekor ayah berwudhu. Tanpa saya duga, si kakak kali ini protes. "Kenapa dikeciliiiin?" dan ia segera memburu remote.
"Adzan Noooon, " ujar saya tak kalah seru.
"Kakak nggak shalat,"  BLUB!
"lho, nggak mau dipanggil Allah?"
"kan kemarin udaaaah," jawabnya masih ngotot, dengan mata tetap ke TV.
"kemarin makasi ke Allah karena Ami dikasi hidung, mata, rambut. Sekarang, Ami kan baru makan udang kesukaan Ami, makasi lagi dong,"
Berhasil. dia menoleh dari TV, meski dengan muka kecut.
"Nanti shalat lagi?"
"iya dong, kan Allah yang panggil, masa Ami nggak mau datang?"
"Ami mau minta hidung Ami jadi warna kuning!" katanya. Shalat Ashar kemarin dia minta rambutnya dijadikan biru.... toh dia sudah lupa.
Dia pun beranjak ke kamar mandi, berwudhu, lalu ke kamar yang biasa kami gunakan sebagai ruang shalat. Sambil teriak, "jangan ditukar ya jangel jangsiennyaa!"

Well, inilah proses harian. Ringan, karena emaknya juga ga pinter-pinter banget. Semoga bisa membekas, menjadikan Yasmin anak yang shalehah. Amiin..
(Belum sempat moto sendiri, tapi beginilah wujudnya....)

  • Tepung Terigu 100gr
  • Gula 2 sendok makan
  • Susu cair 250 ml (kalau nggak ada, ganti susu bubuk 4 sendok+air segelas).
  • Baking powder 1 sdk teh
  • Vanilla esense dua tetes atau 1/4 sdk teh
  • Bubuk kayu manis 1/2 sdk teh 
  • Telur 2 (sebenarnya satu cukup, tapi gizinya kurang, hehe) kuningnya dicampur ke adonan, putihnya di kocok sampe kaku. kenapa harus dipisah? biar pluffi. tengahnya jadi kayak bika.dan empuuuk biar udang dingin.

  • Setelah adonan rata dan kekentalannya pas, campurkan sedikit demi sedikit putih telur. Aduk rata.
  • Panggang di teflon ukuran kecil, olesi dulu dengan margarin. Kalo adanya ukuran besar, bisa juga. 
  • Tuang dengan sendok sayur ke tengah lingkaran dan biarkan menyebar perlahan. kalo mau tebal, tambah lagi :)
    • Setelah berpori, balik dan kecilkan api 
    • Bisa jadi 7-8 pancake!

    Membuatnya cepat, tinggal tuang-tuang dan aduk-aduk. Nggak sampai 15 menit. Kalau ayah suka dihidangkan dengan kopi, kalau anak-anak dengan buah. Kenapa nggak dengan selai atau sirup seperti di negeri asalnya? Karena saya menghindari gula berlebih.
    Kegiatan membuat prakarya bersama memang mengasyikkan. Melatih fokus anak, kreatifitas, juga keterampilan menggunakan benda-benda di sekitarnya. Yasmin paling suka bagian menggnting dan me-lem. Nizam, bagian bertanya, "ini warna apa?" "kenapa di sini?" "ini gambar apa?" "aku mau ini!" dan seterusnya....
    Koper-koper-an ini idenya dari Mister Maker Ceebeebies. Saya pakai kardus bekas susu. Versi mister maker, di cat. Versi saya, ditempeli kertas origami (lagi nggak punya kertas kado dan cat). versi Mister Maker, tutup kopernya pake perekat yang kayak di sepatu itu lho, yang berwarna hitam. karena saya nggak punya, saya siasati pake double-tape. gunting-gunting, tempel-tempel, jadi deh tas Bu Dokter Yasmin :)

    Ini seharusnya sih jadi kotak pesan di pintu. tapi akhirnya jadi kotak kartu hurufnya anak-anak.  gambar bunga itu ngambil dariiklan Enchanteur di majalah bekas :) bagian paling seru adalah ketika memilih huruf. Anak-anak duduk di antara tumpukan majalah dan mulai memilih huruf. Bunda bilang, "kita cari A!" dan mereka mulai riuh menunjuk-nunjuk. Halaman yang boleh digunting hanya halaman iklan yang memang tidak mengganggu artikel penting. Ketika Bunda bilang, "kita cari K!" mereka terdiam sejenak. "K yang bagaimana Bunda?" Dan Bunda mengeluarkan kartu huruf.

    Nah, di majalah milik Bunda ada banyak sekali gambar makanan. baik iklan maupun halaman kuliner. kecuali resep, Bunda membolehkan mengguntingnya. waw, ternyata ada banyak sekali... biar awet, setelah digunting, ditempel/dialasi dengan kardus bekas susu. Lihatlah menu Restoran Nizam:

    Dari Iklan Pizza H....t :D


    Setelah selesai, semua jadi lapar, hehehe. Hati-hati dengan gunting dan Lem. begitu melihat hebatnya kerja LEM, Nizam berusaha merekatkan semua benda, termasuk pipinya ke lantai. Kegiatan ini seharusnya menjadi kegiatan santai, jadi jangan berusaha terlalu sempurna. Yang penting anak-anak belajar. Hasilnya urusan nanti. Namanya juga prakarya anak-anak :)  Dan, waktunya membersihkan kembali ruangan!