Sekolah sudah bubar beberapa saat yang lalu. Masih ada beberapa anak bermain di halaman. Hujan turun rintik. Anak-anak tak peduli. Mereka berlari, memanjat, melompat. Menjerit dan tertawa. 
Saya duduk di gazebo di samping gerbang sekolah, menunggu jemputan datang. Tak jauh dari saya, seorang anak perempuan duduk dengan kakinya yang bergoyang. Matanya menatap teman-temannya yang sedang bermain, sesekali melempar pandang ke gerbang. 
Orin, gadis kecil bermata tajam dan berambut hitam lebat itu adalah anak dari kawasan tinggal saya juga. Ia juga sekelas dengan Yasmin, putri sulung saya. Kadang mereka memang berdua. Saya ingat Orin beberapa kali ikut makan dan mandi di rumah. 
"Hari ini Mama yang jemput?" tanya saya setelah menggeser duduk untuk lebih dekat dengannya.
"Em..." jawabnya, mengangguk dan kembali menggoyangkan kaki. 
Rinai hujan semakin rapat. Saya memanggil anak-anak agar berteduh. Mereka mengabaikan, tentu saja. Mereka baru mendekat dengan kepala basah beberapa menit kemudian, tergelak di antara kecipak air yang dihentak kaki-kaki kecilnya.
Jemputan datang.
Saya memanggil Orin, mengajaknya pulang bersama. "Nanti Tante telepon Mama Orin, ya? Mungkin Mama masih ada pekerjaan."
Orin menatap ke seberang jalan, tempat gedung kantor mamanya berada. Ia mengangguk, menyeret tas dan langkahnya.
Hujan sudha berhenti, menyisakan bau tanah dan rumput segar. Bunga pukul sepuluh tetap mekar dengan bandel di pot-pot di halaman. Sementara anak-anak masuk dengan berisiknya, saya mengantarkan Orin. Baru beberapa langkah, telepon saya berbunyi. Ada pesan masuk.

Bunda Ami? Masih di sekolah? Orin belum pulang juga Bu, bisakah tolong ibu lihatkan? Saya khawatir.

Saya segera membalas. Orin sudah dengan saya. Ini Mama Orin ya? Nomor baru ya Bu? :)

Di depan rumahnya, di bawah payung, seorang wanita paruh baya berdiri. Pengasuh Orin di rumah, saya mengenalnya. Ia sedang memakai ponselnya sambil berjalan.

Ponsel saya kembali berbunyi.

Tak peduli pada hujan, Orin berlari menuju pengasuhnya. Ia tertawa. "Aku pulang bareng Amii..."
Setelah mengantar Orin dan sedikit berbasa-basi, saya pulang. Anak-anak sudah berganti baju dan menunggu susu hangat. "Jangan terlalu panas ya Bundaaa..."

Saya memerika ponsel saya. Meski saya sudah tahu jawabannya. 

Ini Tante yang jaga Orin, Bunda. Terima kasih banyak, Bu. Biar saya jemput Orin ke sana...

Setiap anak mungkin menginginkan seorang ibu. Setiap anak, pasti menginginkan cinta dan kasih sayang. Handuk kering di saat kehujanan. Susu hangat di saat kedinginan. Segelas air di saat kehausan. Berbahagialah mereka yang memiliki ibu untuk menyediakannya. Jika tidak ada, semoga Allah hadirkan orang penuh cinta lainnya di hari-hari mereka, dan semoga Allah membalas jerih ibu yang bekerja dengan sebaik-baiknya. Allah Maha Pengasih. Allah Maha Penyayang. Aamiin.







ASEAN Youth Volunteers Network

ASEAN: One Vision

ASEAN, yang tahun ini memasuki usia ke 46, telah bertumbuh menjadi kekuatan besar yang cukup dipertimbangkan, di mata dunia. Sementara di dalam negara-negaranya, terutama di Indonesia, saya berharap ASEAN lebih dari sekadar sebuah bab bahasan dalam sebuah buku pelajaran IPS. Membicarakan ASEAN bagi generasi ini seperti nostalgia tentang orang-orang heroik yang berhasil menandatangani sebuah kesepakatan dan cita-cita bersama yang mulia. Peace, prosperity, and freedom.

Cita-cita itu mungkin belum sepenuhnya terwujud, tapi setidaknya formula untuk mencapainya sudah mendekati yang paling tepat untuk masa ini. Lihat saja bagaimana Komunitas ASEAN 2015 telah mulai digagas. Seperti sebuah gurita yang menggeliat, tentakel-tentakelnya mulai bergerak. Berbagai komunitas sebagai bagian dari roadmap menuju Komunitas ASEAN 2015 telah berjalan. Di dunia pendidikan, ekonomi, pariwisata, geliat ini lebih terasa.

Tapi, apakah ASEAN hanya milik mereka yang bermodal yang bersinggungan dengan perekonomian kelas dunia? Atau hanya milik mereka yang duduk di universitas bergengsi dan mendapatkan kesempatan untuk pertukaran pelajar di negara-negara ASEAN?

Sejatinya ASEAN adalah milik semua warga negara anggotanya. Peace, propsperity, dan freedom yang diidam-idamkan oleh para pendirinya dahulu itu bukanlah milik selapis warga negara saja. Ia tidak semata-mata menjadi bahasan eksklusif kaum cerdik cendekia, namun terasa jauh ketika warga berdebat tentang batas-batas budaya dan ketimpangan kemajuan antarnegara. 
Menjadi bangsa maju yang berada di garis depan pelaku pembangunan seharusnya mampu mendorong setiap warga bangsa untuk berbenah. Jika tidak ingin menjadi penonton dan objek kebijakan di masa depan, maka hari ini adalah titik awal untuk segera mengejar ketertinggalan. Ada pekerjaan rumah yang menunggu kita: kemerataan pendidikan bagi anak-anak kita, keseteraan kesempatan berusaha bagi semua kelompok ekonomi, dan keadilan gender. Sejalan dengan itu, ketika ASEAN akan menjadi bagian dari tatanan dunia yang stabil dan damai, maka negara-negara di dalam ASEAN memiliki tanggung jawab untuk menjaga komitmen terhadap kestabilan dan kedamaian hubungan regionalnya. 



ASEAN: One Identity

ASEAN Cultural Exchange
ASEAN, sejak semula adalah kerja sama regional yang dibangun di atas keragaman. Negara-negara anggotanya memiliki sistem pemerintahan dan politik yang berbeda, mata uang yang berbeda, bahasa yang berbeda, keunggulan sumber daya yang juga berbeda. Jikalah tidak berbeda, ia beririsan sehingga mudah membuatnya bergesekan--ingat kasus kemiripan budaya antara Mayasia dan Indonesia?
Untuk menjadi apa yang kita cita-citakan, sebuah komunitas kelas dunia yang berperan aktif dalam peta peradaban, setidaknya kita harus berangkat dari titik pemahaman yang sama.  Bahwa yang membuat kerja sama ini memungkinkan bukanlah dasar yang sama, namun keinginan yang sama untuk menjadi entitas besar yang kuat dan tidak terjajah.
Kita memang beragam, dan keragaman yang bersinggungan ini kadang-kadang meletup, menimbulkan gesekan identitas dan kepentingan. Sebutlah itu konflik. Jika kita antarbangsa di dalam ASEAN masih kesulitan untuk berdamai, bagaimana kita akan menjadi referensi perdamaian bagi dunia? 
Kehidupan Indonesia yang multikultural menjadi semacam cermin bagi kemampuan kita untuk hidup dalam keragaman. Kemampuan untuk bertoleransi. Kemampuan untuk mengedepankan kesamaan visi, alih-alih mengedepankan perbedaan. Jika kita-masyarakat Indonesia-masih sensitif dengan cara tetangga kita melakukan urusanpribadinya, maka pertanyakanlah kemampuan kita untuk menolelir tetangga bangsa kita.

Perbedaan yag berasal dari akar budaya tak seharusnya ditentangkan. Kalaulah ada perbedaan yang membuat kita harus berlomba, maka berlombalah demi kesetaraan pendidikan, kemerataan ekonomi, kemampuan berbahasa antarbangsa.

Apakah menjadi satu identitas berarti melunturkan identitas asli kita? Tentu saja tidak. Kita tetaplah apa yang diwariskan oleh bangsa kita dalam nilai-nilai baiknya. Dalam dunia yang lebih luas, kita tetap menyimpan identitas itu, kemudian melebur dalam entitas yang lebih besar: bangsa yang beradab; bangsa yang damai;  bangsa yang cendekia; bangsa yang adil. 


ASEAN: One Community

ASEAN Blogger Community

Jadi di sinilah kita, sebagai sebuah tubuh yang lebih besar dan beragam warna. Mengambil dan memberi keuntungan. Merumuskan dan melaksanakan kebijakan, bukan lagi untuk kepentingan semata-mata sebuah bangsa, tetapi multibangsa. Ketidakmampuan kita menghadapi gejolak regional akan membawa kita mundur dari percaturan politik-ekonomi-sosial secara global. Namun tergesa-gesa mengeluarkan kebijakan dengan mencampuri urusan rumah tangga negara sahabat akan membuat perseteruan regional. Beban untuk menjalani hubungan tersebut tidak hanya ada di pundak pemimpin negara, melainkan di pundak seluruh warga negaranya. Harapan paling sederhananya adalah, sebanyak itu sebuah bangsa berkontribusi, semoga sebanyak itu pula seluruh bangsa mendapat manfaatnya.
Sebuah komunitas bisa saja dibangun dengan dasar kesepahaman dan kesepakatan. Namun yang mengisinya dan membuatnya menjadi komunitas yang bekelanjutan, adalah perilaku orang-orang di dalamnya. Beberapa orang mungkin akan menganggap ASEAN melulu tentang kesepakatan perdagangan yang mementingkan negara-negara bermodal besar. Beberapa yang lain bisa saja menganggap ASEAN hanya lembaga formalitas di mana para pemimpin  bertemu dan berbasa-basi tanpa bisa membuat keputusan yang signifikan, atau lowongan pekerjaan bagi mereka yang suka menyusun rencana tanpa tahu bagaimana mewujudkannya. 
Ya, bisa saja begitu. Kalau kita membiarkannya begitu. 

Sharing and Caring...
People
Sebagai bagian dari netizen, ketika dunia kita lebur dari batas-batas geografis, persebaran ide terjadi dalam hitungan detik, dengan jangkauan yang luas. Kita mengambil dan memberi informasi di dunia cyber. Mungkin di sinilah satu-satunya tempat bagi manusia untuk lebih dulu melihat isi daripada kulit. Mengutamakan informasi daripada pembawanya. Mungkin itulah sebabnya, para blogger (penulis blog) lebih mudah menjalin hubungan antarbangsa daripada orang-orang di luar sana. Di masa ini, blogger menjadi duta bangsa tak resmi yang terus menyuarakan pelbagai berita. Ketika berita di media mainstream tidak bisa lagi dipercaya, maka blogger memiliki tempat khusus sebagai referensi kabar. 

Komunitas ASEAN Blogger kemudian menjadi signifikan, mengingat jumlah dan jangkauan keberadaannya. Setiap blog anggota komunitas ini bisa berkontribusi sesuai dengan keahliannya masing-masing. Tidak hanya menyebar informasi pariwisata dan kuliner (yang tampaknya paling banyak peminat, sejalan dengan tren backpacker di Asia), tetapi juga dalam penyebaran ilmu, pengetahuan budaya negara lain, peluang ekonomi, gerakan lingkungan hijau, semuanya bisa bekerja sama lebih baik dengan bantuan informasi dari para blogger. 
Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengambil peran dalam  lompatan menuju Komunitas ASEAN 2015. Tetapi tidak semua orang dimudahkan untuk memiliki jalan menuju peran itu. Blogger, dengan segenap potensi yang dimilikinya, haruslah benar-benar memanfaatkan kesempatan ini. Jika kita masih bertanya mengapa, maka wajah-wajah anak bangsa inilah yang bisa menjadi alasan kita untuk bersuara dan mengambil posisi dalam tubuh Komunitas ASEAN 2015:

Pasar Indonesia

Petani Indonesia


Pelajar Indonesia









Di rumah saya tidak berlaku program sensor. Ketika melihat artis korea yang pakai rok mini, dengan sendirinya anak-anak bertanya, "Kenapa dia pakai rok sependek itu? Apa aku boleh memakainya?" jawaban saya biasanya, "Boleh, kalau kamu nggak malu sama Allah." dan berikutnya dia sudah tau, yang nampak2 itu berhubungan dengan rasa malu.

Lain waktu, anak saya melihat darah. Dengan penasaran, ia bertanya. "Ih, apa ini?"
saya: "Luka."
Anak:"sakit?"
saya:"Ya. itu darahnya. Luka berdarah kadang bikin sakit. Mau mengobati bunda? tolong ambilkan kotak obat."

berikutnya, ketika adiknya terluka dan berdarah-darah (menginjak beling di parkiran), si kakak mendekat dan mengusap darah itu dengan tangannya. Lalu mencari obat. Begitu saja, ia menerjemahkan luka berdarah sebagai sesuatu yang perlu ia obati, bukan sesuatu yang menjijikkan dan perlu dihebohi.
Sampai, ia ada di pangkuan saya ketika saya membuka berita di Aljazeera. Ia melihat banyak orang terluka. Saya memerhatikan wajahnya yang terlihat tertarik, beralih dari bukunya.
"Anak itu kenapa, bunda?"
saya: "Terluka."
kakak: "Tidak ada yang obati?"
saya: "tidak, pasiennya terlalu banyak, dokternya sedikit."
kakak: "kenapa pasiennya banyak?"
saya: "karena mereka sedang perang. Orang-orang dewasa rebutan tanah dan anak-anak terkena tembakan dan bom."
kakak: "aku mau jadi dokter."
saya: "boleh. InsyaAllah."
ia masih tercenung. "Apa anak itu akan sembuh?"
saya: "tidak, dia sudah meninggal. Jiwanya pulang ke Allah."
Kakak: "Apa dia kesakitan?"
saya: "Mari berdoa, semoga perang selesai dan anak-anak bisa bermain lagi. Atau, kamu mau doakan yang lain?"

Dan dia mengucapkan sederet doa lain, termasuk agar Allah melimpahkan mereka roti yang enak dan hangat.

Kadang, kita menganggap anak terlalu kecil untuk tahu tentang dunia. Padahal perasaan mereka, pertanyaan mereka, sedang menuntut untuk dilatih oleh orang tua. Memang kadang memelahkan berdialog dengan anak, mengingat pertanyaan mereka yang seperti tidak berujung. Tapi janganlah asal menjawab hanya agar anak diam, karena jawaban itulah yang akan membentuk persepsinya terhadap dunia. Tidak remeh, kan?

Apakah anak akan takut pada dunia yang mengerikan atau anak dengan berani maju menjadi penyembuh dunia, ada di jawaban2 orang tua. It depends to us. Mau anak yang aman damai sentosa seperti katak dalam tempurung, atau anak yang memiliki bekal berbagai rasa yang terasah dengan positif dalam menghadapi dunia yang carut marut. Pilihlah!