Ketika ada teman menyebutkan--di Facebook atau Twitter atau di arisan--ia baru membeli mobil baru, rumah baru, atau bahkan sepatu baru, reaksi pertama saya adalah, "Wow" terus, "Alhamdulillah," lalu "Gue kapan ya?" :D

"Alhamdulillah" seharusnya jadi reaksi pertama, ya. Sorry, saya cuma manusia, kadang lupa untuk menyukuri rejeki yang diterima orang lain. Bukan gue ini yang nerima, begitu kata hati kelam saya.

Tapi saya tetap ikut senang kok. Bukan karena saya berharap kecipratan ya, tapi, rejeki seseorang membantu saya belajar bahwa Allah memberi setiap manusia rejeki. Meski porsinya berbeda, waktunya berbeda, sungguh, hanya Ia yang tahu kebutuhan luar dalam manusia. Tidak pada tempatnya untuk mendebat mengapa Allah memberi satu orang begitu banyak, sementara orang lain begitu sedikit. Siapalah kita yang mengetahui rahasiaNya?

Saya sering mendengar kalimat ini, "Berbagi kebahagiaan nih, saya baru diberi rejeki Allah berupa.... naik haji/rumah/mobil/cucu/dll".

Seperti saya bilang, reaksi pertama saya adalah wow. Alhamdulillah. Kapan ya giliran saya? :)

Lalu saya berpikir ulang tentang konsep menebar kebahagiaan ini. Kata seorang teman, "Membagi kebahagiaan itu perlu, memberikan kabar gembira, sebagai bukti bahwa Allah itu Maha Pemurah."

Lalu sampailah saya pada sebuah artikel tentang adab memberikan selamat dan kabar gembira yang ditulis oleh Majid Bin Su'ud Al Usyan. Disebutkan bahwa, Al Bisyaroh--memberikan kabar gembira--adalah sunnah Rasulullah. Kabar gembira ini adalah sesuatu yang dapat melegakan pendengarnya. Seperti ketika Rasulullah menjenguk seorang ibu yang sedang sakit, dan menyebutkan bahwa sesungguhnya penyakit bagi seorang muslim ibarat api yang membersihkan emas dan perak dari kotoran.
Kabar gembira juga diberikan pada mereka yang sedang menuntut ilmu, bahwa malaikat meletakkan sayapnya di atas para penuntut ilmu, sebagai bentuk keridhaan mereka. Kabar gembira juga dibawakan pada perempuan yang menunggu lamaran, mereka yang sedang berperang dan menunggu kemenangan... artikel ada di sini

Jadi, kabar gembira sesungguhnya adalah apa yang bisa melegakan pendengarnya.
 Ada pula Adh Dhuha ayat 11 yang berisi, "Dan tentang nikmat Rabbmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)," mengingatkan kita pentingnya mensyukuri pemberian Allah. Masalah menyebutkannya ke halayak, saya tidak berhak menghakimi orang lain. Saya sendiri akhirnya berpikir, nikmat yang dititipkan Allah pada kita, alangkah indahnya jika bukan beritanya saja yang kita bagi. Ada sesuatu pada nikmat itu yang bisa bermanfaat bagi orang lain.

Dulu ayah saya berkata, "kalau ada tetangga punya mobil, jangan iri. Alhamdulillah, kali aja besok2 bisa minjem, hehe..."
Saya kira kalimat itu benar-benar harus diterima secara harafiah. Lama-lama setelah direnung-renungkan, bukan bentuknya saja yang bisa kita bagi. Tapi esensi dari nikmat itu.

Jika kita adalah pegawai negeri yang diberikan nikmat Allah berupa kenaikan gaji, tentulah orang lain akan kecipratan nikmat itu jika kita kemudian menjadi pegawai yang bersemangat bekerja, bersemangat melayani bangsa. Tak hanya mengeluh dan mencaci. Tidak mamanfaatkan fasilitas publik demi kepentingan pribadi.

Jika kita mendapatkan rejeki berupa rumah baru, tetangga kita toh tidak berharap numpang tidur atau mandi di rumah mewah kita. Tetapi, mereka akan kecipratan nikmat jika kita bisa menjadi tetangga yang lebih baik. Tidak membongkar aibnya, tidak menggunjingnya, menjenguknya ketika ia sakit, dan memberikan apa yang menjadi haknya sebagai tetangga.



Maka, berbagi kebahagiaan, menebar kabar gembira, bukanlah semata-mata menyebutkan apa yang kita dapatkan pada halayak. Namun mengolah nikmat itu menjadi energi yang bisa menentramkan orang lain, melegakan orang lain, sehingga nikmat kita menjadi nikmatnya juga. Mengubah kita menjadi pribadi bersyukur yang bukan sekedar pamer saat riang dan memaki saat kecewa.

Jika besok kita naik haji, semoga bentuk syukur kita tidak hanya sebentuk status, "Alhamdulillah saya akhirnya dapat rejeki naek haji," tapi juga keindahan akhlak kita, keteduhan jiwa kita, menjadi penenang bagi yang lain. Menjadi bentuk kasih sayang Allah yang hadir di Bumi.

Wallahu a'lam.









5 komentar:

Fardelyn Hacky mengatakan...

Wah, untuk saya yang tergolong 'narsis' dalam hal mengabarkan berita gembira, semisal dapat hadiah dari menang lomba, tulisan ini makin mengena banget kak :D

Bulan Nosarios mengatakan...

hehe, sama kitaaa. inipun gara2 'ditempeleng' seorang teman ^^

Ety Abdoel mengatakan...

ternyata baru ada badai ya. wah, sekarang jadi mikir2 kalu mau berbagi kebahagiaan.

Bulan Nosarios mengatakan...

badai apa Mbak Ety?
tidak apa2 berbagi kebahagiaan kok Mbak. Ini adalah alternatif dlm bersikap, kalo bisa menahan diri dalam bersuka cita, pasti juga bisa mengurangi rasa iri dari orang lain. Kadang2 saya berpikir, dlm sikap iri saudara kita, jangan2 ada andil kita yang terlalu 'pamer' padanya. Apalagi di FAcebook, ketika kita mengasumsikan semua orang akan ikut senang dgn kabar kita, pdhl ada yg sedang mengalami hal sebaliknya dari kita. Ada kaliat bijak dari tabi'in, jangan sampai kita menjadi ujian bagi kesabaran saudara kita. Wallahu 'alam. tolong ingatkan saya kembali :)

Ety Abdoel mengatakan...

Iya ya mba, terimakasih sudah mencerahkan saya. Kadang apa maksud hati kita ternyata dipersepsi berbeda. Dibutuhkan sikap yang bijak dan saya harus belajar tentang ini.

Posting Komentar