Don't let fears hold you back...



Ini bukanlah kali pertama, aku merasa kau sedang menatapku.
Kadang, entah bagaimana, kita bertukar pandang dalam diam:
di antara percakapan, berpapasan di jalan, atau suatu waktu di persimpangan,
kau melihatku, dan aku diam-diam berpaling.. Diam-diam menolak.

Di antara hening, di tengah keramaian... aku tahu kau mengikutiku.
Aku juga tahu, pada akhirnya kita akan bertemu. Kau, aku, tanpa jarak.
Hanya masalah waktu, bukan?
Kita bahkan tak perlu membahas tempat. Asal bukan di tempat sampah, kukatakan pada seseorang, berharap kau mendengar.

Aku melihatmu, dan mengingat berapa lama waktu yang sudah kuhabiskan,
dan menebak-nebak berapa sisa yang bisa kumiliki.
Lalu pada suatu titik, kau melihatnya di mataku:
aku terlalu mencintai semua ini; terlalu berat meninggalkan apa yang memang seharusnya kulepaskan.

Kapan kau akan belajar untuk siap?
tanyamu, tidak bosan pada kosa kata yang sama.

Kau sungguh-sungguh mau tahu?
Kurasa aku tidak akan pernah siap.
Kau benar, aku harus belajar, selama... berapa waktu yang aku punya?

Kau menggeleng, setia di tempatmu.
"Bahkan aku tak mengetahuinya," katamu. "Bisa kapan saja.
Kau, bersiaplah. Aku akan tetap menjemputmu. Karena aku hanya menjalankan titah."

Ya... pada suatu waktu, di masa yang telah ditulis, kau akan mengatarku pulang.




pictureperfectforyou tumblr


Allah Yang Maha Pemurah, Terima kasih....

Untuk adanya keluarga yang bisa kurindukan,
Untuk sanak saudara yang bisa mencintai dan kucintai apa adanya,
Untuk tarikan nafas kesekian di hari ini, dalam hidup ini,
Untuk udara bersih tidak berduri,
Untuk matahari yang tidak melepaskan kulit dari tubuh--meski ia bisa
Untuk tubuh yang masih bisa bergerak,
Untuk keran yang masih mengalir,
Untuk saluran air yang tidak tersumbat,
Untuk hujan yang datang saat beberapa dari kami kepanasan,
Untuk panas yang ada ketika kami memerlukan sesuatu yang hangat dan kering,
Untuk segelas kopi, teh, dan minuman lain yang tidak menjadi racun di tubuh kami,
Untuk tawa anak-anak yang seperti lagu dari surga,
Untuk jeritan anak-anak sebagai irama hidup kami,
Untuk seribu pertanyaan anak-anak yang mengejar tumbuh akalnya,
Untuk kesabaran yang Kau sisipkan pelan-pelan di hati kami,
Untuk seseorang yang Kau percayai di sisi kami, mencintai dan setia,
Untuk angin yang membuat daun-daun bergoyang, menjadi peringan beban di kala sesak,
Untuk suap demi suap yang Kau halalkan,
Untuk tetangga yang selalu bertanya dan peduli,
Untuk teman yang bisa dipercaya dan bertukar mimpi,
Untuk mereka yang bekerja keras; menghidupkan listrik, menyuplai beras, menemukan internet, membuat film bagus...
Untuk tanah yang tidak banjir,
Untuk banjir yang mengingatkan kami pada kebutuhan Bumi,
Untuk pohon-pohon yang teduh,
Untuk Pohon-pohon yang tumbang, sebagai pengingat kami akan KemahabisaanMu,

Untuk Azan subuh yang mengudara: sejuk, hening, menyentuh...
Untuk ilmu yang Kau beri pada para ulama bersahaja..
Untuk nikmat iman, yang begitu terasa ketika kami tengah berduka...

Untuk segala yang termiliki, bahkan tanpa kami sadari, tanpa sempat kami minta,

Alhamdulillah...
Jika bukan karenaMu, tak akan sampai semua itu pada kami: makhuk-makhluk tapa daya di bumi.







Memaafkan mereka yang tidak mengerti,
Memaafkan mereka yang tidak pandai berkata-kata,
Memaafkan mereka yang tidak sesuai harapan,
Memaafkan mereka yang sering salah paham,
Memaafkan mereka yang berpikir seperti adanya mereka,

Memaafkan diri sendiri atas semua ketidakmengertian, kemampuan yang terbatas, nilai diri yang tidak sempurna.

Memaafkan,

Menjadi hadiah terbaik yang bisa diberikan setiap orang untuk dirinya sendiri.
Agar diri itu menjadi pundak yang ringan dari beban, menjadi hati yang lapang.



Baik blog maupun buku, sama-sama kumpulan dari kata-kata, seperti nisan yang bercerita panjang tentang seseorang. Meski penulisnya sudah tidak ada, orang yang membaca buku atau blog seolah-olah masih bisa 'mendengarkan' si penulis berkata-kata. Kadang, ketika saya mengunjungi blog teman yang sudah tiada, saya merasa bertambah rindu padanya, dan berharap tulisannya membawa kebaikan baginya di tempat ia berada saat ini.

Teruslah menulis, begitu bisik saya. Ini adalah sesuatu yang saya tinggalkan sebagai ruang tamu bagi saudara dan sahabat. Semoga tulisan-tulisan itu tidak lekang dikunyah zaman.
Apakah menulis agar terkenal, mendapat banyak 'follower' dan eksis di dunia cyber?
Sebenarnya, saya bahkan takut jika saya dikenal gara-gara apa yang saya katakan, bukan karena apa yang saya lakukan. Sebenarnya, saya lebih suka kesunyian, bebas hiruk pikuk. Sesungguhnya, saya tidak pernah berpikir menjadi seseorang yang dikenal. Saya hanya berharap orang-orang yang saya kenal tak menyesal mereka telah mengenal saya.

Kenapa saya menulis ini, ngomong-ngomong?
Karena saya sedang tidak tahu mau menulis apa lagi untuk saat ini.... ^_^
Pictureperfeckforyou.tumblr

Sudah dua hari Ayah pergi ke kampung halaman di pulau Jawa sana, melaksanakan kewajibannya sebagai seorang anak. Sudah dua hari pula Mbah Uti dipanggil Allah, kembali ke rumahNya, sebenar-benarnya kampung halaman manusia. Tapi saya belum memberi tahu Yasmin tentang kepergian Mbah Uti kesayangannya. Mungkin ia menangkap kalimat-kalimat dari tamu yang berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa. Mungkin ia diam-diam bertanya, kenapa semua orang membicarakan Mbah Putri?

Lalu, di malam menjelang ia tidur, akhirnya saya berkata, "Nak, Mbak Uti sudah meninggal dunia..."
(bukan awal yang baik memang, tapi akhirnya saya memecahkan 'telur' itu).
Dia menangis. Air matanya berurai begitu saja, dan ia menarik ujung kaos tidurnya untuk mengusap air mata itu, sebelum bertanya, "Kenapa?"
Sumpah, saya bingung.
Gagu, saya menjawab, "Ami tahu kalau Mbah Uti sakit, kan? Mbah Uti sudah tua, karena Allah sayang Mbah Uti, Allah panggil Mbah Uti pulang. Waktu Mbah Uti bersama kita sudah habis."
"Seperti kalau bel sekolah Ami bunyi dan kata Bunda waktu bermain Ami habis?"
"Ya, seperti itu."
"Mbah Uti sakit, apa di tempat Allah ada rumah sakit?"
"Tidak. Di tempat Allah, semua orang menjadi sehat, tidak perlu rumah sakit."
"Di mana Mbah Uti tidur?"
"Mari kita berdoa pada Allah, semoga Mbah Uti mendapatkan kamar yang baik, terang, dan hangat..."
Ia mengangkat tangannya mulai berdoa dengan khidmat. Ia kembali membuka matanya,
"Apa Mbah Uti punya makanan?"
"Tentu, Allah menyediakan semuanya. Kita hanya perlu berdoa supaya Mbah Uti tidak kelaparan."
Ia kembali mengangkat tangannya, berdoa, tentang sekeranjang apel, strawberry, susu, sebotol madu, segelas air, dan kue krim yang lezat.
"Siapa yang mengantar Mbah Uti ke tempat Allah?"
"Malaikat Izrail."
"Yang bercahaya, bersayap, dan baik hati?"
"Mmmm. Ya. Tapi kita tidak bisa melihat malaikat," lanjut saya, menutupi keraguan yang bolong bolong.
"Apa Mbak uti terbang bersama malikat?"
"Tidak. Tubuh Mbah Uti disimpan di dalam bumi. Mbah Uti, Ami tahu, yang di dalam sini," saya menunjuk dadanya, "yang pergi menghadap Allah,."
"Kenapa tubuhnya disimpan di dalam bumi? seperti bunda menanam kacang waktu itu?"
"Ya. Karena tubuh manusia diperlukan oleh bumi. Nanti Allah akan ganti tubuh Mbah Uti dengan yang lebih baik, lebih sehat, muda dan cantik."
"Seperti bunda?"
----waktunya melempar botol, pemirsa.....---
"lebih cantik dan sehat dong. Bunda kan sering sakit pinggang."
Ia tersenyum, lebaar sekali. Air matanya sudah kering. "Ami tidak sedih lagi. Mbah Uti sudah baik-baik saja sama Allah."
"Benar, tapi kita harus berdoa setiap hari."
"Apa kalau kita lupa berdoa Mbah Uti dalam bahaya?"
"Tidak. Allah suruh kita berdoa terus untuk Mbah Uti, supaya kita tetap ingat Mbah Uti, dan Mbah Uti senang karena kita mengingatnya."
"Kalau Allah punya mesin untuk memperbaiki Mbah Uti, kenapa Allah tidak kembalikan Mbah Uti ke rumah Mbah Kung?"

Saya tidak tahu dari mana dia dapat ide tentang mesin ini, yang jelas saya perlu waktu untuk menjawabnya.
"Karena... Orang yang sudah meninggal tidak bisa kembali. Waktu MBah Uti di dunia sudah habis."
Dia terkejut sekali. "Kapan kita ketemu Mbah Uti lagi? Ami sangat rindu...." Air matanya kembali merebak.
"Suatu hari kita semua akan meninggal, dan kita bisa saling berjumpa lagi di sana. tapi Bunda tidak tahu kapan. Allah saja yang tahu."

Hening cukup lama. Nizam hanya mengerutkan dahinya mendengar percakapan itu. Tiba-tiba dia berkata, "Ijam mau Ayah pulang ke mari."
Well, dad's little boy.. "Sabar ya, Ayah masih temani Mbah Kung."
Ami sudah pulih tampaknya, ia berkata, "Kenapa Mbah Kung ditemani?"
"Karena Mbah Kung kehilangan MBah Uti, Mbah Kung masih sedih."
"Apa Mbah Kung sudah tua?"
"Ya..." sungguh menyiksa menebak nebak akan ke mana arah pembicaraan ini.
"Kalau begitu Mbah Kung harus makan sayur, olah raga, tidur siang, tdur malam, tidak main panas..."

FYI, itu adalah kumpulan peraturan untuk dia dan adiknya. Titah Bunda.
"Mari kita berdoa semoga Mbah Kung diberi hati yang tenang oleh Allah..." kata saya. Kami berdoa bersama, dilanjut membaca doa tidur.

Senyap seketika. Saya memejamkan mata sejenak sebelum mereka terlelap dan saya kembali beraktifitas--membersihkan meja dapur yang masih berantakan.
Berbicara tentang kematian sebenarnya kesempatan untuk mengenalkan anak pada Allah.  Ada yang hal yang mencuat cuat di benak saya, minta dikeluarkan. Tapi, saya pikir, pelan-pelan saja, biarlah pertanyaan jernihnya yang membawanya pada tahap-tahap pemahaman itu. Saat ini, saya merasa cukup ketika dia bisa mengkhawatirkan Mbah Uti, meminta Allah mengobati khawatirnya dengan segala doa, dan percaya bahwa Allah adalah sebaik baik tempat kembali, bahwa Allah Maha Pengampun, Penyayang, dan kematian bukanlah sesuatu yang buruk sehingga tidak pantas untuk dibicarakan.

Di waktu kemudian, saya berharap masih sempat memberitahunya, bahwa fase hidup berikutnya, yang dilalui setelah kematian itu, memerlukan bekal yang harus benar-benar dikumpulkan selama waktu di dunia ini masih ada. Sebelum bel berbunyi. Sebelum kita harus pergi tanpa bisa kembali.

Lalu saya mendengar kalimat Putri saya, pelan dan jelas,
"Kalau Bunda dipanggil Allah, siapa yang akan cerita untuk Ami dan Ijam?"

"Ayah," jawab saya pendek, mangakhiri dialog panjang.



Pictureperfectforyou.tumblr
Anak laki-laki itu wajahnya bersih, giginya rapi, dengan rambut keriting menggemaskan. Ia begitu lucu, kalau saja ia mau diam sejenak. Umurnya antara 4-5 tahun, sekelas dengan Ami di TK A. Kami memanggilnya Afiz.

Ia seperti tak bisa diam. Ada saja yang membuat kaki dan tangannya bergerak. Menyapa ke sana ke mari, menyentuh ini itu, berlari, menendang, melompat, memukul, melempar... dan semuanya ia lakukan sambil tertawa atau berteriak. Tidak peduli 'korban'nya yang menangis.

Ia anak paling nakal di sekolah. Begitulah kata orang-orang. Jika seorang anak menangis, pastilah nama Afiz yang pertama diteriakkan. Pengasuhnya yang kurus tampak kwalahan mengejar dan mencegah bencana. Konon, beberapa anak sudah babak belur dibuat Afiz.

Setiap kali bertemu anak-anak, saya mematikan asumsi. Biarlah apa yang saya lihat sendiri yang berbicara. Pagi itu, sambil menemani Nizam bermain di ruang balita, saya melihat Afiz keluar dari kelasnya dan menghampiri kami.
"Halo," katanya dengan seringai lebar.
"Hai Afiz," kata saya. "Afiz tidak duduk di kelas?"
Dia menggeleng, masih menyeringai. Dalam satu gerakan cepat, ia merubuhkan jembatan balok Nizam. Dengan kakinya.
Nizam menatapnya kaget.
"Afiz akan membantu menyusun ulang," kata saya cepat, sebelum Nizam balas mengamuk.
Afiz mengangkat bahu, duduk di dekat saya dan mulai membantu Nizam menyusun kembali balok-balok itu. Saya kembali pada bacaan saya. Beberapa menit berselang, saya melihat keduanya sudah berhasil membangun jalan layang, menara, 'lumbung mobil busuk' dan sebagainya. Mereka tertawa bersama.
Di luar, saya lihat pengasuhnya mulai mencari ke mana Afiz.

Sebulan setelah kejadian itu, Afiz berulang kali keluar kelas dan bermain di kelas balita. Pengasuhnya cemas hal ini akan memengaruhi pembelajaran Afiz. Saya heran, apa sih yang diharapkan anak seusianya dipelajari selain bekerja sama dengan baik dan ketekunan dalam mengerjakan sesuatu? Bagi saya, dua hal itu jauh lebih penting daripada kemampuannya berhitung dan membaca, di usia ini. Tapi saya tidak punya hak mencampuri urusan pendidikan Afiz. Saya hanya bisa 'meracuni' pemikiran pengasuh dan gurunya, untuk membiarkannya bermain bersama kelas balita yang belum dicekoki calistung.

Suatu hari, kami di luar mendengar suara jeritan anak dari dalam kelas. Di kelas, guru sedang kesulitan memisahkan dua anak yang sedang berkelahi. Afiz dan seorang anak. Ibu-ibu yang sedan menunggu di luar berkata, "Anak itu memang nakal."
Tidak ada orang tua yang mau anaknya duduk di dekat Afiz.

Pengasuhnya tertunduk dengan rasa bersalah.

Siang itu saya mengawasi anak-anak bermain di dekat perosotan. Afiz dan Nizam bermain bersama. Dari tempat saya berdiri, saya melihat seorang anak menyikut Afiz. Afiz, yang cenderung cepat terpancing, berteriak dan mengejar anak itu. Untungnya ada yang segera memisahkan mereka.

 "Afiz nakal!"
"Kenapa Afiz pukul?"
"Memang nakal. Dihukum saja."
Begitulah suara penonton.
Ia meronta-ronta di pelukan gurunya. Menangis begitu keras. Ketika akhirnya ia tidak mau masuk kelas dan memilih duduk di ayunan di luar, ia masih tersedu.

Tidak ada yang mendengarnya. Tidak ada yang peduli untuk bertanya siapa yang memulai. Meski saya sendiri tidak pernah bertanya siapa di antara anak-anak yang lebih dulu memulai, setidaknya orang tua harus bersikap adil, tidak menyalahkan salah satunya. Keduanya berhak didengar. Keduanya berhak mendapatkan kesempatan untuk saling memaafkan, tanpa harus ada yang disebut di biang kerok atau si anak nakal.

Karena memang begitulah mereka berinteraksi. Menguji batas kesabaran satu sama lain. Menguji batas toleransi orang lain. Mencoba-coba apa yang membuat orang memerhatikannya. Mencari tahu mana yang boleh, mana yang berbahaya, mana yang tidak boleh tapi sebenarnya tidak apa-apa jika dilakukan.
Anak-anak adalah manusia yang masih cepat merasa bosan, ingin tahu banyak hal, ingin mencoba semua cara, tidak hanya cara biasa seperti yang ia lihat atau orang tua ajarkan. Itulah yang seringnya kita sebut nakal. Padahal, mereka hanya belajar tentang dunia dengan caranya sendiri.

Anak-anak yan dilabeli nakal, bodoh, bebal, liar, seperti kehilangan haknya untuk dipercayai. Seolah-olah ia tak lagi pantas didengar. Di mana ada suara tangisan, maka anak nakal itulah yang menjadi tertuduh sebagai penyebabnya.

Melihat Afiz yang menangis tersedu tanpa seorang pun yang memercayai bahwa ia tak salah, membuat hati saya ngilu. Sayang, saya bukan ibunya, pengasuhnya, gurunya, apalagi kepala sekolah. Saya hanya bisa  mengeluarkan pesawat mainan dari tas Nizam,
"Kita masih punya waktu sepuluh menit, Ijam mau main sama Afiz? Pinjamkan dia ini,"
Putra kecil saya, yang sedari tadi memerhatikan Afiz, berlari memanggil temannya, dengan pesawat merah di tangan. "Kakak Apiiiz, ayo maiin..."

Andai saya bisa melakukan lebih. Andai saya bisa memeluknya dan berkata bahwa saya memercayainya.