Pagi itu matahari terasa hangat. Seorang ibu bergegas mengantarkan putrinya ke sekolah. Hari pertama. Banyak hal berkecamuk di kepalanya. Beberapa kali, tanpa kentara, ia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. ada sejuta ibu sudah melakukan upacara pelepasan semacam ini, pikirnya. Putriku akan baik-baik saja...
Tapi, bagaimana jika di sekitar sekolah berkeliaran penjahat pedofilia?
Bagaimana kalau si guru suka membentak dan mencubit?
Bagaimana kalau temannya nanti ada yang suka berkata kasar?
Bagaimana kalau ada yang menempelkan upil...


Butuh berapa tahun untuk membuat seorang anak bisa bertahan dari kerasnya dunia luar sana? Ah, bukan, butuh berapa lama bagi seorang ibu untuk mengerti bahwa, anaknya akan baik-baik saja... 

Jika bekal yang baik sudah diberikan. Maka selebihnya adalah tawwakal. Siapa lagi yang lebih baik penjagaannya dari pada Allah?

Kebaikan, ketakwaan, kehambaan, semua itu bukan warisan genetis. Ia hanya bisa disampaikan turun-temurun, tapi tak langsung melekat dalam darah. Surga itu bukan dinasti. Begitu juga neraka. Bahkan kejahatan tak pilih tempat, tak pilih orang. Layaknya wabah penyakit.
Karena sibuk dalam pikirannya yang kemana-mana, genggaman si ibu melonggar, anaknya tersandung batu.
Si ibu membungkuk dan memeriksa luka anaknya. Sedikit berdarah. “Sakit, Nak?”
Si anak diam, merasa-rasai pertanyaan ibunya. Lalu ia putuskan, “sedikit…”
“Maafkan, Ibu. Apa kau baik-baik saja?” ibunya meletakkan tangannya yang hangat itu di dada sang anak. Di atas lambung. Tempat rasa sedih, kesal, marah, kecewa, gagal, benci, takut, trauma, dan semua kebalikannya bersarang. Hati.
“Ya, aku baik-baik saja.” Si anak melanjutkan langkah.

Ibu gadis kecil itu menghela nafas lega. 

Asalkan hatimu baik-baik saja, Nak. Maka segalanya akan baik. Asalkan hatimu baik, maka kau dapat memaafkan, memulai kembali dan bersedia memperbaiki kesalahan yang pernah terjadi.

Aku tak mungkin memintamu untuk tak pernah jatuh, tak pernah gagal, tak pernah dibenci, dimarahi, disakiti, dimaki. Bahkan Rasulullah merasai semua kepedihan itu. Jasadnya, Nak. Hanya jasadnya. Tapi hatinya baik-baik saja.
Aku tak bisa meminta padaNya agar kau tak dibebani, diuji, lantas dikebalkan. Karena jika aku meminta demikian, maka aku memintamu menjadi kerdil; yang selalu baik-baik saja karena tak pernah melakukan apa-apa. Yang steril karena selalu di tempat yang baik, sehingga tak tahu mana yang buruk dan bagaimana mengubahnya menjadi baik. atau paling tidak, bertahan dari keburukan itu.
Aku hanya meminta agar pundakmu dikuatkan untuk menanggung beban itu. Agar hatimu diluaskan untuk ilmu dan nasehat. Agar nuranimu terasah tajam melihat yang haq dan yang bathil. Agar kau selalu ingat, dunia ini hanya persinggahan, bukan perhentian akhir…

Mereka sampai di sekolah yang hingar bingar. Si ibu tak lagi khawatir anaknya akan bertemu dengan siapa saja. Ia percaya, dari sanalah jiwa itu akan belajar tentang orang lain, tentang dunia. Ia hanya perlu memastikan telah memberikan lentera.

0 komentar:

Posting Komentar