Tahun lalu, saya masih bisa tertawa ketika membicarakan pilihan sekolah untuk anak. Waktu itu saya sedang menulis artikel untuk koran lokal. Tanpa kecurigaan saya berhasil melist beberapa sekolah bagus. Tahun ini, ketika putri saya siap menginjakkan kakinya di Taman Kanak-Kanak, saya tidak bisa tertawa lagi. Ini masalah serius. Sekolah-sekolah yang ada di list saya tahun lalu, mulai saya tatap dengan pandangan skeptis.
Kalau ada teman yang memuji sekolah anaknya, saya pasti langsung cara tahu, di mana??
Waktu masih tinggal di Jogja, saya sudah mencoret-coret kriteria sekolah untuk anak saya bahkan waktu dia masih dalam perut. Saya bakan nanya ke Bambini, kira-kira per tahun biaya sekolahnya naik berapa persen--berkaitan dengan tabungan dan sebagainya-- dan kalau-kalau anda mau tau, jawabannya adalah 20 % kenaikan setiap tahun. Bagooss...

Sayangnya di Kota ini saya tidak punya banyak pilihan. Montessori yang Islami, ada nggak? :D

Sejauh ini saya berhasil menahan anak-anak untuk belajar dari rumah. Ya ampun, belajar... main-main doang aslinya. Main masak-masak, susun-susun, cari harta karun, nonton Dora, main playdough, dll.... Sejauh ini anak saya masih terbalik balik menghitung 1-10. So what? Setidaknya dia sudah bisa membuka pintu dan menginterogasi tamu. Di dunia yang beringas ini (kalau nenek saya masih hidup, dia pasti kaget lihat dunia skarang) keterampilan menghadapi orang lebih saya hargai daripada menghitung 1-10 (karena toh pada akhirnya dia akan hafal. Lihat saja saya, memangnya umur berapa saya bisa berhitung, nggak ngefek juga ke kehidupan saat ini)--oh well, saya mendengar beberapa orang berkata: kalau kamu lebih cepat belajar berghitung, siapa tau kamu sudah bekerja di NASA saat ini :p

Tapi, demi satu dan lain hal, saya harus mencarikan sekolah yang tepat untuk anak saya. Nah, kata tepat itu yang nggak mudah.
Ada sebuah sekolah keren. SDIT. Pertama, jauhnya minta ampun. Baiklah, sekolah memang butuh pengorbanan, tapi kalau tenaga dan waktunya harus habis di perjalanan? Apalagi yang tersisa untuk di rumah? padahal dunia yang harus dieksplorasinya bukan cuma sesempit lapangan sekolah.
Kedua, mahal. Beruntunglah anda-anda yang berhaisl menemukan sekolah relijius yang jarak dan biayanya terjangkau. Saya nggak akan belagu dengan bilang kalau saya bukan pendukung komersialisasi SDIT, masalah saya adalah ini terlalu mahal dan nggak sesuai dengan budget saya. Kalau menurut anda saya harus berkorban, menabung, dan berasuransi, tengkyuverymuch, katakan itu pada tujuh puluh persen penduduk negeri ini yang kebutuhannya bukan cuma membiayai kaca anti peluru sekolahnya atau biaya perawatan rumput bermuda di halaman sekolah.
Kenapa harus sekolah relijius? Padahal di sekolah seperti itu anak-anak akan didoktrin, diharuskan menghafal...blablabla... "alim aja bisa korupsi" kata seorang teman. Rrr... itu dia, yang alim aja bisa khilaf, apalagi yang buta? Saya berharap anak-anak punya pegangan, masalah apakah pegangannya kuat dan selamanya, tentu bukan perkara sekedar membalik tangan. Orang tua dan pendidik di sekolah harus sama-sama menginstal jiwa-jiwa yang kuat itu pada anak-anak. Well, akan banyak kritik, apa sih yang dikritik orang saat ini. But for me, jawabannya cuma satu kata: aqidah. tidak bisa didebat lagi.

Soal aqidah tidak bisa diganggu gugat, yang lain masih bisa dinego. Dulu, daftar saya panjaaang sekali. Akhir-akhir ini saya mulai insaf.
Ini daftar insaf saya:
1. Tidak ada sekolah yang sempurna untuk melepaskan anak anda. Tapi ada banyak yang cukup baik untuk anda jadikan partner mendidik anak. ingat ya, partner, jadi jangan lepas tangan.

2. Sekolah bukanlah semesta pendidikan. Sekolah hanya sebuah tempat. Sebuah rantai dari serangkaian upaya untuk mengajarkan anak melihat dunia. Jadi saya tidak bisa menganggap urusan pendidikan anak selesai dengan memberinya sekolah, tak peduli bagaimana rating sekolah itu. Bagus atau tidak sekolah, kami tetap masih harus mendidiknya di rumah.

3. Kadang-kadang saya pikir, urusan mencari sekolah yang baik ini, apakah benar-benar karena saya menginginkan yang terbaik untuk anak-anak, atau karena saya tidak ingin mereka kalah dibandingkan anak-anak lain? Karena kalau saya benar-benar mempertimbangkan kepentingan anak saya semata, maka seharusnya saya mengukur kredibilitas sekolah itu dari sudut pandang anak saya. Apakah itu tempat yang nyaman, apakah toiletnya tidak ketinggian, apakah guru itu tidak galak, apakah sekolah itu mengerti tentang beberapa keterbatasannya dan mengapresiasi dengan tulus beberapa kelebihannya?

4. Saya bertemu seorang ibu dari generasi di atas saya. Tinggal di desa, dengan sekolah negeri yang gaji gurunya pas-pasan, fasilitas terbatas, namun anak-anaknya berhasil tumbuh dewasa sebagai pribadi yang hebat? Dikasih apa Buuu?
"Sekolah itu tempat dia mendengar, melihat. Rumah itu tempat dia menyaring mana yang harus diterimanya, mana yang harus diabaikan."
Sang ibu menyediakan waktunya (sudah belasan tahun,kalau dihitung-hitung) untuk mendengarkan anak-anaknya. Obrolan seperti, tadi di sekolah belajar apa, temanmu kenapa, siapa yang terluka, siapa yang merusak apa, apa yang kalian lakukan ketika dihukum...

5. Tidak ada guru yang sempurna. Tentu saja, guru sesekali marah dengan yang berkecenderungan psikopat tentu berbeda. Saya mengenal seorang guru yang selalu mencaci-caci di wall facebooknya, memaki anak didiknya (meski di belakang) dan mengaku telah mematahkan penggaris di pantat muridnya. Saya berdoa cukup dia saja guru yang punya kelabilan jiwa seperti itu. Aamiin. Tapi, saya cukup tenang membaca nasihat Marie Hartwell--psikolog dan konsultan pendidikan untuk orang tua-- bahwa, guru bukanlah malaikat. Dia punya tekanan, masalah rumah, masalah sekolah, tuntutan orang tua dan kepala sekolah.. ketika suatu hari anda menemukan ia marah, jangan buru-buru memakinya balik dan mengeluarkan anak anda dari sekolah. Ajak ia bicara. siapa tau kepala dingin anda bisa menular padanya ;)

6. Dan, saya menemukan sekolah itu. TK negeri yang mungil, dengan halaman hijau dan pohon-pohon teduh. Ada banyak yang mengkritik, oke, bertanya, kenapa dan berapa. Bagi saya ini mencukupi. Semuanya bisa diatur, saya hanya perlu menginstal jiwa pembelajar dalam diri saya dan anak-anak. Kekurangan yang akan kami temui, akan kami bicarakan, akan kami perbaiki. Sebisanya. Kata seorang teman generasi tua: hadiahkan guru anakmu sebuah buku, atau sebuah obrolan dari hati ke hati....

Tentu saya khawatir pada efek kekerasan--apapun bentuknya-- termasuk tindakan bullying. Di negeri ini, drama komedi saja isinya mbully. Tapi, saya sendiri menghabiskan dua pertiga masa SD saya dengan menjadi korban bully sesama teman. Separo masa SMP saya dibully oleh guru. Masa SMU saya sepenuhnya dibully oleh sistem. Dan sebagian besar teman-teman saya merasakan hal yang sama. Kekerasan pada masa itu dianggap tindakan wajar, pendisiplinan. Tapi saya baik-baik saja, thank to my mother. Dan buku-buku serta kepercayaan diri yang diwariskan ayah saya.
Di masa ini, bukan berarti saya akan memaklumi tindak kekerasan di sekolah. Tapi saya akan kehilangan waktu dan banyak kesempatan jika hanya fokus menghindari. Kalaupun saya dan anak-anak bisa menghindari, tidakkah sebagai ibu cukup untuk membuat saya mempertimbangkan kecemasan ibu lain yang anaknya harus masuk ke sekolah negeri dengan banyak keterbatasan, sementara mereka tidak punya banyak pilihan. Saya mungkin bisa berlega untuk anak-anak saya, tp bagaimana dengan anak lain? Karena itu, saya memilih menerima ketidaksempurnaan, tidak menghindarinya mati-matian sampai kategori alergi sekolah miskin, dan bersama ibu-ibu lain, saya harap kami bisa memperbaikinya (cita-cita itu harus muluk, biar rajin mencapainya :))





2 komentar:

Ety Abdoel mengatakan...

Ternyata sama ya denganku. Pengennya anak-anak sekolah di SDIT yg berbentuk sekolah alam, tapi kok ya jauuuuuh..Jadilah harus berkompromi dengan kenyataan. Akhirnya, pilihan di sekolah yg sekarang, dengan kekurangan yang harus saya lengkapi, sbg sekolah pertama.

Bulan Nosarios mengatakan...

Iya Mbak Ety, harus berdamai dengan ketidaksempurnaan, but make it better dengan peran kita di dalamnya :)

Posting Komentar