Pictureperfeckforyou.tumblr

Sudah dua hari Ayah pergi ke kampung halaman di pulau Jawa sana, melaksanakan kewajibannya sebagai seorang anak. Sudah dua hari pula Mbah Uti dipanggil Allah, kembali ke rumahNya, sebenar-benarnya kampung halaman manusia. Tapi saya belum memberi tahu Yasmin tentang kepergian Mbah Uti kesayangannya. Mungkin ia menangkap kalimat-kalimat dari tamu yang berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa. Mungkin ia diam-diam bertanya, kenapa semua orang membicarakan Mbah Putri?

Lalu, di malam menjelang ia tidur, akhirnya saya berkata, "Nak, Mbak Uti sudah meninggal dunia..."
(bukan awal yang baik memang, tapi akhirnya saya memecahkan 'telur' itu).
Dia menangis. Air matanya berurai begitu saja, dan ia menarik ujung kaos tidurnya untuk mengusap air mata itu, sebelum bertanya, "Kenapa?"
Sumpah, saya bingung.
Gagu, saya menjawab, "Ami tahu kalau Mbah Uti sakit, kan? Mbah Uti sudah tua, karena Allah sayang Mbah Uti, Allah panggil Mbah Uti pulang. Waktu Mbah Uti bersama kita sudah habis."
"Seperti kalau bel sekolah Ami bunyi dan kata Bunda waktu bermain Ami habis?"
"Ya, seperti itu."
"Mbah Uti sakit, apa di tempat Allah ada rumah sakit?"
"Tidak. Di tempat Allah, semua orang menjadi sehat, tidak perlu rumah sakit."
"Di mana Mbah Uti tidur?"
"Mari kita berdoa pada Allah, semoga Mbah Uti mendapatkan kamar yang baik, terang, dan hangat..."
Ia mengangkat tangannya mulai berdoa dengan khidmat. Ia kembali membuka matanya,
"Apa Mbah Uti punya makanan?"
"Tentu, Allah menyediakan semuanya. Kita hanya perlu berdoa supaya Mbah Uti tidak kelaparan."
Ia kembali mengangkat tangannya, berdoa, tentang sekeranjang apel, strawberry, susu, sebotol madu, segelas air, dan kue krim yang lezat.
"Siapa yang mengantar Mbah Uti ke tempat Allah?"
"Malaikat Izrail."
"Yang bercahaya, bersayap, dan baik hati?"
"Mmmm. Ya. Tapi kita tidak bisa melihat malaikat," lanjut saya, menutupi keraguan yang bolong bolong.
"Apa Mbak uti terbang bersama malikat?"
"Tidak. Tubuh Mbah Uti disimpan di dalam bumi. Mbah Uti, Ami tahu, yang di dalam sini," saya menunjuk dadanya, "yang pergi menghadap Allah,."
"Kenapa tubuhnya disimpan di dalam bumi? seperti bunda menanam kacang waktu itu?"
"Ya. Karena tubuh manusia diperlukan oleh bumi. Nanti Allah akan ganti tubuh Mbah Uti dengan yang lebih baik, lebih sehat, muda dan cantik."
"Seperti bunda?"
----waktunya melempar botol, pemirsa.....---
"lebih cantik dan sehat dong. Bunda kan sering sakit pinggang."
Ia tersenyum, lebaar sekali. Air matanya sudah kering. "Ami tidak sedih lagi. Mbah Uti sudah baik-baik saja sama Allah."
"Benar, tapi kita harus berdoa setiap hari."
"Apa kalau kita lupa berdoa Mbah Uti dalam bahaya?"
"Tidak. Allah suruh kita berdoa terus untuk Mbah Uti, supaya kita tetap ingat Mbah Uti, dan Mbah Uti senang karena kita mengingatnya."
"Kalau Allah punya mesin untuk memperbaiki Mbah Uti, kenapa Allah tidak kembalikan Mbah Uti ke rumah Mbah Kung?"

Saya tidak tahu dari mana dia dapat ide tentang mesin ini, yang jelas saya perlu waktu untuk menjawabnya.
"Karena... Orang yang sudah meninggal tidak bisa kembali. Waktu MBah Uti di dunia sudah habis."
Dia terkejut sekali. "Kapan kita ketemu Mbah Uti lagi? Ami sangat rindu...." Air matanya kembali merebak.
"Suatu hari kita semua akan meninggal, dan kita bisa saling berjumpa lagi di sana. tapi Bunda tidak tahu kapan. Allah saja yang tahu."

Hening cukup lama. Nizam hanya mengerutkan dahinya mendengar percakapan itu. Tiba-tiba dia berkata, "Ijam mau Ayah pulang ke mari."
Well, dad's little boy.. "Sabar ya, Ayah masih temani Mbah Kung."
Ami sudah pulih tampaknya, ia berkata, "Kenapa Mbah Kung ditemani?"
"Karena Mbah Kung kehilangan MBah Uti, Mbah Kung masih sedih."
"Apa Mbah Kung sudah tua?"
"Ya..." sungguh menyiksa menebak nebak akan ke mana arah pembicaraan ini.
"Kalau begitu Mbah Kung harus makan sayur, olah raga, tidur siang, tdur malam, tidak main panas..."

FYI, itu adalah kumpulan peraturan untuk dia dan adiknya. Titah Bunda.
"Mari kita berdoa semoga Mbah Kung diberi hati yang tenang oleh Allah..." kata saya. Kami berdoa bersama, dilanjut membaca doa tidur.

Senyap seketika. Saya memejamkan mata sejenak sebelum mereka terlelap dan saya kembali beraktifitas--membersihkan meja dapur yang masih berantakan.
Berbicara tentang kematian sebenarnya kesempatan untuk mengenalkan anak pada Allah.  Ada yang hal yang mencuat cuat di benak saya, minta dikeluarkan. Tapi, saya pikir, pelan-pelan saja, biarlah pertanyaan jernihnya yang membawanya pada tahap-tahap pemahaman itu. Saat ini, saya merasa cukup ketika dia bisa mengkhawatirkan Mbah Uti, meminta Allah mengobati khawatirnya dengan segala doa, dan percaya bahwa Allah adalah sebaik baik tempat kembali, bahwa Allah Maha Pengampun, Penyayang, dan kematian bukanlah sesuatu yang buruk sehingga tidak pantas untuk dibicarakan.

Di waktu kemudian, saya berharap masih sempat memberitahunya, bahwa fase hidup berikutnya, yang dilalui setelah kematian itu, memerlukan bekal yang harus benar-benar dikumpulkan selama waktu di dunia ini masih ada. Sebelum bel berbunyi. Sebelum kita harus pergi tanpa bisa kembali.

Lalu saya mendengar kalimat Putri saya, pelan dan jelas,
"Kalau Bunda dipanggil Allah, siapa yang akan cerita untuk Ami dan Ijam?"

"Ayah," jawab saya pendek, mangakhiri dialog panjang.



4 komentar:

Ethie mengatakan...

Innalillahi wainna ilaihi roojiuuun.. Ikut berduka mbak. Pasti anak2 sangat merasa kehilangan dengan 'kepergian' mbah utinya..
Btw, aku sukaaa banget dgn dialog mbak bulan sama yasmin. Keren! serius, keren! Harus belajar ilmu parenting lebih banyak padamu, mbak. Trims sudah mau berbagi :)

Bulan Nosarios mengatakan...

Makasi Mbak :)
ini ibunya aja masih menata hati, eh ya anaknya nggak mau diem -__- hari ini kerjaannya ngabsen: "apa tante A masih hidup? Om A masih hidup?"

kuyung zuhri mengatakan...

bulaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnn...... tulisanmu ituloh.. yah,, "ini bulan". Malu rasanya saya. terus menulis bul..

Bulan Nosarios mengatakan...

ayo Ru, terus menulis (dan memoto)! :) yg acakadut macem aku aja PD, heeheuh..

Posting Komentar