"Nizam, jangan digigit-gigit stik esnya."
"Kenapa?"

"Nizam, kalau nyeberang pegang erat tangan Bunda, ya."
"Kenapa?"

"Nizam, segera pakai celanamu."
"Kenapa?"

"Nizam, matikan televisinya kalau sedang makan."
"Kenapa?"

Hanya perasaanku saja atau memang benar kepala ini mau lepas dari tempatnya???
Saya sudah lupa fase "Why" -nya Yasmin. Jadi waktu Nizam (3+ y.o) sedikit-sedikit bertanya "Kenapa?" saya merasa cenut-cenut. Oke kalau kondisi lagi lapang dan bahagia. Kalau lagi sibuk, heboh, crowded, dan dia terus menerus menjerit "Kenapa???" sampai saya menjawabnya...arghhh...
Ya Allah...kasihinilah hambamu yang ini.... >.<

Jadi sekarang saya memangkas kalimat itu menjadi,
"Kalau tidak mau kena tabrak, pegang tangan bunda ya!"
"Pakai celanamu sebelum penismu digigit semut atau kejepit sesuatu."
"Matikan televisi sebelum kamu tersedak nasi dan sakit tenggorokan."
"gigit saja batang esnya kalau mau tenggorokanmu sakit."

Memangnya dia mau berhenti bertanya kenapa? NOOO.
Di akhir semua kalimat itu, dia tetap bertanya, "Kenapa?"

Akhirnya saya mengalah. Inilah fasenya bertanya tentang mengapa begini dan mengapa begitu.
"Nak, tolong matikan televisinya kalau sedang makan."
"Kenapa?"
"Kalau matamu ke tivi terus nanti tersedak."
"Kenapa?"
"Karena kamu jadi nggak lihat apa yang masuk ke mulut."
"Kenapa?"
"Karena matamu sedang melotot ke Tv."
"Kenapa?"
"Karena kamu nggak mau matikan TVnya."
"Oh..."

Tenang, dia cuma bilang OH. bukan berarti dia mau mematikan TV. Percakap mirip2 itu terulang lagi.
"Kenapa Bunda matikan tv nya?" (menjerit)
"Karena kamu sedang makan."
"Kenapa??"
"Karena orang makan matanya ke piring bukan ke tv."
"kenapa????"
-----------teruskan saja sendiri-------------

Pertanyaan KENAPA ini berarti dua hal: menguji kesabaran saya, dan memancing akal pikirannya. Amiin.
Dan lama2 saya paham, lebih baik bercerita padanya di waktu lapang daripada memberinya instruksi di waktu kejepit. Dan "kenapa?" nya itu tidak melulu tentang apa alasan di balik sesuatu. Kadang, ternyata dia mau tau BAGAIMANA, bukan KENAPA. Dan yang jelas dia mau saya berbusa busa cerita padanya. Sampai dia bosan mendengarkan dan akhirnya berhenti bertanya kenapa.

N.B: Bahkan di usia setua ini saya masih sering bertanya, "Kenapa, ya Allah?"





0 komentar:

Posting Komentar