Tak akan panjang tulisan ini.

Saya tidak terlalu mengenal wanita itu. Hanya tahu bahwa suaminya terbaring di rumah sakit. Untuk waktu yang sudah cukup lama, dan entah sampai kapan. Mereka masih muda. Bayi mereka baru akan merangkak satu dua langkah. Mungkin ia tidak sekuat yang terlihat, tapi itulah yang saya ingat; ia tak pernah mengeluh. kata-katanya penuh semangat. Senyumnya tak pura-pura dan memancing iba. Setiap kali ia menjawab kabar tentang suaminya, bukan kasihan yang orang rasa, namun takjub, membuahkan doa semoga Allah merahmati mereka.

Ia mungkin tak sekuat omongan saya. Ia mungkin bukan satu-satunya wanita sekuat itu. Ujiannya mungkin bagi beberapa orang tak seberapa.
Namun bagi saya, ketika kembali melihat diri... betapa hebat ia. Sungguh Allah menampakkannya pada saya, mungkin akan saya bisa lebih kuat. Ujian seujung kuku saja saya sudah mengeluh, maka apalah saya jika ada di posisinya. Tak punya pembantu saja sudah merasa jadi babu, padahal suami dan anak-anak masih ada, tertawa di ruang yang sama....

Lalu bagaimana mungkin, wahai diri, beraharp Allah menuangkan rahmatnya, sementara pada ujian saja hati ini jeri. Pada penundaan nikmat dunia barang sekejap saja, diri ini enggan. Pada panggilan adzan, subuh, para yatim, miskin, diri ini masih pura-pura tuli...
Jika saja iri dibolehkan, maka ijinkan aku iri pada mereka; para istri dan ibu kuat yang tak menyempatkan diri mengeluh, melainkan menyelesaikan ujian sebaiknya, semampunya.  Semoga Allah merahmati mereka.

0 komentar:

Posting Komentar