Keheningan masjid berganti menjadi keriuhan jalan raya, ketika Umar dan gurunya memasuki kota. Gedung-gedung yang menjulang dengan kaca berkilauan terkena matahari waktu dhuha, kendaraan-kendaraan terbaru dengan suara mulus, dan orang-orang yang terlihat lebih bergaya. Umar tak percaya, ada dunia yang begitu berbeda dari yang biasa dijalaninya. 

Tapi Umar tak melihat raut takjub di wajah sang guru. Lelaki sepuh bernama Basyir itu terus berjalan dengan wajah menghadap lurus ke depan, tanpa meninggalkan kesempatan bagi Umar untuk melihat-lihat sekelilingnya lebih lama.
“Ustadz, sebenarnya kita mau kemana?” Umar bertanya. Karena, yang benar saja, masa turun dari gunung hanya untuk lewat begitu saja di kota?
 “Tidak lama lagi kita sampai. Renungkan saja apa yang kau lihat.”
 Restoran. Itu yang dia lihat. Maka Umar pun merenungkan berapa banyak orang yang makan di dalam sana. Apakah suatu hari ia akan makan di sana? Kira-kira, kalau dia memiliki uang atau dapat voucher, apakah dia akan makan di sana? Memakan sesuatu yang ia tak tahu dimasak dengan apa dan di wajan bekas apa. Apakah ia akan seperti orang-orang itu, makan dengan santai dan sesekali tertawa, seolah dunia rela menunggu berputar sampai ia selesai makan? Apakah ia akan menganggap ini cara menikmati hidup?
“Lekas Umar! Aku menyuruhmu merenung, bukan kelaparan.”
 Di persimpangan, Umar mengenali seseorang. Imam. Temannya ketika belajar beberapa waktu yang lalu. Umar dan Basyir menunggu lampu berwarna merah untuk menyeberang. Imam berada di sisi jalan yang lain. Pemuda berwajah elok itu tampak keluar dari mobil yang tak kalah elok pula. Pakaiannya bagus sekali. Bukan berarti pakaian Umar tidak bagus. Hanya saja, kau tahu, beda kelas. Sepertinya Imam berkantor di gedung itu.
Umar mendesah, “duhai, Rabb… Kau benar-benar menyayanginya.”
Rupanya, Sang Guru mendengar desahan sengsara-tapi-ikut-bahagia Umar tersebut. Setelah mereka melewati keramaian dan berjalan lebih santai di bawah pepohonan, Basyir mulai berkata, “apakah iri yang kulihat dalam tatapanmu pada Imam, Umar?”
Umar tak membantah. “Perih di sini. Kurasa hatiku sedikit cemas.” Ia menepuk dadanya.
Sang Guru tersenyum. “Mengapa demikian?”
Umar tercengang. Memangnya gurunya yang mulia itu tidak melihat apa, Imam seperti apa tadi. Mungkin, kalau Umar berdiri di sana lebih lama, Umar akan melihat juga seorang perempuan elok dan anak-anak luar biasa ada di belakang Imam. Sementara, apa yang sudah dimilikinya?
“Kalau Allah mau memberikan aku sepersekian saja dari apa yang dimiliki Imam, Ustadz, aku akan menghabiskan sisa umurku beribadah.”
Gurunya tesenyum. “Apakah kota ini memukaumu? Sungguh Umar, aku tak tahu apa lagi yang tak kau miliki…” gurunya kembali berjalan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Umar bergeming.
“Ah… kurasa masalah iri hati ini agak serius rupanya?” Gurunya tersenyum arif. Basyir kembali dan menarik tangan Umar untuk melanjutkan langkah. “Umar, kalau kau membawa sepersekian yang dimiliki temanmu itu ke desa kita, percayalah, dalam sekejap kau akan membagi-bagikannya pada orang di sana, dan kau akan kembali seperti ini lagi. Kau tahu kenapa?”
“Karena Engkau pasti akan mengawasiku dan mengatakan, ‘mana tanda syukurmu, hai pelit!’ Engkau akan terus berkata begitu sampai aku meninggalkan hartaku seperlunya.”
“Bukan aku yang mengawasimu, tapi Allah.” Basyir menatap ke dalam mata muridnya. “Kau tahu, Nak. Pasti tak mudah menjadi temanmu itu. Kau kira dia sudah mencapai segalanya. Padahal bisa jadi kau tak tahu apa-apa tentangnya. Dia pasti memiliki ujian sendiri. Pantaskah kau mengira Allah dzalim dengan memberikanmu ujian sementara dia tidak?”
Mereka kembali berjalan menuju pemukiman di tepi kota.
“Dunia ini perhentian sementara, Umar. Apa yang kau lihat elok di sini sudah tersedia semua di tempat tujuanmu. Kenapa kau ingin memborong begitu banyak perkara. Apa kau kira, keretamu tidak akan keberatan dan membuatnya berjalan lebih lambat menuju tujuan utamamu?”
Mereka sampai di sebuah rumah yang teduh. Di bagian depan, beberapa orang tua sedang belajar mengeja huruf demi huruf. Ingatan-ingatan yang payah itu bersemangat menambah suku-suku kata ke dalam benak mereka. Di depannya, seseorang yang lebih tua duduk dengan payah di kursi rodanya, mengajarkan semua itu dengan kesabaran yang menyentuh hati Umar.
“Kalau kau mau berpesta pora dengan rasa irimu, irilah padanya, pada keluasan ilmunya dan caranya mengajak orang berlomba-lomba beramal.” Basyir menunjuk tak kentara pada pria di kursi roda itu, lalu bergabung dengan mereka.

Umar merenung. Meraba hatinya. “Duhai, segumpal darah, tidakkah kau merasa ingin berpacu langkah dengan orang tua ini, menuju syurgaNya?”

0 komentar:

Posting Komentar