How Indonesian are you? Sangat, biasa, atau terpaksa (karena kebetulan aja lahir di sini, coba deh bisa milih negara lain). 

Saya sendiri? 
Kalau menggerutui presiden bisa mengurangi keindonesiaan saya, katakanlah saya 99,5677% Indonesia.

Seorang teman dengan warna kental kebulean di wajahnya, melongo ketika saya tanya. Dia balik bertanya, "seberapa bule gue kelihatan?" saya mengangkat dua jempol. Lalu dia bilang, "gue indo, honey. Artinya separo. Tapi, gue cinta kok sama Indonesia, apalagi kulinernya."  

Seorang teman lainnya menjawab pertanyaan saya dengan antusias, "pas denger lagu Indonesia tanah air beta, gue nangis!" Meski sebenarnya judul lagu itu Indonesia Pusaka... "tapi, pas denger soundtrack Taegukgi (film epik Korea) gue nangis juga..." lanjutnya mulai ragu. Intinya, dia merasa Indonesia-banget pas upacara bendera, terus acara-acara nasional yang mengumpulkan semua daerah di satu lapangan, lengkap dengan atraksi-atraksi budayanya. Nah, siapa bilang seremoni hanya seremonial?

Saya bertanya lagi pada teman yg lain, "Apa yang membuatmu suka sama Indonesia?" 
Dia melotot, "and why  do you think I love YOUR Indonesia?"  
Oke, saya ganti, "seberapa Indonesia JIWA kamu?" 
Dia bersiap menghantam saya dengan kuliah neo-nasionalisme. "Coba bayangkan presiden Indonesia orang Papua." Kenapa di kepala saya muncul Obama? 
Pertanyaan berikut, "coba bayangkan foto pariwisata Indonesia adalah orang Badui dengan pakaian adatnya!" Oke, rada sulit. Saya malah kebayang Bali terus. 
"Sekarang, bagaimana kalau ibu kota Indonesia ada di Pulau Karimun?" saya angkat tangan dengan teman saya ini...

Saya orang Gayo. Suka atau nggak, menjadi bagian dari Aceh, berada di tengah kumparan konflik puluhan tahun itu. Dan bertanya tentang keindonesiaan pada saya sendiri adalah hal sensitif. Some of us would answer, "perang, luka, kematian, ketidakadilan, tidak membuat kami membenci Indonesia, Nak..."  
But, do you love Indonesia?  
Jawaban saya sendiri adalah, "bahkan sebuah pernikahan tanpa cinta pun bisa jalan."
Beberapa dari teman saya juga menjawab, "ini bukan tentang cinta. Bukan tentang rasa. Ini tentang kesepakatan untuk hidup bersama dengan fair. Aman. Sejahtera. Aku menerima kau. Kau terima aku. Kuberi kau sebagian, kau bagi juga aku sebagian. Kalau kau langgar itu, bubar saja!"
"Aku orang Indonesia. Titik. Penting ya nanya beginian?" kata seorang teman yang sedang PMS (Post Meeting Syndrome).

Saya juga tidak tahu seberapa penting ocehan ini. Hanya saja, bagaimana saya bisa peduli, ikut merasa sakit, ikut merasa bangga, dengan apa yang terjadi di pulau-pulau yang disebut Indonesia ini. Hanya sekumpulan pulaukah dia? Atau sekelompok orang yang diurusi dan mengurusi satu sama lain. Atau sekelompok anak ayam yang dulunya tercecer-mecer tak berinduk?

Bagaimana saya bisa peduli pada nasib bangsa ini, jika ternyata tidak tahu apa yang merekatkan kami selain 'sejarah penjajahan' yang dituliskan turun-temurun di buku sejarah? Bagaimana kami bisa merasa sebangsa jika masing-masing kami merasa paling Indonesia...

Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia, setelah 66 Tahun.
"Bagaimana kau mensyukuri kata merdeka jika kau tak pernah hidup di antara desing peluru, kelaparan, kesulitan air, dan gelap yang tak aman!"

0 komentar:

Posting Komentar