ASEAN Youth Volunteers Network

ASEAN: One Vision

ASEAN, yang tahun ini memasuki usia ke 46, telah bertumbuh menjadi kekuatan besar yang cukup dipertimbangkan, di mata dunia. Sementara di dalam negara-negaranya, terutama di Indonesia, saya berharap ASEAN lebih dari sekadar sebuah bab bahasan dalam sebuah buku pelajaran IPS. Membicarakan ASEAN bagi generasi ini seperti nostalgia tentang orang-orang heroik yang berhasil menandatangani sebuah kesepakatan dan cita-cita bersama yang mulia. Peace, prosperity, and freedom.

Cita-cita itu mungkin belum sepenuhnya terwujud, tapi setidaknya formula untuk mencapainya sudah mendekati yang paling tepat untuk masa ini. Lihat saja bagaimana Komunitas ASEAN 2015 telah mulai digagas. Seperti sebuah gurita yang menggeliat, tentakel-tentakelnya mulai bergerak. Berbagai komunitas sebagai bagian dari roadmap menuju Komunitas ASEAN 2015 telah berjalan. Di dunia pendidikan, ekonomi, pariwisata, geliat ini lebih terasa.

Tapi, apakah ASEAN hanya milik mereka yang bermodal yang bersinggungan dengan perekonomian kelas dunia? Atau hanya milik mereka yang duduk di universitas bergengsi dan mendapatkan kesempatan untuk pertukaran pelajar di negara-negara ASEAN?

Sejatinya ASEAN adalah milik semua warga negara anggotanya. Peace, propsperity, dan freedom yang diidam-idamkan oleh para pendirinya dahulu itu bukanlah milik selapis warga negara saja. Ia tidak semata-mata menjadi bahasan eksklusif kaum cerdik cendekia, namun terasa jauh ketika warga berdebat tentang batas-batas budaya dan ketimpangan kemajuan antarnegara. 
Menjadi bangsa maju yang berada di garis depan pelaku pembangunan seharusnya mampu mendorong setiap warga bangsa untuk berbenah. Jika tidak ingin menjadi penonton dan objek kebijakan di masa depan, maka hari ini adalah titik awal untuk segera mengejar ketertinggalan. Ada pekerjaan rumah yang menunggu kita: kemerataan pendidikan bagi anak-anak kita, keseteraan kesempatan berusaha bagi semua kelompok ekonomi, dan keadilan gender. Sejalan dengan itu, ketika ASEAN akan menjadi bagian dari tatanan dunia yang stabil dan damai, maka negara-negara di dalam ASEAN memiliki tanggung jawab untuk menjaga komitmen terhadap kestabilan dan kedamaian hubungan regionalnya. 



ASEAN: One Identity

ASEAN Cultural Exchange
ASEAN, sejak semula adalah kerja sama regional yang dibangun di atas keragaman. Negara-negara anggotanya memiliki sistem pemerintahan dan politik yang berbeda, mata uang yang berbeda, bahasa yang berbeda, keunggulan sumber daya yang juga berbeda. Jikalah tidak berbeda, ia beririsan sehingga mudah membuatnya bergesekan--ingat kasus kemiripan budaya antara Mayasia dan Indonesia?
Untuk menjadi apa yang kita cita-citakan, sebuah komunitas kelas dunia yang berperan aktif dalam peta peradaban, setidaknya kita harus berangkat dari titik pemahaman yang sama.  Bahwa yang membuat kerja sama ini memungkinkan bukanlah dasar yang sama, namun keinginan yang sama untuk menjadi entitas besar yang kuat dan tidak terjajah.
Kita memang beragam, dan keragaman yang bersinggungan ini kadang-kadang meletup, menimbulkan gesekan identitas dan kepentingan. Sebutlah itu konflik. Jika kita antarbangsa di dalam ASEAN masih kesulitan untuk berdamai, bagaimana kita akan menjadi referensi perdamaian bagi dunia? 
Kehidupan Indonesia yang multikultural menjadi semacam cermin bagi kemampuan kita untuk hidup dalam keragaman. Kemampuan untuk bertoleransi. Kemampuan untuk mengedepankan kesamaan visi, alih-alih mengedepankan perbedaan. Jika kita-masyarakat Indonesia-masih sensitif dengan cara tetangga kita melakukan urusanpribadinya, maka pertanyakanlah kemampuan kita untuk menolelir tetangga bangsa kita.

Perbedaan yag berasal dari akar budaya tak seharusnya ditentangkan. Kalaulah ada perbedaan yang membuat kita harus berlomba, maka berlombalah demi kesetaraan pendidikan, kemerataan ekonomi, kemampuan berbahasa antarbangsa.

Apakah menjadi satu identitas berarti melunturkan identitas asli kita? Tentu saja tidak. Kita tetaplah apa yang diwariskan oleh bangsa kita dalam nilai-nilai baiknya. Dalam dunia yang lebih luas, kita tetap menyimpan identitas itu, kemudian melebur dalam entitas yang lebih besar: bangsa yang beradab; bangsa yang damai;  bangsa yang cendekia; bangsa yang adil. 


ASEAN: One Community

ASEAN Blogger Community

Jadi di sinilah kita, sebagai sebuah tubuh yang lebih besar dan beragam warna. Mengambil dan memberi keuntungan. Merumuskan dan melaksanakan kebijakan, bukan lagi untuk kepentingan semata-mata sebuah bangsa, tetapi multibangsa. Ketidakmampuan kita menghadapi gejolak regional akan membawa kita mundur dari percaturan politik-ekonomi-sosial secara global. Namun tergesa-gesa mengeluarkan kebijakan dengan mencampuri urusan rumah tangga negara sahabat akan membuat perseteruan regional. Beban untuk menjalani hubungan tersebut tidak hanya ada di pundak pemimpin negara, melainkan di pundak seluruh warga negaranya. Harapan paling sederhananya adalah, sebanyak itu sebuah bangsa berkontribusi, semoga sebanyak itu pula seluruh bangsa mendapat manfaatnya.
Sebuah komunitas bisa saja dibangun dengan dasar kesepahaman dan kesepakatan. Namun yang mengisinya dan membuatnya menjadi komunitas yang bekelanjutan, adalah perilaku orang-orang di dalamnya. Beberapa orang mungkin akan menganggap ASEAN melulu tentang kesepakatan perdagangan yang mementingkan negara-negara bermodal besar. Beberapa yang lain bisa saja menganggap ASEAN hanya lembaga formalitas di mana para pemimpin  bertemu dan berbasa-basi tanpa bisa membuat keputusan yang signifikan, atau lowongan pekerjaan bagi mereka yang suka menyusun rencana tanpa tahu bagaimana mewujudkannya. 
Ya, bisa saja begitu. Kalau kita membiarkannya begitu. 

Sharing and Caring...
People
Sebagai bagian dari netizen, ketika dunia kita lebur dari batas-batas geografis, persebaran ide terjadi dalam hitungan detik, dengan jangkauan yang luas. Kita mengambil dan memberi informasi di dunia cyber. Mungkin di sinilah satu-satunya tempat bagi manusia untuk lebih dulu melihat isi daripada kulit. Mengutamakan informasi daripada pembawanya. Mungkin itulah sebabnya, para blogger (penulis blog) lebih mudah menjalin hubungan antarbangsa daripada orang-orang di luar sana. Di masa ini, blogger menjadi duta bangsa tak resmi yang terus menyuarakan pelbagai berita. Ketika berita di media mainstream tidak bisa lagi dipercaya, maka blogger memiliki tempat khusus sebagai referensi kabar. 

Komunitas ASEAN Blogger kemudian menjadi signifikan, mengingat jumlah dan jangkauan keberadaannya. Setiap blog anggota komunitas ini bisa berkontribusi sesuai dengan keahliannya masing-masing. Tidak hanya menyebar informasi pariwisata dan kuliner (yang tampaknya paling banyak peminat, sejalan dengan tren backpacker di Asia), tetapi juga dalam penyebaran ilmu, pengetahuan budaya negara lain, peluang ekonomi, gerakan lingkungan hijau, semuanya bisa bekerja sama lebih baik dengan bantuan informasi dari para blogger. 
Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengambil peran dalam  lompatan menuju Komunitas ASEAN 2015. Tetapi tidak semua orang dimudahkan untuk memiliki jalan menuju peran itu. Blogger, dengan segenap potensi yang dimilikinya, haruslah benar-benar memanfaatkan kesempatan ini. Jika kita masih bertanya mengapa, maka wajah-wajah anak bangsa inilah yang bisa menjadi alasan kita untuk bersuara dan mengambil posisi dalam tubuh Komunitas ASEAN 2015:

Pasar Indonesia

Petani Indonesia


Pelajar Indonesia









Di rumah saya tidak berlaku program sensor. Ketika melihat artis korea yang pakai rok mini, dengan sendirinya anak-anak bertanya, "Kenapa dia pakai rok sependek itu? Apa aku boleh memakainya?" jawaban saya biasanya, "Boleh, kalau kamu nggak malu sama Allah." dan berikutnya dia sudah tau, yang nampak2 itu berhubungan dengan rasa malu.

Lain waktu, anak saya melihat darah. Dengan penasaran, ia bertanya. "Ih, apa ini?"
saya: "Luka."
Anak:"sakit?"
saya:"Ya. itu darahnya. Luka berdarah kadang bikin sakit. Mau mengobati bunda? tolong ambilkan kotak obat."

berikutnya, ketika adiknya terluka dan berdarah-darah (menginjak beling di parkiran), si kakak mendekat dan mengusap darah itu dengan tangannya. Lalu mencari obat. Begitu saja, ia menerjemahkan luka berdarah sebagai sesuatu yang perlu ia obati, bukan sesuatu yang menjijikkan dan perlu dihebohi.
Sampai, ia ada di pangkuan saya ketika saya membuka berita di Aljazeera. Ia melihat banyak orang terluka. Saya memerhatikan wajahnya yang terlihat tertarik, beralih dari bukunya.
"Anak itu kenapa, bunda?"
saya: "Terluka."
kakak: "Tidak ada yang obati?"
saya: "tidak, pasiennya terlalu banyak, dokternya sedikit."
kakak: "kenapa pasiennya banyak?"
saya: "karena mereka sedang perang. Orang-orang dewasa rebutan tanah dan anak-anak terkena tembakan dan bom."
kakak: "aku mau jadi dokter."
saya: "boleh. InsyaAllah."
ia masih tercenung. "Apa anak itu akan sembuh?"
saya: "tidak, dia sudah meninggal. Jiwanya pulang ke Allah."
Kakak: "Apa dia kesakitan?"
saya: "Mari berdoa, semoga perang selesai dan anak-anak bisa bermain lagi. Atau, kamu mau doakan yang lain?"

Dan dia mengucapkan sederet doa lain, termasuk agar Allah melimpahkan mereka roti yang enak dan hangat.

Kadang, kita menganggap anak terlalu kecil untuk tahu tentang dunia. Padahal perasaan mereka, pertanyaan mereka, sedang menuntut untuk dilatih oleh orang tua. Memang kadang memelahkan berdialog dengan anak, mengingat pertanyaan mereka yang seperti tidak berujung. Tapi janganlah asal menjawab hanya agar anak diam, karena jawaban itulah yang akan membentuk persepsinya terhadap dunia. Tidak remeh, kan?

Apakah anak akan takut pada dunia yang mengerikan atau anak dengan berani maju menjadi penyembuh dunia, ada di jawaban2 orang tua. It depends to us. Mau anak yang aman damai sentosa seperti katak dalam tempurung, atau anak yang memiliki bekal berbagai rasa yang terasah dengan positif dalam menghadapi dunia yang carut marut. Pilihlah!
Setiap ibu yang bekerja, mungkin merasa terbelah hatinya ketika harus meninggalkan si kecil di rumah. Entah dengan ibu/mertua, pengasuh, saudara... kalaulah boleh, pasti rasanya ingin bersama dengan anak sepanjang waktu. Apalagi, ketika waktu yang ingin digenggam itu terasa bergulir begitu cepat...

Saya memutuskan untuk menemani anak-anak di rumah, alih-alih bekerja. Meski dengan banyak konsekuensi (ga bisa berfoya-foya karena tidak ada gaji ganda, hehehe) juga dianggap tidak memanfaatkan ilmu.
Sudahlah, saya tidak akan membela diri. Terserah saja. Setiap ibu punya tantangan, bukan? Dari yang kecil sampai besar...(tantangannya ya, bukan body-nya :D)


Para SAHM (Stay at Home Mom) kadang dikomentari, "Enak ya, jadi ibu rumah tangga..."

Bu, percayalah, menjadi ibu itu bukan perkara enak dan nggak enak. Kita semua memilih. Ibu-ibu yang tidak berseragam itu juga sudah memilih, menerima resiko, menegakkan harga diri dan tetap berjalan. Begitu juga ibu yang bekerja. Karena kehadiran anak bukanlah perkara yang kita putuskan sendiri. Ada kekuatan Allah di dalamnya. Namun untuk memutuskan akan menjadi ibu seperti apa kita, kitalah yang menentukan. Pilihan apakah kita akan membersamainya atau memilih ladang lain. Pilihan antara menjadi ibu yang kuat atau ibu yang terus memandangi diri di cermin, "Bagaimana aku terlihat di mata masyarakat?"
 
Pernah, melihat seorang sahabat yang risau karena harus meninggalkan anaknya dengan pengasuh. Di lain waktu, ketika pengasuh mendadak libur, ia harus membawa putrinya ke tempat kerja. Babak belur lahir batin: menghadapi keriuhan, cibiran, dan multichallenge dalam waktu yang bersamaan. Sedih sekaligus takjub melihatnya. Siapa bilang menjadi ibu bekerja itu enak-enakan?

Tidak semua ibu yang bekerja akan menghasilkan anak yang terlantar, kurang kasih sayang, tidak terurus lahir batinnya. Ada yang bilang, anak yang ibunya bekerja, yang dirindukannya adalah pengasuh, yang disukainya adalah masakan pembantu. Benarkah? Mmm....nggak sedramatisir itulah. Satu dua ada yang begitu, tapi bukan karena ibu bekerja, tapi karena ibunya emang ga bisa masakdan jarang mangku anak :)

Dan tidak semua ibu rumahan akan menghasilkan anak santun baik budi dan bergizi.
masalahnya adalah, berusaha atau tidak?

Semoga kita menjadi ibu yang menyadari diri kita sebagai ibu. Jika kondisi membuat kita harus bekerja, semoga Allah kuatkan hati kita untuk mengemban amanah ganda. Jika kita menjadi ibu yang berkesempatan di rumah 24 jam bersama anak, semoga kita ingat bahwa Allah sedang mengawasi amanah ini.

Menjadi ibu bekerja tidak membuat seorang ibu bisa berhenti memikirkan anaknya. Sama seperti menjadi ibu di rumah tidak membuat seorang ibu abai terhadap kondisi dunia di luarnya. Jadilah ibu yang kuat. Ketika telah mengambil keputusan, jangan merengek.

Dulu, awal-awal karir saya sebagai ibu rumahan (lagaaak), saya sakit hati kalau ada yang dengan suka rela menyebut saya tidak berpendidikan dan tidak berpengaruh pada perubahan dunia. Ibaratnya, saya ini sebutir debu atau rakyat jelata yang kalau krisis tiba, dikorbankan tidak apa-apa. Beuh. Lama-lama, setelah memikir ulang kenapa saya ada di posisi ini, saya mulai lapang dada dengan komentar orang. Toh itu cuma komentar. Mereka tidak tahu apa-apa, lalu kenapa hal seperti itu harus mengubah prinsip saya.

Tidak adil menilai ibu yang bekerja sementara saya tidak pernah merasakannya. Begitu juga sebaliknya.
Memilihlah karena prinsip. Sertakan Allah dalam setiap pilihan. Sehingga ia tak tergoyahkan.
Keraguan, ketidakpercayadirian, bertindak setengah-setengah, akan terlihat dalam keseharian kita. Ibu rumahan yang tidak ikhlas berada di rumah, akan terlihat oleh anaknya, sehingga anaknya merasa menjadi penyebab dunia ibunya menyempit. Ibu yang bekerja namun pikirannya ada di rumah, tidak bisa fokus bekerja apalagi menghasilkan sesuatu bagi dunia.
Jangan melangkah setengah-setengah. Kekuatan para ibu dalam setiap tindakannya akan menginspirasi anak untuk menjadi kuat, menjadi superhero dalam benaknya, di lapangan manapun yang ibu pilih untuk bertarung.


Ibu yang bekerja demi biaya sekolah anak-anak, demi meringakan beban suami agar tidak bekerja dari minggu malam hingga sabtu pagi, bukanlah ia sama mulianya dengan ibu yang meninggalkan standar hidup tinggi demi sebuah pekerjaan tak bergaji bernama "ibu rumah tangga"... Pada Allah sajalah kita bertanggung jawab. Saat ini, cukuplah kita berkuat diri dan mengingat-ingat, kenapa masing-masing kita ada di sini.

Tegakkan kepala, Bu, ada anak-anak masa depan yang sedang mengamati, seberapa tangguh kita menanggung beban zaman. Saya ingat sebuah pepatah, Bukanlah untuk menjadi tempat bersandar seorang ibu diciptakan, melainkan agar bersandar itu tidak lagi diperlukan.

Kuatlah, Bu, maka ia juga akan kuat sepertimu. 



Jelang sahur. Gorontalo.






Bagi saya, pertanyaan apa kabar itu penting. Kalau saya menanyakan "apa kabar?" saya senang sekali mendengar jawaban yang panjang lebar. Karena ketika saya bertanya apa kabar, saya benar-benar mau mengetahui kabarnya, bukan sekedar basa-basi di awal pertemuan. 

Jaman masih aktif di organisasi kampus dulu, seorang rekan menganggap saya 'keterlaluan' karena bagi saya mengetahui kabar rekan-rekan dan staf saya jauh lebih penting daripada mendengar laporan kerja. Itu menurut dia. Buat saya pribadi, saya akan mengetahui kabar mereka lebih dulu sebelum bertanya tentang tugas mereka. Pernah, seorang ketua tim berkata pada bawahannya, "Kamu mau pulang lagi? Terus tugasmu bagaimana? Ya sudahlah. Salam untuk bapak ya." Sang ketua tidak tahu, bapak yang ia maksud sudah meninggal dunia beberapa minggu sebelumnya. 

Dengan mengetahui kabar seseorang, saya tahu saya berhadapan dengan kondisi apa dan tuntutan apa yang memang layak saya berikan padanya. Karena itu sebelum membuka laporannya, saya bertanya, "ada kabar apa minggu ini? Kabarmu, maksud saya. Kalau kabar nasional saya bisa baca koran..."

Lately, saya melihat teman-teman saya kebanyakan masih sama, seperti saya yang juga masih sama seperti dulu: saya sibuk bertanya apa kabar pada semua teman-teman saya, dan mereka melaju dalam pekerjaan besar bernama membangun peradaban... :) I guess.

Hari ini saya sedang berduka. Tanah kelahiran saya diguncang gempa 6,5 SR. Banyak yg tewas, hilang, luka...dan tidak sedikit rumah2 yang hancur dan sekolah2 rubuh. Hidup mereka mungkin diamputasi mendadak. Saya berdoa, semoga dengan ini Allah melembutkan hati mereka, membuat kita mempersering menyebut namanya, dan merenung. There's something wrong with our life. Each of us need to figure it out.

Biasanya musibah seperti ini akan cepat menimba simpati nasional. Kenapa sekarang tidak? Ada kejadian yang mereka anggap lebih penting di luar sana. Kisruh politik dunia Islam di Mesir. 
Saya mencoba berprasangka baik. Sedikitnya hastag Pray For Gayo dibanding Pray for Mesir mungkin tidak berarti sedikit juga doa yang mengalir ke desa-desa kecil di Barat Indonesia sana. Saya berbaik sangka, bahwa di ruang empatinya yang luas, saudara2 saya bisa menyempatkan diri melihat ke dalam negeri. 

Kita memiliki ruang empati yang luas. Setiap kejadian adalah latihan untuk membuat kita arif. 

Semoga Allah membuat kita lebih kuat dari masa ke masa. Aamiin.

"Nizam, jangan digigit-gigit stik esnya."
"Kenapa?"

"Nizam, kalau nyeberang pegang erat tangan Bunda, ya."
"Kenapa?"

"Nizam, segera pakai celanamu."
"Kenapa?"

"Nizam, matikan televisinya kalau sedang makan."
"Kenapa?"

Hanya perasaanku saja atau memang benar kepala ini mau lepas dari tempatnya???
Saya sudah lupa fase "Why" -nya Yasmin. Jadi waktu Nizam (3+ y.o) sedikit-sedikit bertanya "Kenapa?" saya merasa cenut-cenut. Oke kalau kondisi lagi lapang dan bahagia. Kalau lagi sibuk, heboh, crowded, dan dia terus menerus menjerit "Kenapa???" sampai saya menjawabnya...arghhh...
Ya Allah...kasihinilah hambamu yang ini.... >.<

Jadi sekarang saya memangkas kalimat itu menjadi,
"Kalau tidak mau kena tabrak, pegang tangan bunda ya!"
"Pakai celanamu sebelum penismu digigit semut atau kejepit sesuatu."
"Matikan televisi sebelum kamu tersedak nasi dan sakit tenggorokan."
"gigit saja batang esnya kalau mau tenggorokanmu sakit."

Memangnya dia mau berhenti bertanya kenapa? NOOO.
Di akhir semua kalimat itu, dia tetap bertanya, "Kenapa?"

Akhirnya saya mengalah. Inilah fasenya bertanya tentang mengapa begini dan mengapa begitu.
"Nak, tolong matikan televisinya kalau sedang makan."
"Kenapa?"
"Kalau matamu ke tivi terus nanti tersedak."
"Kenapa?"
"Karena kamu jadi nggak lihat apa yang masuk ke mulut."
"Kenapa?"
"Karena matamu sedang melotot ke Tv."
"Kenapa?"
"Karena kamu nggak mau matikan TVnya."
"Oh..."

Tenang, dia cuma bilang OH. bukan berarti dia mau mematikan TV. Percakap mirip2 itu terulang lagi.
"Kenapa Bunda matikan tv nya?" (menjerit)
"Karena kamu sedang makan."
"Kenapa??"
"Karena orang makan matanya ke piring bukan ke tv."
"kenapa????"
-----------teruskan saja sendiri-------------

Pertanyaan KENAPA ini berarti dua hal: menguji kesabaran saya, dan memancing akal pikirannya. Amiin.
Dan lama2 saya paham, lebih baik bercerita padanya di waktu lapang daripada memberinya instruksi di waktu kejepit. Dan "kenapa?" nya itu tidak melulu tentang apa alasan di balik sesuatu. Kadang, ternyata dia mau tau BAGAIMANA, bukan KENAPA. Dan yang jelas dia mau saya berbusa busa cerita padanya. Sampai dia bosan mendengarkan dan akhirnya berhenti bertanya kenapa.

N.B: Bahkan di usia setua ini saya masih sering bertanya, "Kenapa, ya Allah?"






Why do I Write?

Duluuuuu, jawaban saya adalah karena menulis itu adalah cara saya menyentuh dunia (gaya banget anak sma ini....)

I don't know why do you write. Beberapa orang menulis untuk meruangkan imajinasinya. Beberapa mungkin menulis karena dengan itu ia bisa melihat bentuk emosinya sebagai outsider. Beberapa untuk mengikat ilmu. Beberapa untuk nyari duit. Saya sediri suka nggaya dengan pamer, "I want to inspire the people," meh...emang situ siapa? <-- sorak penonton.

Saat ini, saya sudah berhenti bertanya dan berharap ditanya kenapa saya menulis. Bahkan, kalau ada yang menganggap saya pengangguran karena pekerjaan saya cuma nulis-nulis nggak jelas (banyakan malam begadangnya daripada nerima gajinya) rasanya nggak jadi masalah lagi.

So, Why Do I Write?

Mau jawaban jujur?
Karena saya nggak tau harus ngapain lagi kalau tidak menulis. I can't make a good coversation. I have my own tiny world, yang saya tidak bisa paksakan orang lain memahaminya. Seperti saya tidak ingin dipaksa untuk memahami mereka. Satu-satunya manusia yang sesuai dengan mau saya ya cuma makhluk2 fiksi yang saya tulis. Hanya sejauh itulah saya berani 'bergaul'.

Call me hyprsensitive. I am.

Why I do Write? Since that's the only thing I can do. Blame me.





Ketika ada teman menyebutkan--di Facebook atau Twitter atau di arisan--ia baru membeli mobil baru, rumah baru, atau bahkan sepatu baru, reaksi pertama saya adalah, "Wow" terus, "Alhamdulillah," lalu "Gue kapan ya?" :D

"Alhamdulillah" seharusnya jadi reaksi pertama, ya. Sorry, saya cuma manusia, kadang lupa untuk menyukuri rejeki yang diterima orang lain. Bukan gue ini yang nerima, begitu kata hati kelam saya.

Tapi saya tetap ikut senang kok. Bukan karena saya berharap kecipratan ya, tapi, rejeki seseorang membantu saya belajar bahwa Allah memberi setiap manusia rejeki. Meski porsinya berbeda, waktunya berbeda, sungguh, hanya Ia yang tahu kebutuhan luar dalam manusia. Tidak pada tempatnya untuk mendebat mengapa Allah memberi satu orang begitu banyak, sementara orang lain begitu sedikit. Siapalah kita yang mengetahui rahasiaNya?

Saya sering mendengar kalimat ini, "Berbagi kebahagiaan nih, saya baru diberi rejeki Allah berupa.... naik haji/rumah/mobil/cucu/dll".

Seperti saya bilang, reaksi pertama saya adalah wow. Alhamdulillah. Kapan ya giliran saya? :)

Lalu saya berpikir ulang tentang konsep menebar kebahagiaan ini. Kata seorang teman, "Membagi kebahagiaan itu perlu, memberikan kabar gembira, sebagai bukti bahwa Allah itu Maha Pemurah."

Lalu sampailah saya pada sebuah artikel tentang adab memberikan selamat dan kabar gembira yang ditulis oleh Majid Bin Su'ud Al Usyan. Disebutkan bahwa, Al Bisyaroh--memberikan kabar gembira--adalah sunnah Rasulullah. Kabar gembira ini adalah sesuatu yang dapat melegakan pendengarnya. Seperti ketika Rasulullah menjenguk seorang ibu yang sedang sakit, dan menyebutkan bahwa sesungguhnya penyakit bagi seorang muslim ibarat api yang membersihkan emas dan perak dari kotoran.
Kabar gembira juga diberikan pada mereka yang sedang menuntut ilmu, bahwa malaikat meletakkan sayapnya di atas para penuntut ilmu, sebagai bentuk keridhaan mereka. Kabar gembira juga dibawakan pada perempuan yang menunggu lamaran, mereka yang sedang berperang dan menunggu kemenangan... artikel ada di sini

Jadi, kabar gembira sesungguhnya adalah apa yang bisa melegakan pendengarnya.
 Ada pula Adh Dhuha ayat 11 yang berisi, "Dan tentang nikmat Rabbmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)," mengingatkan kita pentingnya mensyukuri pemberian Allah. Masalah menyebutkannya ke halayak, saya tidak berhak menghakimi orang lain. Saya sendiri akhirnya berpikir, nikmat yang dititipkan Allah pada kita, alangkah indahnya jika bukan beritanya saja yang kita bagi. Ada sesuatu pada nikmat itu yang bisa bermanfaat bagi orang lain.

Dulu ayah saya berkata, "kalau ada tetangga punya mobil, jangan iri. Alhamdulillah, kali aja besok2 bisa minjem, hehe..."
Saya kira kalimat itu benar-benar harus diterima secara harafiah. Lama-lama setelah direnung-renungkan, bukan bentuknya saja yang bisa kita bagi. Tapi esensi dari nikmat itu.

Jika kita adalah pegawai negeri yang diberikan nikmat Allah berupa kenaikan gaji, tentulah orang lain akan kecipratan nikmat itu jika kita kemudian menjadi pegawai yang bersemangat bekerja, bersemangat melayani bangsa. Tak hanya mengeluh dan mencaci. Tidak mamanfaatkan fasilitas publik demi kepentingan pribadi.

Jika kita mendapatkan rejeki berupa rumah baru, tetangga kita toh tidak berharap numpang tidur atau mandi di rumah mewah kita. Tetapi, mereka akan kecipratan nikmat jika kita bisa menjadi tetangga yang lebih baik. Tidak membongkar aibnya, tidak menggunjingnya, menjenguknya ketika ia sakit, dan memberikan apa yang menjadi haknya sebagai tetangga.



Maka, berbagi kebahagiaan, menebar kabar gembira, bukanlah semata-mata menyebutkan apa yang kita dapatkan pada halayak. Namun mengolah nikmat itu menjadi energi yang bisa menentramkan orang lain, melegakan orang lain, sehingga nikmat kita menjadi nikmatnya juga. Mengubah kita menjadi pribadi bersyukur yang bukan sekedar pamer saat riang dan memaki saat kecewa.

Jika besok kita naik haji, semoga bentuk syukur kita tidak hanya sebentuk status, "Alhamdulillah saya akhirnya dapat rejeki naek haji," tapi juga keindahan akhlak kita, keteduhan jiwa kita, menjadi penenang bagi yang lain. Menjadi bentuk kasih sayang Allah yang hadir di Bumi.

Wallahu a'lam.