Siapa yang tidak cinta pada buah hatinya? Rahmat Allah yang diturunkan pada kita, sepasang ibu dan ayah. Darah kita mengalir di tubuhnya. Raut kita terpahat di wajahnya. Ia menjadi ahli waris kita. Mewarisi nama, harta, ilmu. Ia menjadi medan amal bagi kita. Ia menjadi amal yang pahalanya akan terus mengalir. Doanya, doa anak shaleh, menjadi peringan beban kita di yaumul akhir.

Cinta kita begitu besar. Sampai lupa mengapa kita mencintainya. Sebagian kita mengatakan cinta tanpa syarat. Sehingga kita rela memberi segalanya. Segala yang menurut kita akan membuatnya bahagia. Kita lupa, hakikat dirinya sama dengan kita: hamba yang diturunkan ke bumi untuk beribadah.

Kita takut dia sakit. Kita takut dia terluka. Kita ingin dia selalu baik-baik saja. Kita lupa, dia bisa tetap baik-baik saja meski dia sakit, dia terluka, jika hatinya di tempat yang aman: di dekat Rabb-nya.
Anak-anak ibarat spons. Ia menyerap segalanya. Bukan hanya apa yang dikatakan padanya. Tapi juga apa yang ia lihat, ia dengar, dan ia lakukan bersama orang lain. Serapan-serapan itu, saya yakini sebagai apa yang akan membentuknya kelak.
Usia putri saya tiga tahun. Waktu bergulir cepat, dan saya merasa berbalapan dengan waktu untuk mengenalkannya dengan hakikat diri sebagai ciptaan Allah. Dulu saya bertanya-tanya kapan waktu yang tepat untuk memulai semua itu. Lalu saya sadar, waktu itu tidak perlu ditunggu. Proses ini adalah proses panjang yang harus dicicil sedikit demi sedikit.
Anak-anak senang meniru. Mereka melekat pada kebiasaan. Ketika menjadi orang tua, tampaknya kata teladan dan konsisten juga disematkan di pundak kita. Anak-anak seperti pengawas yang akan meniru semua perilaku kita, baik atau buruk, bahkan yang paling tidak sengaja seklipun. Bukan perkara mudah, karena saat malas menyerang saya, ada sepasang mata manusia kecil yang mengawasi. Ada sebuah kepala mungil dengan otak aktif yang sedang berpikir dan mencerna mengapa saya demikian. Ada sebuah hati yang begitu bersih sedang berdebat apakah ia akan meniru saya atau memprotes saya. Seringnya, ia memprotes saya. Bertanya mengapa begini dan mengapa begitu. Sejatinya, mereka sedang menguji seberapa konsisten orang tuanya.
Saat usianya belum 2 tahun, dia sudah berdiri di sebelah saya untuk ikut shalat. Saat itu dia belum memiliki mukena sendiri. Dengan perasaan campur aduk, saya memakaikannya jilbab saya yang tentu saja kebesaran untuknya. Dia begitu senang dengan ‘mukenanya’ itu. setelah adzan berkumandang, dia akan membuntuti saya atau ayahnya untuk berwudhu, memperhatikan cara kami, dan menirunya. Tak perlu banyak intruksi tambahan, hanya membuatnya kesal dan batal mengikuti. Ia senang meniru tanpa ketahuan kalau dia sedang meniru, begitulah anak-anak. Mereka senang diberi tahu apa yang sedang kita lakukan, tapi pura-pura tak mendengar ketika kita memberi tahu apa yang harus mereka lakukan.
Kadang dia enggan, kadang dia bergerak lebih dulu ketika adzan berkumandang. Seolah-olah ingin menguji, seberapa sabar dan konsisten kita melakukannya. Jika kita lulus, sisanya lebih mudah, mereka akan meniru konsistensi kita. Sampai ia tahu fungsi adzan adalah memanggil orang untuk shalat. Ia pun dengan ringan berkata, “sudah adzan, kok nggak shalat?” Ya. Kadangkala lisan mereka menjadi perpanjangan teguran Allah.
            Jika gerakan shalat mudah ia tiru, tidak demikian dengan bacaannya. Semakin dini memperkenalkannya, semakin baik. Meski mereka hanya pendengar pasif, ternyata semua yang saya lafalkan terekam dengan baik. Tak apa-apa shalat menjadi lebih panjang karena harus mengeraskan suara dan membacanya pelan-pelan, karena ada anak yang mengikuti di sebelah kita. Anak usia 2 tahun saya bertahan hanya sampai rakaat kedua. Tak masalah bagi kami. Mendekati salam, dia akan kembali duduk dan menunggu waktunya berdoa.
            Suatu kali, saya sudah membaca ulang surah Al Ikhlas setidaknya tiga kali. Dan, bukannya mengikuti potongan demi potongan, anak saya malah memainkan rambutnya. Hati saya sedikit kecewa. Tapi saya memilih memejamkan mata dan pura-pura tidur. Pelan-pelan, saya mendengarnya mengulangi surah itu sepotong demi sepotong. Suaranya begitu halus, seolah takut membangunkan saya. Dia menyerapnya, meski belum sempurna di telinga saya, tapi saya tahu sudah terekam dengan baik di kepalanya. Hanya masalah waktu sampai dia bisa mengucapkannya dengan sempurna.
            Saya tak berani muluk-muluk memasang target anak menghafal sebuah surah. Menyenangkan memang ketika melihat ada anak sesusianya yang sudah hafal satu atau dua surah pendek. Tapi setiap anak berbeda. Bisa jadi anak itu sudah memulai lebih awal, bahkan di dalam kandungan. Membebani diri dan anak dengan target hanya akan membuat proses belajar itu sebagai sesuatu yang berat. Menjadi tergesa-gesa, dan akhirnya terjebak untuk kecewa. Padahal, setiap sorot kecewa di mata kita, diserap anak dalam benaknya, membuat mereka enggan, takut, dan tidak percaya diri.
            Begitu pula dengan mengaji. Awalnya dia mengikuti orang tua di dekatnya, ikut membuka sebuah Al-Qur’an, dan bersuara layaknya orang mengaji. Saya mengikuti alur itu. Ketika dia mulai menunjukkan kesanggupan untuk lebih, saya memberikannya buku Iqra’ jilid satu.
Ketika saya kecil, jam-jam belajar Al-Qur’an adalah jam yang tidak mengenakkan. Hanya karena guru mengaji saya suka memukul dengan rotan, keseluruhan yang saya ingat dari proses itu adalah sakitnya. Saya tidak menginginkan hal yang sama pada anak saya. Maka upaya pertama saya adalah membuat momen itu menyenangkan. Ketika ayah dan ibu duduk bersama, mengaji bersama, dalam suasana tenang tanpa ketegangan. Apakah saya akan memberikan hadiah boneka untuk prestasinya dalam mengaji? Tidak. Saya memujinya, mengucapkan hamdallah, tapi tidak memberinya sesuatu untuk membelokkan motivasinya. Jika dia lelah, dia boleh berhenti. “Allah pasti pasti rindu suaramu membaca surat-surat-Nya, apa kita besok mengaji lagi?”
Lalu, datanglah masa ketika saya mulai bertanya-tanya. Rutinitas beribadah tidaklah cukup. Bagaimana agar ibadah-ibadahnya tidak sekedar rutinitas, sehingga saya membenarkan segala cara untuk membuatnya menepati tenggat waktu. Berapa banyak orang tua yang memberikan jajan tambahan agar anaknya shalat tepat waktu. Berapa banyak orang tua yang memberikan kerudung cantik dan menakut-nakuti agar anaknya berjilbab. Tapi, di kemudian hari, anak-anak itu membelok dan mematahkan semua rutinitas itu, seperti mematahkan pohon yang tak berakar. Mendirikan shalat yang kosong, memakai kerudung yang hanya menutupi rambut. Bagian mana yang salah?
Mengenalkan anak pada Allah sama pentingnya dengan mengenalkan anak pada ibadah-ibadah wajib dan sunnah. Membuat anak mengerti mengapa ia harus shalat, mengapa ia perlu membaca surat-surat Allah dalam Al-Qur’an, mengapa ia perlu mengenal dan mencintai Rasuulullah.
Banyak orang mengatakan, berbicara dengan anak menggunakan bahasa sederhana. Saya percaya, kemampuan anak lebih dari yang kita duga. Mengajaknya mengenal Allah dalam keseharian, dalam rinai hujan yang turun, dalam gugurnya daun-daun, dalam lezatnya hidangan, bahkan dalam petir yang menggelegar. Ada campur tangan Allah dalam segala hal. Itu menjadi pondasi kuat ketika mengajaknya untuk mendekati Allah.
            Petang itu dua balita saya bermain di lapangan yang luas. Matahari bersinar hangat dan langit begitu indah dengan awan-awannya yang berarak. Putri saya memunguti buah yang bertebaran di antara rerumputan, memasukkannya ke dalam keranjang. Ia begitu takjub melihat buah berwarna kuning kemilau itu. Seperti ketika baru mendapatkan sebuah pemberian, dia bertanya pada saya, “Bunda, ini dari siapa?”
Saya menunjuk pohon yang berbaris di tepi lapangan. Pohon itu menjulang tinggi. “Dari sana, mungkin dibawa angina dan burung, jatuh ke tengah rumput-rumput,” jelas saya panjang lebar. 
“Bukan itu. Ini dari siapa?” tanyanya sekali lagi, dengan penekanan pada kata siapa. Kalimatnya belum terlalu jelas, saya menebak-nebak arah pembicaraannya.
“Dari Allah,” jawab saya pendek, menguji akan kemana lagi dia mengarahkan pembicaraan ini.
“Seperti hidung? Rambut? Mata?”
“Ya benar. Ini pemberian Allah untuk pohon itu, seperti Allah memberi kita hidung, mata, dan semuanya.”
Dia puas dan melanjutkan kegiatannya, memunguti buah.
Magrib itu, sekali lagi dia menguji kesabaran saya. Ia ngambek, tidak mau ikut shalat. Mungkin kelelahan. Ia tidak memakai mukenanya, hanya mondar-mandir di sekitar sajadah saya. Meski demikian, saya tetap mengeraskan suara. Begitu juga ketika berdoa, bershalawat, dan menyebut namanya dalam doa saya. Saat itu kegiatannya memutar-mutar sajadah saya terhenti. Ia menatap satu titik dan diam. Entah bagian mana yang diserapnya.
Saya mendiamkannya setelah itu. Sebagai tanda bahwa ia kehilangan sedikit perhatian saya karena tidak ikut shalat. Bagi saya, itu adalah imbalan yang pas. Menjelang tidur, usai membaca cerita, surah pendek, dan shalawat, tiba saatnya membaca doa tidur. Saya memintanya berbicara pada Allah, apa saja.
“Allah duduk d Arsy-Nya, di atas sana.”
“Di dekat bintang?”
“Lebih tinggi lagi.”
“Allah bisa dengar Ami?”
“Allah Maha Pendengar, Nak. Allah juga dengar waktu semut minta hujan berhenti supaya dia bisa menyeberang ke rumahnya, untuk membawakan anaknya gula.”
Saya meredupkan lampu, dan berbaring di sebelahnya. Ia tampaknya melihat saya menutup mata. Lalu saya mendengar kalimat itu, kalimat yang membuat saya dapat merasakan Allah sedang melihat putri saya. Allah sedang mendengar doa putri saya, doa yang datang dari hatinya, bukan dari meniru saya.
“Allah, maaf Ami nggak shalat magrib. Tolong jaga Ami, jaga bunda, jaga ayah, jaga dek Nizam, jaga semut, jaga nenek… makasi untuk buah-buahnya, ya Allah. Amiin…”


*Tulisan ini dimuat bersama kisah-kisah orang tua lainnya di buku yang gambarnya ada di sebelah ini. I'm wondering, kenapa judulnya panjang banget ^__^ 
cartoon by Ros Asquith
"Sudah bisa apa sekarang?"
Itu adalah pertanyaan yang umum dilontarkan antarorangtua tentang anak-anak mereka yang masih preschooler.
"April sudah bisa menghafal abjad!"
"Julia sudah bisa menggambar kelinci!"
"Okta sudah bisa menghafal tiga surat pendek."
Sebagian ibu berhati lapang akan menjawab, "Waa...hebaaat," sebagian lain tersenyum dan berpikir, "anakku sudah bisa apa ya?"
--saya berpikir, kadang-kadang sebagai orang tua kita membicarakan hal seperti di atas di depan anak-anak, tanpa menyadari bahwa mereka mendengar dan mencerna: bahwa Mama bangga padaku karena aku bisa melakukan ini/ Mama tidak menyebutkan aku sudah bisa ini// Mama bohong mengatakan aku bisa ini // Mama diam saja tidak membanggakanku, apa aku begitu buruk?-- mengapresiasi kehebatan anak ada porsinya. Tujuannya bukan agar orang lain mengetahui anak kita hebat, melainkan agar anak kita mengetahui bahwa kita menghargai dirinya.

Apakah saya ingin memiliki anak yang cerdas? Kalau cerdas berarti ia mampu membawa diri, mampu menyelesaikan masalahnya, sopan perilakunya, takut pada Tuhan, menyayangi sesama, bisa menolong orang lain...(panjang sekali daftarnya) ya, siapa yang tidak mau anaknya sehebat itu? Tapi, buat seorang ibu, cinta itu tanpa syarat. Cintanya tidak ada hubungan dengan apa-apa yang bisa dicapain buah hatinya. Belajarlah dari ketulusan seorang ibu yang anaknya memiliki keterbatasan. Lihat bagaimana mereka tetap setia mencintai dan mendukung buah hatinya. Dan nyatanya, cinta ibu yang utuh dan tanp syarat itu bahkan bisa menjadikan anak dengan keterbatasan fisik atau pertumbuhan menjadi anak hebat: anak yang bahagia karena ia tahu ia dicintai.

Raising Children

Ya, katakan padanya bahwa Anda bangga ketika dia bisa melakukan sesuatu. Tapi jangan cemberut dan mengeluh ketika ia tidak bisa melakukan hal lain.

Bagi saya, cerdas tidak selalu tentang IQ tinggi. Cerdas tidak hanya berarti ia menguasai apa yang orang lain tidak kuasai. Cerdas tidak sama dengan ia juara di kelasnya--bukan berarti saya menolak anak saya jadi juara, tapi itu bukan satu-satunya tolak ukur. Well, mugkin anak saya belum bisa mewarnai dengan benar, tapi dia sudah bisa mengocok telur dengan baik. Dia mungkin tidak hafal lagu Indonesia Raya, tapi dia sudah bisa menjawab telepon dengan sopan. Saya melihat kecerdasan dari berbagai sudut, itu intinya.

Pada 1900, Alfred Binet menemukan metode untuk mengukur kecerdasan melalui seperangkat tes yang disebut Intelligence Quotient atau IQ (dulunya dikenal sebagai Binet Test). Kalau Anda pernah menjalani tes ini, Anda pasti ingat bahwa rentetan pertanyaan itu based on two types of intelligences: Bahasa dan matematika-logika. Saya termasuk generasi yang kecerdasanya diukur oleh tingkat IQ. Generasi berikutnya mulai mengenal EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient), serta keduanya yakni ESQ.

Howard Gardner, psikolog dari Harvard University, melihat kembali kekurangan teori Binet. Kalau yang IQ-nya tinggi dikatakan cerdas, lalu bagaimana mereka yang tidak bisa menyelesaikan soal bahasa dan matematika itu? 
Pertanyaan sederhana itu yang membawa Gardner pada penelitiannya pada awal 1990-an yang kemudian menemukan teori Multiple Intelligences (MI). Sederhananya, kalau Binet mengukur kecerdasan melalui dua area kemampuan manusia, Gardner mengukurnya dalam area yang lebih luas, yang meliputi tujuh area kecerdasan. Ia menekankan, kita semua memiliki ketujuh potensi kecerdasan tersebut, meski tingkat perkembangan antara satu area dengan yang lainnya tidak sama. Namun kita dimungkinkan untuk melakukan stimulasi agar ketujuhnya dapat seimbang. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, meskipun seorang anak belum bisa menyanyi (Music intelligence) ia sudah bisa menjawab telepon dengan baik (Interpersonal Intelligence). Dan ia bisa saja mengimbangi keduanya dengan stimulasi yang tepat dan bijak.


Perlu Anda ingat, tidak ada satu kecerdasan yang mengungguli kecerdasan lainnya. Seluruhnya menyumbang peran yang sama penting dalam kehidupan manusia. Amati kebiasaannya, dan gunakan untuk mendukung kecerdasannya.

Multiple Intelligences






Saya mencetak chart dari website Edorigami dan menempelnya di rumah agar saya selalu ingat bagaimana anak-anak saya belajar dan bagian mana yang masih harus didukung. Kenapa saya malah menampilkan banyak chart, bukannya menjelaskan.... it's simple, I want you to learn from the genuine source :) saya cuma menyertakan linknya. Biar lebih puasss gitu, Mam....

Apa yang bisa dilakukan orang tua untuk mendukung anak hebatnya?

# Mencintai tanpa syarat
Saya menyebutkan ini di awal tulisan. Love them just the way they are. Anak yang hebat adalah anak yang bahagia. Ia tahu dirinya dicintai orang tuanya, diinginkan, dipedulikan. Anak-anak dengan harga diri yang utuh akan lebih mudah untuk berkembang.

#Dampingi Ia Mengenal Dunia
Jangan biarkan anak mengenal dunia dari TV, di mana dunia itu penuh keajaiban, dunia itu banyak orang jahat, dunia itu melulu tentang cinta antarlawan jenis.
Bawa ia mengenal lingkungannya. Sepetak lapangan di dekat rumah bersama sekumpuluan bocah yang sedang bermain sepak bola--ia akan belajar tentang manusia lain dan bagiaman bersikap ramah. Semeter tanah yang ditanami cabe dan tomat--ia akan belajar tentang proses alam dan kesabaran. Mengunjungi saudara yang lama tak dijenguk--ia akan lihat indahnya silaturahmi. Membiarkannya membantu di dapur--ia akan belajar banyaaak hal!
berkebun

#Bukan berikan benda, tapi berikan waktu
Baiklaaah, dia mungkin akan senang ketika Anda membelikannya seperangkat mainan baru. Tapi akan lebih bermanfaat dalam jangka panjang jika Anda juga memberikan waktu Anda. Percaya deh, setengah jam Anda temani pun dia mungkin sudah mulai bosan. Lagi pula, semakin mereka besar, semakin sedikit waktunya yang akan ia habiskan dengan kita, calon jompo ini. Saya sendiri berprinsip, temani sepuluh menit (matikan komputer, TV, Facebook, iPad, bahkan kompr!), dan selanjutnya biarkan mandiri dua puluh menit. Dengan porsi seperti itu, anak-anak cenderung bermain dengan tenang di 20 menit berikutnya karena ia sudah puas Anda perhatikan semata wayang di sepuluh menit awalnya. Coba saja, akan sangat berbeda dengan ketika Anda temani selama 30 menit tapi selama itu pula Anda sambi dengan pekerjaan lain.
itallkidsplay
 
#Biarkan imajinasinya berkembang
Kalau ia bilang barusan melihat bulan menyenggol bintang, percayai saja. Otaknya sedang mencoba mencerna bagaimana alam ini bekerja. Membantahnya hanya akan membuat ia kesal dan berhenti berpikir. Dengan loncatan-loncatan pikirannya, ia pada akhirnya akan sampai pada kenyataan sebenarnya. Di lain waktu, Anda bisa menemaninya membaca buku tentang bulan dan alam semesta. Ia pasti senang sekali mendapati kalau bukan cuma ia sendiri yang memikirkan alam semesta ini.


#Sediakan lingkungan yang mendukung kecerdasannya
Itu termasuk Anda. Kalau Anda suka membaca dan berdiskusi, anak-anak juga akan menyukainya. Dinding yang penuh coret cemoret adalah hal lumrah bagi Anda yang memiliki balita. Daripada menjauhkan krayon darinya, kenapa tidak mencoba alteratif lain i.e. memberikan ruangan/dinding yang bisa dia coret; lapisi dinding dengan kertas, berikan dia krayon yang bisa dihapus hanya dengan lap basah. Jangan hentikan anak yang suka bertanya, jangan larang ini itu selama tidak bahaya dan melanggar kesopanan.
CartoonStock

Melaranglah dengan bahasa yang enak di telinga anak. Daripada mengatakan, "jangan coreti buku Mama!" lebih baik megatakan, "coreti kertas ini saja ya, kertas Mama mau dibaca."

#Active body, active mind

Sekali lagi, jangan biarkan ia menghabiska kebanyakan waktunya di depan TV. Ini peringatan untuk saya sendiri sebenarnya. Anak-anak jelas akan menyukai TV, apalagi di usia 3-5 tahun dengan acara-acara Disney yang dibuat (memang) semenarik mungkin. Tapi, ia tidak akan belajar dari sana. Ia mungkin akan menerima satu atau dua informasi baru. Tapi ini terkait dengan cara belajarnya. Jika ia biasa hanya menerima, ia tentu akan sulit terstimulai untuk mencari sendiri. Berbeda dengan jika Anda melepaskannya di sepetak kebun untuk mencari ladybug, atau di lapangan untuk bermain bola bersama temannya. Sekedar contoh, Amy putri saya senang sekali dengan Jake and The Never Island Pirates, tapi tetap saja ia lebih tertarik dengan bermain pasar-pasaran bersama teman-temannya. Anak bisa dialihkan dari TV, selama kita mau mencarikan kegiatan alternatif yang memancing kegiatan fisik dan otak.

#Berikan nutrisi yang tepat
Tidak perlu mahal atau keren, yang penting adalah kelengkapan nutrisi dalam sebuah piring. Komposisinya adalah setengah buah dan sayur, seperempat grain (padi-padian), dan seperempat protein.
Tidak harus Apel kalau Anda cuma punya pepaya. Sudah tanggung jawab kita untuk belajar tentang nutrisi anak. Apa yang meraka makan dan tidak akan menjadi tanggung jawab kita--dunia akhirat kalau menurut saya.
Di usia-usia pertumbuhannya, anak membutuhkan banyak energi, baik untuk kinerja fisik maupun otaknya. Jangan lupa, makanan dan minuman itu haruslah halal dan baik. Halal ketika ia tidak mengandung sesuatu yang haram, juga tidak dihidangkan dengan cara yang haram (termasuk sumber uangnya), baik dalam artian makanan/minuman itu tidak mengandung bahaya atau sesuatu yang tidak baik. Seperti pengawet (bayangin nugget dan sosis di rumah ya Bu...hehe), pewarna (minuman anak-anak apa saja yang boleh ada di kulkas Anda?), dan proses yang berlebihan sehingga menghilangkan nutrisinya. Ayolah Bu, daripada beli buah kalengan yang diimpor dari Cina, lebih lengkap nutrisinya beli pepaya di kebun tetangga :)

#Beri makan otaknya, jasadnya, dan hatinya....
Diajari mengenal huruf sudah, diajak main ke sodara sudah, diajari sopan santun sudah, diberi susu murni sudah, brokoli juga habis... apalagi?

Kenalkan ia pada Penciptanya. Memulainya sedini mungkin dari hal terdekat. Misal, ketika ia bertanya, dari mana datangnya adik? Maka saya menjawab, "dititipkan Allah pada ayah dan bunda."
Jangan sampai kita mengenalkan anak kepada Tuhannya ketika menakut-nakutinya. "Kalau nasinya nggak habis nanti dimarahi Tuhan, lho!" Karena yang diingat anak kemudian hanya sisi kemurkaan Tuhan.
Ajak anak mengenal seluruh sifat Allah yang terentang di permukaan bumi :) Kenalkan anak pada RahmatNya dalam hujan yang turun, RahmanNya dalam rejeki yang turun, AkbarNya pada kemegahan jagad raya....



Setiap anak hebat--meski tidak perlu kita umumkan pada dunia tentang hebatnya anak kita--karena ia diberikan akal oleh Allah untuk berpikir. Tugas kitalah untuk mengenalkannya agar ia bisa menggunakan akal pikirannya agar bermanfaat bagi orang banyak. Membawa maslahat bagi ummat. Menjadi problem solver. Menjadi penyejuk hati di akhir zaman yang gersang ini... Aamiin.







Nizam Memilih Sayuran
Juli besok kedua anak saya akan mulai bersekolah. Si kakak masuk ke Taman Kanak-Kanak dan adiknya masuk Playgroup. Setelah selama ini disekolahkan di rumah--banyak mainnya jelas-- sekarang mereka terlihat sudah siap untuk menghadapi kelas, guru, dan teman-teman. Sebenarnya saya mau memasukkan mereka tahun lalu, tapi setelah di sekolah selama seminggu, Amy terlihat tidak juga nyaman dan masih belum antusias mengikuti kelas. Salah satu tanda yang paling kentara dia belum suka sekolah adalah, gurunya baru berdiri untuk membubarkan kelas, dia sudah berlari mengambil dan memakai sepatunya. Minta pulang!
Sekarang, pertanyaannya sehari-hari adalah kapan dia bisa memakai seragam TK-nya.

Mungkin ini belum saatnya untuk lega. Tapi lumayan lega...karena saya menganggap fase krusial Amy sudah sebagian besar terlewati. Saya bersyukur sudah melakukan seoptimal mungkin selama 3 tahun awal usianya yang merupakan golden age bagi proses tumbuh kembang. Tak sempurna memang, bahkan ketika menjalaninya saya sempat merasa goyah. Tapi sekarang semua tantangan soal nutrisi tepat dan stimulasi optimal itu menjadi catatan yang berharga, salah satunya untuk memantau tumbuh kembang Nizam, si adik.

TAHUN PERTAMA....

Sejak mereka bayi, dalam mengontrol tumbuh kembangnya saya hanya berpegang pada: KMS, catatan dokter anak, ahli gizi, dan rekaman tahapan tumbuh kembangnya. Saya tidak membanding-bandingkannya dengan anak lain. Karena saya tahu, setiap anak akan mencapai tahapan tumbuh kembangnya dengan cara dan waktu yang berbeda. Yang harus saya lakukan hanyalah memberinya nutrisi yang tepat, memeriksakan kesehatannya dengan teratur, and love them just the way they are.

Tentang ASI Eksklusif

Saya pikir sudah berhasil memberikan putri saya ASI ekslusif selama 6 bulan pertama. Sebagai sumber gizi terbaik untuk bayi, ya, dia memang mendapatkannya. Tapi soal kualitas ASI, saya hanya berharap ia mendapatkan nutrisi terbaik dari ASI yang saya berikan, karena.... sekali dua kali saya kecelakaan juga makan sembarangan--dan ini pasti berpengaruh pada kualitas ASI saya-- Tapi itu tidak membuat saya merasa bersalah berkepanjangan dan putus asa memberikan anak saya ASI. Pasal satu dalam memberika ASI eksklusif adalah komitmen. Pasal kedua, nutrisi yang baik bagi ibu sejak hamil. Kalau kata ibu saya, malah sejak jauuh sebelumnya harus sudah membiasakan diri mengkonsumsi makanan sehat.

Memantau Developmental Milestone Chart
Setelah disarankan Pediatrik langganan kami, saya menggunakan developmental milestone chart seperti yang di bawah ini, untuk memantau tumbuh kembang kedua anak saya. Pas anak pertama, saya hampir setiap hari membacanya dan mencentangnya, hingga nyaris hafal luar kepala--akhirnya memang hafal. Tapi di anak kedua sudah lebih tenang, bagi saya yang pentig momennya.
Dengan chart ini, saya bisa tahu tahapan yang harus dilaluinya, sehingga saya tidak perlu merasa risau ketika melihat tumbuh kembang anak lain. Maklum, ibu baru, suka galau kalau lihat anak lain lebih sehat :) Misalnya saja, ketika usia setahun Amy masih melangkah pendek-pendek sementara temannya sudah berjalan lancar, saya kembali mengacu pada chart ini. Kata pakar, tidak terlalu penting usia berapa dia bisa berjalan lancar. Yang penting adalah ia melalui tahapan seperti berpijak dengan pegangan, berpijak dengan pegangan satu tangan, berpijak tanpa pegangan, dan seterusnya. Kalau dalam pemantauan itu ada tahap yang terlewati, saya akan konsultasikan pada pediatrik pada kunjungan bulanan kami.


Children Developmental Milestone Chart diambil dari sini

Hal yang perlu diingat adalah, masa pencapaian tahapan tumbuh kembang ini dibuat cukup lebar karena setiap anak berbeda. Ada anak yang sudah bisa berjala di usia 9 bulan, dan ada juga anak yang bisa berjalan di usia 18 bulan. Keduanya sama normal. Yang saya lakukan sebagai ibu hanya memastikan ia mendapatkan stimulasi yang tepat--bukan paksaan dengan tatapan menyesal, "kenapa kamu belum jalan juga sih Naaak"--

Meski sering melototin chart ini, sambil menunggu-nunggu perkembangan selanjutnya, saya berusaha menikmati setiap momen yang kami lewati. Mungkin itu yang membuat tidak terasa waktu sudah berjalan hampir empat tahun.

MPASI
Nah, ini dia yang hingga tahun kedua usia Amy sedikit menguras otak Bundanya. Ada banyak sekali bubur instan dengan berbagai rasa di luar sana. Percayalah, saya saaangat tergoda untuk memakainya. Tapi, mungkin makanan bungkusan itu benar mengadung gizi dan sebagainya seperti yang disebutkan. Mungkin. Tapi saya tahu yang benar-benar mengandung gizi: bahan di dapur saya.


Sampai usia setahun, rasanya dia mudah-mudah saja membuka mulut untuk makan...

MEMASUKI TAHUN KEDUA....

(Masih) MPASI
Ya, sekarang usianya 15 bulan dan dia sudah bisa protes kalau makaannya itu-itu saja. Atau kalau rasa wortel buatan saya pahit. Ia juga bisa mengeluhkan sakit perut karena ketajaman rasa makanan tertentu. Di satu sisi, itu baik karena saya jadi tahu apa yang ia inginkan atau tidak cocok dengan lambungnya. Di sisi lain, itu benar-benar menantang kreatifitas saya untuk menghidangkan makanan yang tidak akan berakhir di tong sampah.
Berburu resep teryata tidak cukup. Seorang ibu harus punya nyali chef di restoran bintang lima, dengan prefeksionis lidah pelanggannya. Kalau dia menolak makanan yang satu, saya harus bersiap dengan makanan berikutnya. Bukan berarti memanjakannya, tapi prioritas saya saat itu adalah dia makan. Kalau tidak nasi, maka karbohidrat lain. Tidak sayur, ya buah. Tidak daging ya bakso. Menolak ayam, saya buatkan nugget.

Selain variasi menu, sangat penting untuk menemani ketika anak sedang makan. Saya tidak membiarkannya duduk di depan TV dengan piring yang teracak-acak. Tak ada masalah dengan makanan berantakannya, selama itu adalah proses ia menuju kemandirian, tapi TV? No waaay... Itu hanya akan mementahkan secantik apapun bento yang saya hidangkan untukya.

Seorang ibu juga harus rela belajar lebih di luar ilmu yang ia kuasai. Dalam hal ini saya butuh pendamping, karena itulah saya berkonsultasi dengan dokter anak dan ahli gizi. Penting bagi orang tua untuk mengkonsultasikan gizi si kecil kepada ahlinya. Misal, ketika saya khawatir Amy kekuragan gizi karena tubuhya lumayan kurus, saya membawaya ke dokter untuk memeriksakan zat besi (setelah ia berumur satu tahun) dan kemudian ke ahli gizi. Ternyata hasilnya ia baik-baik saja. Tapi memeriksa dengan rutin itu perlu, karena kadang kekurangan nutrisi yang tepat tidak terlihat begitu saja. Pernah suatu kali pula, saya membawanya ke ahli gizi yang sama dan mengkonsultasikan kondisi Amy yang cepat sekali lapar. Dari daftar menu sebulan kemarin yang saya bawa saat itu, ahli gizi bisa mengetahui kalau putri kami kekurangan lemak dalam menunya.

 
  




Piring pada gambar di sebelah disebut Healthy Plate. Anda bisa kunjungi website resmi Healthy Kids Plate untuk lebih banyak ide. Ini adalah cara sederhana untuk memastikan apa yang anak makan. Aturanya sederhana sekali:
Setengah dari piring adalah buah dan sayur. Seperempatnya adalah protein. Seperempatnya lagi adalah karbohidrat.

Ada beberapa nutrisi yang sering terabaikan dari menu anak-anak.  Pakar nutrisi Maryann T. Jacobsen menyebutkanya:
1. Zat besi
Selama beberapa tahun pertama, pertumbuhan terjadi dengan cepat dan tubuh akan bermasalah ketika tidak memiliki pasokan zat besi yang cukup. Salah satu fungsi utama zat besi adalah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Defisiensi zat besi sering kali tidak terlihat gejalanya. Ia baru terlihat ketika sudah menjadi anemia. Anak menjadi mudah lelah, sariawan, imunitasnya turun, dan kognitifnya melemah.
Tips: Vitamin C akan membantu penyerapan zat besi higga 3 kali lipat. Jadi, tambahkan buah bervitamin C pada sereal anak, tomat pada burritosnya, atau kemangi pada sate kerangnya.

2. Vitamin E
Vitamin E berfungsi sebagai antioksidan. Vit E terdapat di biji-bijian, minyak sayur, kacang-kacangan, dan alpukat.
Tips: Ganti mayonise dengan alpukat.

3. Vitamin D
Meski namanya vitamin, para ilmuwan lebih menganggap ini sebagai hormon, berdasarkan fungsinya. Vitamin D diperlukan tubuh sebagai simpanan kalsium di dalam tulang. Kekurangan vitamin D bisa menyebabkan diabetes, penyakit pada cardiovascular, kerusakan imunitas, dan memicu pertumbuhan sel kanker. Kebanyakan orang tidak mendapatkan vitamin D dari makanan, melainkan dari sinar matahari. Sumber makanan untuk vitamin D adalah minyak ikan, minyak hati ikan, susu, dan beberapa jus jeruk yang sudah ditambahkan Vit D.
Tips: ASI adalah sumber vitamin D paling tinggi bagi bayi.

4. Kalsium
Asupan kalsium yang cukup ketika pembentukan tulang di masa anak-anak akan mencegah terjadinya osteoporosis di masa tuanya. Sumber untuk kalsium adalah susu dan semua produk olahannya, serta bayam, kedelai, okra, sardine, salmon.

5. Potassium
Jika kebanyakan sodium bisa membuat tekanan darah naik, maka potassium melakukan sebaliknya. Potassium berguna untuk kesehatan tulang dan mencegah batu ginjal. Kekurangan potassium biasanya disebabkan kurangnya mengkonsumsi sayuran dan buah, dan terlalu banyak mengkosumsi makanan kemasan dan berpengawet. Sumber untuk potassium adalah tomat, kedelai, kentang, prune, wortel.
Potassium Foods

6.Asam Lemak Esensial (atara lain ALA, DHA, Asam lemak Omega-3)
Rata-rata anak di bawah usia lima tahun kekurangan asam lemak esensial, karena kita tidak tahu lemak seharusnya yang bisa mereka konsumsi. Sumber-sumbernya antara lain adalah minyak sawit dan ikan laut tertentu.


7. Serat
Sebagai bagian dari karbohidrat yang tidak diserap pencernaan, serat berfungsi untuk mengatur gula darah, bermanfaat sebagai memperlancar pencernaan, da mengurangi resiko penyakit jantung dan pembuluh darah.

--Kunjungi Health Gov untuk list sumber nutrisi lebih lengkap.


Saya juga memasukkan daftar menu Amy minggu lalu sebagai contoh yang disarankan ahli gizinya.



Kadang-kadang, sumber makanan yang sehat belum tentu menjamin anak menerima nutrisi yang cukup. Masalahnya ada pada bagaimana mengolah makanan tersebut. Seperti sayur. Setiap sayur memiliki penanganan yang berbeda. Untuk aman, saya memilih mengukus sayuran hijau, atau menumisya sebentar dengan menggunakan minyak Canola. Ikan lebih sering dipanggang atau di Slow Cooking. Percaya deh, ternyata ada banyaaak sekali hal-hal seru yang patut dicoba setiap ibu sebelum menyerah karena anaknya tidak mau makan.





Saya paling males buat kue yang takarannya ribet, apalagi kalau ada aturan kecepatan mixing. Mungkin nanti, kalau anak-anak sudah berhenti ikut mengacak-acak tepung dan menembakkan seratus pertanyaan per sesi. Jadi, syarat memasak di dapur kami adalah masakan yang disaster minimalis. Yang tetap bisa dimakan meski anak-anak ikut mengaduk-aduk atau tuang ini itu.

Klik di sini untuk lihat resep asli


Sodara-sodara, itu gambar asli dari resep yang ada di www.essentially-england.com.
Waktu itu kebetulan saya punya roti tawar yang nggak dimakan-makan, daripada terbuang, mending diolah jadi apa gitu. Sebenarnya mau buat roti apel, tapi apelnya tinggal sebiji ^__^ akhirnya inget makanan ini. Buat saya, makanan ini memorable banget! Aroma clovesnya (cengkeh--kalau resep lain pakai nutmeg atau cinnamon) membuat saya ingat sama almarhum bapak. Dan aroma rumah ketika sedang memanggang kue ini bisa membawa saya merasa pulang ke masa dua puluh tahun lalu. Entahlah, I love cloves!

Kenapa juga resep ini jadi andalan, karena selain mudaaah banget, anak-anak juga suka. Nggak ada takaran dalam resep ini. Campur aduk semua yang Anda punya, ukurannya cuma besar kecilnya loyang.

Ini bahannya:

Roti tawar (tergantung besaran loyang. KIta ambil yang sepuluh lembar aja ya)
Susu cair (350 ml--boleh susu murni, susu UHT, pernah saya pakai susu Dancow bubuk sebungkus dan   dicairkan dengan segelas air hangat)
Gula (2 sendok makan)
Butter (2 sendok makan)
Telur (3 biji)
Kismis suka hati, mau diganti keju juga boleh.
cengkeh dua biji (boleh diganti kayu manis)

Panaskan susu cair dan gula dengan api kecil, masukkan cengkeh. Matikan api sebelum mendidih, masukkan butter yang sudah dicairkan, telur yang sudah dikocok, aduk semua....

Susun roti dalam loyang tahan panas (mau pirex, mangkok berlapis aluminium foil, atau loyang aluminium, sama saja) Rotinya mau disobek2 boleh, mau di begitukan juga boleh. Ada yang suka ditoast dulu biar garing, ada yang dioles butter dulu seperti resep di gambar.

Siram adonan susu ke dalam loyang. Taburi kismis (ada juga yang menaburi keju atau kacang almond)
tunggu sepuluh menit sampai air terserap roti.
Panggang dengan 180'C selama 30 menit api atas bawah. Nggak punya oven? nggak apa-apa, kukus juga boleh!

Kenapa namanya pudding?
Setelah matang, dinginkan sebentar, dan potong. See, tengahnya itu lembut menuju cair. Makanya makannya harus pakai piring. hehe... tapi enaaak banget. Anak-anak lebih suka kalau makanan ini dicetak di mangkok muffin yang dilapisi aluminium foil. Saya lebih suka dihidangkan hangat, tapi enak juga setelah nginap di kulkas^___^
 
 . Kalau membuatnya melibatkan anak-anak, mereka akan dengan senang hati membantu:
1. Mengocok telur 
2. Menyusun roti
3. Menuang adonan susu ke loyang
4. Menaburkan kismis
5. Mencicipi ^___^

Hm, ini memang kue yang ramah anak-anak ternyata. Kecuali bagian memanaskan susu. Tapi sebenarnya nggak dipanaskan juga nggak apa-apa, saya cuma mau gulanya menyatu. Kalau memanaskan butter bisa juga dimasukkan ke rice cooker atau microwave atau oven.


Silakan dicoba!


Bedtime Stories 
Honestly, saya bukan ibu yang disiplin membacakan cerita sebelum tidur. Ketika saya mulai membentangkan buku di hadapan anak-anak, mulai dari halaman judul, mereka sudah bertanya banyaaak sekali. Misalnya, siapa yang memutuskan untuk menuliskan "A" sebesar itu? Siapa yang mewarnai tupai itu? Di mana kita membeli buku ini kemarin? Kadang-kadang menyenangkan menjawab pertanyaan mereka yang selusin itu. Tapi kadang yang saya inginkan cuma agar mereka cepat tidur dan tidak membuat telinga saya berdenging. Oke, it's my flaws.

Tapi membacakan cerita untuk anak merupakan proses yang penting. Untuk lengkapnya manfaat membacakan buku bagi anak, silakan berkunjung ke earlymoments. Dua hal yang benar-benar terasa yakni bonding antara orang tua dan anak, dan kemampuan berbicara anak. Itu baru dua hal yang terlihat dengan mudah, belum efek lainnya dalam jangka panjang, seperti art of listening, melatih fokus, dan pengaruhnya pada kemampuan anak membaca.

Bali Rai
Ada banyak sekali alasan kenapa kita harus mulai membacakan buku kepada anak sejak dini. Oke, memang lebih enak meletakkan anak di depan TV (24 jam babysitter) tapi para pakar sepakat membaca buku thounsands times better for stimulating your children development. Membaca buku akan membuat anak menggunakan otaknya lebih aktif daripada ketika dia menonton. Membaca juga membuat anak memiliki kesempatan untuk memerhatikan dan bertanya sehingga lebih banyak merangsang daya pikir mereka. Silakan kunjungi Totsites untuk kata pakar lainnya.


Bagi saya pribadi, membaca adalah salah satu cara untuk mengenal dan belajar tentang banyak hal. Tanpa membaca, orang akan mengunci dirinya dalam ketidaktahuan. Jadi, kalau saya ingin anak saya tumbuh sebagai manusia pembaca, maka sejak dini saya mulai mengenalkannya dengan kebaikan membaca. Yang saya lakukan pertama kali bukanlah membeli buku anak melainkan mengenalkan anak pada prosesnya. Karena saya tidak mau membatasi diri hanya membaca ketika membeli buku. Saat ini kita bisa membaca apa saja.
Ketika anak sering melihat orang tuanya membaca, anak akan tertular untuk ikut senang memegang buku. Coba perhatikan, anak pasti senang mengikuti tingkah laku orang tuanya, kan? Seperti ketika orang tua berbicara di telepon, memasak, berdandan, bahkan cara bicara. Begitu juga dengan membaca. Tidak penting mengenai berapa banyak buku yang dimiliki, yang perlu diserap anak adalah bahwa membaca itu menyenangkan.

Bagaimana kalau anak belum bisa membaca?
Bagi saya, yang terpenting adalah anak mengenal buku. Dan proses perkenalan itu tentu saja disesuaikan dengan usia.
Sekarang sudah banyak buku dari bahan flanel yang berwarna-warni yang ditujukan agar tidak sobek. Buku-bukuan ini aman untuk bayi karena tidak akan ada kertas atau tinta yang akan termakan oleh mereka. Tau kan, bayi suka memasukkan segalanya ke dalam mulut untuk mengenali benda itu.
Tapi balita saya tidak suka dengan buku ini. Mereka benar-benar mau buku. Yang ada hurufnya, yang berat seperti milik ayah bundanya. Karena umur mereka sudah mencukupi (sejak1,5 tahun) untuk mengetahui buku bukan untuk dimakan, saya memberikan mereka buku apa saja. Kalau robek, saya akan mengajak mereka merekatkan kembali. Supaya mereka tahu 'repot'nya memperbaiki buku.

 It worked for me :D Meski buku anak-anak jadinya penuh selotip. Hanya satu atau dua buku yang jadi korban, lalu mereka mulai terbiasa untuk memperlakukan buku dengan baik.

Buku apa yang tepatnya dibacakan untuk anak?
Anak saya suka buku bergambar seperti kamus bergambar Thomas and Friends. Mereka juga senang dengan fabel. Untuk fabel dari penulis Indonesia, saya suka tulisan2 Clara Ng. Saya juga menemukan link fabel klasik yang cocok di internet.  Printable pula. Coba cek di Nutricia Baby Books. Ada dua belas buku yang bisa Anda print. Bahasa aslinya Belanda, tapi ada terjemahan Inggrisnya di bagian bawah. Ini salah satunya:


Selain buku-buku itu, kalau dompet lagi tipis, kami bisa membuat sendiri. Sekarang setelah anak-anak lebih besar, mereka jadi ikut senang mewarnai dan menyusun cerita mereka sendiri. Well, don't ask the ending. You'll find the elephant will turn into a bug.

Saya mengenalkan mereka pada buku. Bukan tergesa-gesa mengajarkan mereka membaca. Itu adalah dua hal yang berbeda. Dengan kebiasaan dekat dengan buku, saya yakin anak akan lebih mudah dalam proses belajar membacanya kelak. Begitu juga dengan masalah bilingual atau membaca kitab suci. Saya tidak menargetkan apa-apa selain mengenalkan anak agar mereka menjadi terbiasa. Kalau dia sudah terbiasa dan senang, sisanya akan lebih mudah.

Kapan saya membacakan buku untuk anak?
Tidak harus sebelum tidur. Bisa di pagi hari ketika kami ke perpustakaan. Atau sore hari ketika hujan dan tidak bisa main di luar, atau malam, ketika anak seharian lelah dan memerlukan kegiatan asik yang tidak menguras tenaga fisik. Sehari 20 menit, itu kata pakar.


Once upon a time...

Melalui cerita yang saya bacakan, anak-anak juga ternyata sudah bisa mengambil nilai atau pesan yang disampaikan.
Ketika putri sulung saya (4) beberapa waktu lalu bermain ke rumah tetangga tanpa ijin, saya mencari cara untuk memberitahunya dengan baik. Kalimat, "jika kamu pergi tanpa ijin dan Bunda mencarimu bla bla bla" terlihat agak terlalu panjang dan mungkin yang dia terima hanya betapa kesalnya saya. Dan belum tentu dia tidak akan melakukannya lagi.

Lalu, malamnya saya membuat cerita dengan menggunakan gambar-gambar memungut di sana-sini (Google, of course. As long as I won't sell it). Dan saya membacakannya sebelum anak-anak tidur. Itu adalah cerita tentang dua anak burung yang bertualang ke hutan seberang, mengabaikan pesan ibunya kalau mereka tidak boleh jauh-jauh dari pohon besar tempat keluarga burung tinggal. Lalu mereka tersesat dan Ibu burung mencari mereka. Ibu burung merasa bingung dan sedih karena anak-anaknya hilang.You know the kind of story.... 
Yang dicecar dua anak saya adalah apakah pohon itu sebesar menara? Apakah di hutan itu ada singa baik hati? Apakah di hutan itu tinggal perompak? Apakah burung itu membawa bekal?

Cerita selesai dibacakan, anak-anak tertidur. Telinga saya berdenging, tiba-tiba sepi dari suara anak-anak. Cerita yang hanya lima halaman itu menjadi 45 menit karena kedua anak saya menambahkan versi mereka sendiri. Betapa hebat isi benak mereka...

Saya sudah hampir lupa dengan cerita itu, ketika suatu hari, dari jendela dapur tempat saya sedang mencuci piring, saya mendengar obrolan dua anak saya di halaman belakang:

Adik: Lihat, kucingnya pergi ke sana. ayo kita ikuti!

Kakak: Kita harus bilang dulu sama Bunda, kalau nggak, kalau kita tersesat Bunda akan bingung nyari ke mana.

Adik: Di sana ada perompak?

Kakak: Bukan, cuma ada bahaya. Ayo kita bilang sama Bunda!

Saya nyaris tertawa mendengarnya. Sejak itu, anak saya selalu ijin jika mau pergi.  Mereka bukan takut hilang, tapi takut Bundanya sedih dan kebingungan mencari anak-anaknya.

I'll keep reading books to them. I will.










Anak siapa yang nggak pernah tantrum, ayo ngacung? :) Whining, stomping, screaming, even slap-thing, sebut saja yang mana variasinya.
There are so many articles telling us about tantrum. Teori, tips, whatever, semuanya ada, tinggal Google.
Apa anak saya pernah mengamuk? whoaaa.... who doesn't? Bahkan anak sulung saya yang paling kalem saja pernah mengamuk sekali dua kali selama masa tumbuhnya. Dan anak saya yang kedua sedang dalam tahap itu, tantrum, as a unwanted of developmental milestone.

Ya benar, horibel-horibel begitu, tantrum itu bagian dari emosional dan sosial milestone. Jadi, jangan buru-buru merasa anak Anda tidak beres hanya karena dia teriak setiap kali Anda suruh tidur siang. Ray Levi, Ph.D, psikolog yang juga konsultan majalah Parents, mengatakan adalah wajar ketika anak melakukan penolakan atau bahkan mengamuk dengan cara yang sedikit mengerikan itu, karena mereka belum selesai memahami bagaimana cara yang tepat untuk mengungkapkan penolakan itu.
Orang udah gede aja masih ada yang suka ngotot :D
Michael Potegal, Ph.D, pediatrik dan neuropsikolog dari Universitas Minessota yang sudah melakukan penelitian terhadap tantrum selama bertahun-tahun mengatakan bahwa tanrum sebagai respon biologis terhadap amarah dan frustasi adalah normal, senormal orang menguap ketika penat.





Seperti yang saya bilang tadi, ada banyak tips untuk mengatasi anak tantrum. Tantangannya apakah kita bisa konsisten menerapkannya. Saya sendiri suka gigit geraham kalau menghadapi anak mengamuk. Lama-lama emaknya ikutan ngglesor di tanah kali ya... jangan sampe deh >,<

Beberapa kali menghadapi anak tantrum di depan umum, akhirnya saya tahu kalau sebaiknya mencegah daripada menghadapi. Putri sulung saya tidak pernah mengamuk di luar, beneran. Tapi luar biasa kalau dia mengamuk di dalam rumah. She has a kind of ear-bleeding-screaming!  With her, the only way for me to deal with is just wait.

Saya akan duduk atau berbaring (tergantung posisinya dia) dan membiarkan dia selesai teriak. Setelah mereda dan dia menunjukkan tanda-tanda dia capek dan butuh pelukan, saya memeluknya, begitu saja. Selesai? No. Ketika sudah tenang dalam pelukan saya biasanya minta dia untuk tidak mengulanginya. Saya minta si kakak untuk mengungkapkan apa maunya jika besok-besok dia meminta sesuatu. Tentu saja ini bukan cuma omongan. Kalau menawarkan kesempatan negosiasi ke anak berarti harus siap untuk kalah sewaktu-waktu. Misal, ketika dia tidak mau tidur siang, dan dia memilih untuk negosiasi... "Lima menit lagi, Bunda?" maka saya harus menghormati hasil kesepakatan itu. She follows my rule, so I should follow the result.


Kebiasaan untuk lobbying and negotiating itu kebawa sampai ke luar rumah. Dia boleh minta apa saja, tapi tidak mendapatkannya saat itu juga. Ada syarat dan ketentuan yang berlaku :) dia menurut, karena tahu ayah bundanya akan menepati janji. Jadi, kalau mau lobbying and negotiating ini berhasil, orang tua haruslah bisa dipercaya. Kalau nggak, anak akan cari jalan lain: ngamuk!

Saya kira saya sudah pakar dalam masalah tantrum ini. Ternyata, ketika anak kedua mencapai usia 1,5 (masa-masa awal tantrum) haishhh..... saya balik lagi ke titik nol! Dengan si adik, perlu usaha dan tenaga lebih untuk bernegosiasi. Dan seringnya gagal, karena dia belum memahami konsekuensi kalau dia melanggar perjanjian. Well, setiap anak berbeda, bukan?

Si adik bersikap penuh penentangan di waktu... hampir setiap saat. Jam tidur siang, ganti pakaian, jadwal mandi, jadwal makan, jadwal minum susu, ke toko (it's horrrrible!) bahkan di taman bermain. Karena temperamennya yang meledak-ledak ini, saya jadi harus waspada, jangan sampaaai deh dia tantrum di wilayah publik, bakal susah diamnya (juga berat malunya). Tapi, tidak bisa 100% dihindari. It happens.

 
Percayalah, setiap ibu pasti bisa membaca tanda-tanda apa yang menyebabkan anaknya mengamuk. Kadang, ibu suka mendadak blank dan merasa tidak tahu bagaimana anaknya bisa mengamuk karena sedang fokus pada hal lain: komentar orang yang melihat adegan itu.

Saya pernah mengalaminya. Maka saya mulai menyuruh diri untuk fokus pada si adik dan mencari tanda-tanda (juga mengingat-ingat) apa gerangan yang membuat dia mengamuk. Ini hal yang mebuat anak saya mengamuk:

1. Ketika berpergian dalam keadaan lapar.
2. Disuruh tidur ketika sedang asik main
3. Disuruh mandi dengan rapi dan tertib
4. Bosan tingkat tinggi sampai mencari sesuatu yang seru yang ternyata bahaya hingga dilarang emaknya
5. Mencari perhatian (saat emaknya keasikan menatap monitor atau ponsel atau ngobrol)
6. Kurang tidur atau terlalu lelah

Maka, saya melakukan hal-hal di bawah ini:
1. Tidak membawanya pergi di jam makan atau jam tidur. Kalau harus, maka bawa bekal. Terutama air minum.
2. Sebelum jam tidur, pastikan dia memiliki waktu untuk mendinginkan adrenalinnya (oke, ini istilah yang salah kayaknya, semacam itulah). Misal, jam tidurnya jam 2, maka sepuluh menit sebelum waktu habis saya sudah memberitahunya supaya dia bisa siap-siap.
3. Kalau dia mau mandi dengan gayanya, silakan, selama tidak bahaya.
4. Tidak membiarkan dia bosan. Berarti mengawasi jam kegiatannya agar bervariasi. Kalau bosan ketika bertamu, saya atau suami akan membawanya keluar sejenak untuk refresh.
5. Tidak melewatkan jam tidur. Memastikan dia tidak terlalu lelah.
6. Pay attention, pleaseee. Main dengannya lima belas menit, lalu dia akan merasa cukup dan bisa main sendiri selama setengah jam. Main di sini bukan main di luar tanpa pengawasan lho ya... :) instead mengawasinya 12 jam tapi disambi mengawasi lalulalang status facebook... (hm, sounds familiar)

Ada teman yang bertanya, kalau dia minta mainan terus ngamuk karena nggak dikasi, gimana?
Bagi saya, penyelesaian soal beli beli barang ini ada jauuh di belakang saat anak mengamuk. Ketika anak mengamuk yang dipicu beberapa hal di atas, semua tuntutannya akan keluar. Lihat saja, Anda akan mendapati permintaan-perminaat super ajaib keluar dari mulutnya di sela-sela tangisan. Bukan tidak mungkin dia minta Anda membawakan Jake and The Never Island Pirrates ke hadapannya! Tapi, bukan itu sebenarnya yang mereka minta. Anda pernah kan, merasa kesal dan tiba-tiba kekesalan yang sudah terlupakan tiba-tiba teringat lagi?



Kalau sejak di rumah--ketika mereka masih tenang--anak sudah diberi pemahaman (gradually of course) tentang apa dan kapan mereka boleh membeli mainan, Anda tidak akan gampang takluk dan menyerah. Mengabulkan semua permintaan anak ketika mereka mengamuk, akan mereka terima sebagai tanda bahwa itulah cara mengomunikasikan keinginan: teriak.

Jadi, tidak ya tidak.

Saya selalu bilang, "I love you, tapi mainan itu sudah ada di rumah/untuk usia yang lebih besar/bahannya berbahaya untukmu/etc..." jadi dia bisa faham bahwa menolak permintaannya bukan karena kita tidak mencintainya.





Saya masih terus memperpanjang catatan tentang perilaku anak-anak saya. Catatan ini cuma sekedar berbagi, sekedar isyarat kalau Anda tidak sendirian. Soal tips dan how exactly you supposed to deal with it, percayalah, Anda akan tahu, hanya perlu fokus pada kebutuhan anak.

Ya, fokus pada kebutuhan dan perasaan anak.


Kalau sudah terlanjur terjadi... dia nggelesor dan meraung-raung di tempat umum, teriak, melempar, atau mojok sendirian, jangan salahkan anak Anda, Moms...
Saya biasanya cukup percaya diri untuk mengangkat wajah dan minta maaf pada orang di dekat situ yang mungkin terganggu. Lagi pula, hanya ada dua kemungkinan: orang-orang tua yang ada di dekat situ pasti mengerti apa yang saya hadapi, dan anak-anak muda yang menatap saya dengan tatapan "I will never having kids!" oh you will, trust me, dan kalian saat itu akan memaklumi semua ayah ibu yang anaknya tantrum di depan umum --karena pada akhirnya anak kalian juga akan melewati milestone itu, like or not.
 
So far, pelukan selalu menjadi obat terbaik bagi anak-anak yang merasa lapar, lelah, bosan, apalagi kurang perhatian. Jadi, berhenti memelototi mereka dan raih mereka pelan-pelan, Moms! Gooood luck!