Fineart
Beberapa tahun lalu, saat Ami baru saja lancar berbicara, ia sering mempertanyakan banyak hal. Kadang tercetus begitu saja di depan orang.
Saya ingat hari itu kami pergi ke toko sepatu di pinggir kota Jogja. Toko itu tidak terlalu ramai. Sementara saya mencoba sepatu, Ami duduk di sofa di dekat saya dengan tatapan yang menjelajahi ruangan. Tiba-tiba ia berseru, "Wah, orang itu ketiaknya kelihatan. Malu ya, Bunda?"

Saya spontan menoleh, bukan karena mau melihat ketiak, melainkan cemas seruan anak saya akan terdengar dan disalahpahami. Ternyata seorang asing, berambut pirang dan kulit pucat. Di siang terik, wanita itu memakai tank top hitam dan celana pendek coklat. Sepertinya ia tidak mendengar celetuk Ami, kalaupun dengar sepertinya ia tidak mengerti.
Saya mendekati Ami, dan berkata pelan. "Allah meminta Ami menutup ketiak, bukan?"
"ya," jawabnya mantap. "Juga perut, pantat, dan yang lain."
"Mungkin dia belum mendengar Allah. Jadi jangan bilang keras-keras, nanti dia jadi malu dan pergi."
Sungguh, itu bukan usaha yang sekali jadi. Pemahaman tentang akhlak agar tidak mencela pakaian orang itu saya tanamkan setiap kejadian muncul. Pada orang berbaju warna-warni, pada orang yang rambutnya tak biasa, pada orang yang risletingnya terbuka, pada semua bentuk yang tidak sesuai dengan apa yang ia pahami sebagai sesuatu yang harus terjadi atau dilakukan.

Ketika usianya memasuki empat. Seorang anak tetangga, berjilbab, berkata pada Ami yang memakai kaos dan celana. "Tidak malu, berpakaian seperti laki-laki!"

Putri saya pulang dan menangis. Saya bisa merasai luka hatinya. Naun saya tidak terkejut. Bahkan orang dewasa banyak yang sama 'polosnya' dalam berkomentar.

Beberapa orang tua mungkin bangga ketika anaknya berani menunjukkan jari pada orang yang berbeda darinya. Mereka bilang itu fitrah anak dalam menilai.

Bagi saya tidak.

Karena pemahaman saya yang masih dangkal ini belum memberitahu saya bahwa saya harus menuding dengan keras dan kasar pada orang yang menurut saya tidak sama dengan saya. Pada hati, pemahaman anak akan tumbuh mengenai mana yang benar, patut, dan mana yang belum benar dan tidak patut. Di akal, kebijakannya haruslah tumbuh pula dalam menimbang-nimbang bagaimana menyampaikan sesuatu dengan tepat. Pesan yang benar haruslah disampaikan dengan baik.

Ada berbagai alasan kita berbeda. Dan kalaupun saya tahu alasannya, tidak berarti saya berhak menilainya dan menjadi hakim di depannya. Ada cara halus untuk memberitahu mereka yang seiman, dan kerendahhatian untuk tidak memaksakan aturan dan nilai kita pada orang yang tidak seiman. Ya, kita perlu tegas. Tapi tidak mempermalukan sesiapa.

Di Facebook, saya sering menemukan bagaimana poster-poster mengibaratkan orang yang tidak menutup aurat seperti ayam. Mengatakan mereka yang tidak berhijab serendah benda mati. Saya sedih. Saya malu karena beberapa teman saya menganggap mempermalukan saudaranya adalah bentuk dari menjaga malu. Seolah-olah kehabisan kata-kata baik dalam menyeru.

Teringat pada sebuah buku yang saya baca di awal-awal kuliah. Buku itu berjudul Bekal Dakwah Akhwat yang ditulis Haidar Quffah. Di sana, Haidar bercerita, pernah ia berada dalam pesawat dan duduk di dekat seorang wanita. Parfum wanita itu tercium hingga ke hidungnya. Haidar paham bahwa wewangian wanita haram hukumnya sampai pada hidung lelaki. Tapi ia menahan diri dari menegur wanita tersebut. Pertama, ia tidak yakin wanita itu muslim dan mengetahui hukum tersebut. Kedua, ia tidak ingin membuat wanita itu malu karena menegurnya sementara ia adalah orang asing.
Saya lupa bagaimana akhirnya Haidar menyelesaikan perkara tersebut. Yang saya ingat adalah, betapa pengetahuan akan sesuatu tidak membuat kita berhak menerabas batas-batas kesopanan dalam menyampaikan pesan. Bahwa menjadi alim, berilmu, tidak membuat kita serta merta menjadi hakim dan wajib didengar di mana pun.

Kalaulah dakwah memang disampaikan dengan lidah pedas dan telunjuk tajam yang menyasar ke mana-mana, tentulah hari ini kita tidak akan mengenang Rasulullah sebagai pribadi yang berakhlak mulia. Satu kata yang sering dlupa: ADAB.


5 komentar:

Fardelyn Hacky mengatakan...

Setuju kakak. di facebook saya punya teman yang sebenarnya juga teman di dunia nyata. Terlalu 'militan', terlalu arogan ketika menilai perempuan-perempuan yang belum menutup aurat.
Sampai-sampai mereka (mereka lho kak, bukan satu orang) harus membuat status bahwa akan meremove teman-teman kontak mereka di fb yang nggak pake jilbab. Aiiiiiih...segitunya pemahaman mereka

Unknown mengatakan...

izin nyimak dulu kak....

Bulan Nosarios mengatakan...

orang macem2 ya kak Eqy ^_^ saya cuma bisa berharap anak2 saya rendah hati dalam bertutur dan menasehati. Ibunya juga masih belajar teruuus.. :)

Ety Abdoel mengatakan...

Super pendapatnya. saya setuju Mba Bulan, dakwah itu sesunguhnya mengajak bukan mengejek. Jadi ingat postingan ini http://www.wahdah.or.id/kajian-dasar/akhlak/dakwah-mengajak-bukan-mengejek.html

Bulan Nosarios mengatakan...

Makasi udah mampir mbak Ety... :) terima kasih juga linknya ;)

Posting Komentar