Setiap ibu yang bekerja, mungkin merasa terbelah hatinya ketika harus meninggalkan si kecil di rumah. Entah dengan ibu/mertua, pengasuh, saudara... kalaulah boleh, pasti rasanya ingin bersama dengan anak sepanjang waktu. Apalagi, ketika waktu yang ingin digenggam itu terasa bergulir begitu cepat...

Saya memutuskan untuk menemani anak-anak di rumah, alih-alih bekerja. Meski dengan banyak konsekuensi (ga bisa berfoya-foya karena tidak ada gaji ganda, hehehe) juga dianggap tidak memanfaatkan ilmu.
Sudahlah, saya tidak akan membela diri. Terserah saja. Setiap ibu punya tantangan, bukan? Dari yang kecil sampai besar...(tantangannya ya, bukan body-nya :D)


Para SAHM (Stay at Home Mom) kadang dikomentari, "Enak ya, jadi ibu rumah tangga..."

Bu, percayalah, menjadi ibu itu bukan perkara enak dan nggak enak. Kita semua memilih. Ibu-ibu yang tidak berseragam itu juga sudah memilih, menerima resiko, menegakkan harga diri dan tetap berjalan. Begitu juga ibu yang bekerja. Karena kehadiran anak bukanlah perkara yang kita putuskan sendiri. Ada kekuatan Allah di dalamnya. Namun untuk memutuskan akan menjadi ibu seperti apa kita, kitalah yang menentukan. Pilihan apakah kita akan membersamainya atau memilih ladang lain. Pilihan antara menjadi ibu yang kuat atau ibu yang terus memandangi diri di cermin, "Bagaimana aku terlihat di mata masyarakat?"
 
Pernah, melihat seorang sahabat yang risau karena harus meninggalkan anaknya dengan pengasuh. Di lain waktu, ketika pengasuh mendadak libur, ia harus membawa putrinya ke tempat kerja. Babak belur lahir batin: menghadapi keriuhan, cibiran, dan multichallenge dalam waktu yang bersamaan. Sedih sekaligus takjub melihatnya. Siapa bilang menjadi ibu bekerja itu enak-enakan?

Tidak semua ibu yang bekerja akan menghasilkan anak yang terlantar, kurang kasih sayang, tidak terurus lahir batinnya. Ada yang bilang, anak yang ibunya bekerja, yang dirindukannya adalah pengasuh, yang disukainya adalah masakan pembantu. Benarkah? Mmm....nggak sedramatisir itulah. Satu dua ada yang begitu, tapi bukan karena ibu bekerja, tapi karena ibunya emang ga bisa masakdan jarang mangku anak :)

Dan tidak semua ibu rumahan akan menghasilkan anak santun baik budi dan bergizi.
masalahnya adalah, berusaha atau tidak?

Semoga kita menjadi ibu yang menyadari diri kita sebagai ibu. Jika kondisi membuat kita harus bekerja, semoga Allah kuatkan hati kita untuk mengemban amanah ganda. Jika kita menjadi ibu yang berkesempatan di rumah 24 jam bersama anak, semoga kita ingat bahwa Allah sedang mengawasi amanah ini.

Menjadi ibu bekerja tidak membuat seorang ibu bisa berhenti memikirkan anaknya. Sama seperti menjadi ibu di rumah tidak membuat seorang ibu abai terhadap kondisi dunia di luarnya. Jadilah ibu yang kuat. Ketika telah mengambil keputusan, jangan merengek.

Dulu, awal-awal karir saya sebagai ibu rumahan (lagaaak), saya sakit hati kalau ada yang dengan suka rela menyebut saya tidak berpendidikan dan tidak berpengaruh pada perubahan dunia. Ibaratnya, saya ini sebutir debu atau rakyat jelata yang kalau krisis tiba, dikorbankan tidak apa-apa. Beuh. Lama-lama, setelah memikir ulang kenapa saya ada di posisi ini, saya mulai lapang dada dengan komentar orang. Toh itu cuma komentar. Mereka tidak tahu apa-apa, lalu kenapa hal seperti itu harus mengubah prinsip saya.

Tidak adil menilai ibu yang bekerja sementara saya tidak pernah merasakannya. Begitu juga sebaliknya.
Memilihlah karena prinsip. Sertakan Allah dalam setiap pilihan. Sehingga ia tak tergoyahkan.
Keraguan, ketidakpercayadirian, bertindak setengah-setengah, akan terlihat dalam keseharian kita. Ibu rumahan yang tidak ikhlas berada di rumah, akan terlihat oleh anaknya, sehingga anaknya merasa menjadi penyebab dunia ibunya menyempit. Ibu yang bekerja namun pikirannya ada di rumah, tidak bisa fokus bekerja apalagi menghasilkan sesuatu bagi dunia.
Jangan melangkah setengah-setengah. Kekuatan para ibu dalam setiap tindakannya akan menginspirasi anak untuk menjadi kuat, menjadi superhero dalam benaknya, di lapangan manapun yang ibu pilih untuk bertarung.


Ibu yang bekerja demi biaya sekolah anak-anak, demi meringakan beban suami agar tidak bekerja dari minggu malam hingga sabtu pagi, bukanlah ia sama mulianya dengan ibu yang meninggalkan standar hidup tinggi demi sebuah pekerjaan tak bergaji bernama "ibu rumah tangga"... Pada Allah sajalah kita bertanggung jawab. Saat ini, cukuplah kita berkuat diri dan mengingat-ingat, kenapa masing-masing kita ada di sini.

Tegakkan kepala, Bu, ada anak-anak masa depan yang sedang mengamati, seberapa tangguh kita menanggung beban zaman. Saya ingat sebuah pepatah, Bukanlah untuk menjadi tempat bersandar seorang ibu diciptakan, melainkan agar bersandar itu tidak lagi diperlukan.

Kuatlah, Bu, maka ia juga akan kuat sepertimu. 



Jelang sahur. Gorontalo.






Bagi saya, pertanyaan apa kabar itu penting. Kalau saya menanyakan "apa kabar?" saya senang sekali mendengar jawaban yang panjang lebar. Karena ketika saya bertanya apa kabar, saya benar-benar mau mengetahui kabarnya, bukan sekedar basa-basi di awal pertemuan. 

Jaman masih aktif di organisasi kampus dulu, seorang rekan menganggap saya 'keterlaluan' karena bagi saya mengetahui kabar rekan-rekan dan staf saya jauh lebih penting daripada mendengar laporan kerja. Itu menurut dia. Buat saya pribadi, saya akan mengetahui kabar mereka lebih dulu sebelum bertanya tentang tugas mereka. Pernah, seorang ketua tim berkata pada bawahannya, "Kamu mau pulang lagi? Terus tugasmu bagaimana? Ya sudahlah. Salam untuk bapak ya." Sang ketua tidak tahu, bapak yang ia maksud sudah meninggal dunia beberapa minggu sebelumnya. 

Dengan mengetahui kabar seseorang, saya tahu saya berhadapan dengan kondisi apa dan tuntutan apa yang memang layak saya berikan padanya. Karena itu sebelum membuka laporannya, saya bertanya, "ada kabar apa minggu ini? Kabarmu, maksud saya. Kalau kabar nasional saya bisa baca koran..."

Lately, saya melihat teman-teman saya kebanyakan masih sama, seperti saya yang juga masih sama seperti dulu: saya sibuk bertanya apa kabar pada semua teman-teman saya, dan mereka melaju dalam pekerjaan besar bernama membangun peradaban... :) I guess.

Hari ini saya sedang berduka. Tanah kelahiran saya diguncang gempa 6,5 SR. Banyak yg tewas, hilang, luka...dan tidak sedikit rumah2 yang hancur dan sekolah2 rubuh. Hidup mereka mungkin diamputasi mendadak. Saya berdoa, semoga dengan ini Allah melembutkan hati mereka, membuat kita mempersering menyebut namanya, dan merenung. There's something wrong with our life. Each of us need to figure it out.

Biasanya musibah seperti ini akan cepat menimba simpati nasional. Kenapa sekarang tidak? Ada kejadian yang mereka anggap lebih penting di luar sana. Kisruh politik dunia Islam di Mesir. 
Saya mencoba berprasangka baik. Sedikitnya hastag Pray For Gayo dibanding Pray for Mesir mungkin tidak berarti sedikit juga doa yang mengalir ke desa-desa kecil di Barat Indonesia sana. Saya berbaik sangka, bahwa di ruang empatinya yang luas, saudara2 saya bisa menyempatkan diri melihat ke dalam negeri. 

Kita memiliki ruang empati yang luas. Setiap kejadian adalah latihan untuk membuat kita arif. 

Semoga Allah membuat kita lebih kuat dari masa ke masa. Aamiin.

"Nizam, jangan digigit-gigit stik esnya."
"Kenapa?"

"Nizam, kalau nyeberang pegang erat tangan Bunda, ya."
"Kenapa?"

"Nizam, segera pakai celanamu."
"Kenapa?"

"Nizam, matikan televisinya kalau sedang makan."
"Kenapa?"

Hanya perasaanku saja atau memang benar kepala ini mau lepas dari tempatnya???
Saya sudah lupa fase "Why" -nya Yasmin. Jadi waktu Nizam (3+ y.o) sedikit-sedikit bertanya "Kenapa?" saya merasa cenut-cenut. Oke kalau kondisi lagi lapang dan bahagia. Kalau lagi sibuk, heboh, crowded, dan dia terus menerus menjerit "Kenapa???" sampai saya menjawabnya...arghhh...
Ya Allah...kasihinilah hambamu yang ini.... >.<

Jadi sekarang saya memangkas kalimat itu menjadi,
"Kalau tidak mau kena tabrak, pegang tangan bunda ya!"
"Pakai celanamu sebelum penismu digigit semut atau kejepit sesuatu."
"Matikan televisi sebelum kamu tersedak nasi dan sakit tenggorokan."
"gigit saja batang esnya kalau mau tenggorokanmu sakit."

Memangnya dia mau berhenti bertanya kenapa? NOOO.
Di akhir semua kalimat itu, dia tetap bertanya, "Kenapa?"

Akhirnya saya mengalah. Inilah fasenya bertanya tentang mengapa begini dan mengapa begitu.
"Nak, tolong matikan televisinya kalau sedang makan."
"Kenapa?"
"Kalau matamu ke tivi terus nanti tersedak."
"Kenapa?"
"Karena kamu jadi nggak lihat apa yang masuk ke mulut."
"Kenapa?"
"Karena matamu sedang melotot ke Tv."
"Kenapa?"
"Karena kamu nggak mau matikan TVnya."
"Oh..."

Tenang, dia cuma bilang OH. bukan berarti dia mau mematikan TV. Percakap mirip2 itu terulang lagi.
"Kenapa Bunda matikan tv nya?" (menjerit)
"Karena kamu sedang makan."
"Kenapa??"
"Karena orang makan matanya ke piring bukan ke tv."
"kenapa????"
-----------teruskan saja sendiri-------------

Pertanyaan KENAPA ini berarti dua hal: menguji kesabaran saya, dan memancing akal pikirannya. Amiin.
Dan lama2 saya paham, lebih baik bercerita padanya di waktu lapang daripada memberinya instruksi di waktu kejepit. Dan "kenapa?" nya itu tidak melulu tentang apa alasan di balik sesuatu. Kadang, ternyata dia mau tau BAGAIMANA, bukan KENAPA. Dan yang jelas dia mau saya berbusa busa cerita padanya. Sampai dia bosan mendengarkan dan akhirnya berhenti bertanya kenapa.

N.B: Bahkan di usia setua ini saya masih sering bertanya, "Kenapa, ya Allah?"






Why do I Write?

Duluuuuu, jawaban saya adalah karena menulis itu adalah cara saya menyentuh dunia (gaya banget anak sma ini....)

I don't know why do you write. Beberapa orang menulis untuk meruangkan imajinasinya. Beberapa mungkin menulis karena dengan itu ia bisa melihat bentuk emosinya sebagai outsider. Beberapa untuk mengikat ilmu. Beberapa untuk nyari duit. Saya sediri suka nggaya dengan pamer, "I want to inspire the people," meh...emang situ siapa? <-- sorak penonton.

Saat ini, saya sudah berhenti bertanya dan berharap ditanya kenapa saya menulis. Bahkan, kalau ada yang menganggap saya pengangguran karena pekerjaan saya cuma nulis-nulis nggak jelas (banyakan malam begadangnya daripada nerima gajinya) rasanya nggak jadi masalah lagi.

So, Why Do I Write?

Mau jawaban jujur?
Karena saya nggak tau harus ngapain lagi kalau tidak menulis. I can't make a good coversation. I have my own tiny world, yang saya tidak bisa paksakan orang lain memahaminya. Seperti saya tidak ingin dipaksa untuk memahami mereka. Satu-satunya manusia yang sesuai dengan mau saya ya cuma makhluk2 fiksi yang saya tulis. Hanya sejauh itulah saya berani 'bergaul'.

Call me hyprsensitive. I am.

Why I do Write? Since that's the only thing I can do. Blame me.





Ketika ada teman menyebutkan--di Facebook atau Twitter atau di arisan--ia baru membeli mobil baru, rumah baru, atau bahkan sepatu baru, reaksi pertama saya adalah, "Wow" terus, "Alhamdulillah," lalu "Gue kapan ya?" :D

"Alhamdulillah" seharusnya jadi reaksi pertama, ya. Sorry, saya cuma manusia, kadang lupa untuk menyukuri rejeki yang diterima orang lain. Bukan gue ini yang nerima, begitu kata hati kelam saya.

Tapi saya tetap ikut senang kok. Bukan karena saya berharap kecipratan ya, tapi, rejeki seseorang membantu saya belajar bahwa Allah memberi setiap manusia rejeki. Meski porsinya berbeda, waktunya berbeda, sungguh, hanya Ia yang tahu kebutuhan luar dalam manusia. Tidak pada tempatnya untuk mendebat mengapa Allah memberi satu orang begitu banyak, sementara orang lain begitu sedikit. Siapalah kita yang mengetahui rahasiaNya?

Saya sering mendengar kalimat ini, "Berbagi kebahagiaan nih, saya baru diberi rejeki Allah berupa.... naik haji/rumah/mobil/cucu/dll".

Seperti saya bilang, reaksi pertama saya adalah wow. Alhamdulillah. Kapan ya giliran saya? :)

Lalu saya berpikir ulang tentang konsep menebar kebahagiaan ini. Kata seorang teman, "Membagi kebahagiaan itu perlu, memberikan kabar gembira, sebagai bukti bahwa Allah itu Maha Pemurah."

Lalu sampailah saya pada sebuah artikel tentang adab memberikan selamat dan kabar gembira yang ditulis oleh Majid Bin Su'ud Al Usyan. Disebutkan bahwa, Al Bisyaroh--memberikan kabar gembira--adalah sunnah Rasulullah. Kabar gembira ini adalah sesuatu yang dapat melegakan pendengarnya. Seperti ketika Rasulullah menjenguk seorang ibu yang sedang sakit, dan menyebutkan bahwa sesungguhnya penyakit bagi seorang muslim ibarat api yang membersihkan emas dan perak dari kotoran.
Kabar gembira juga diberikan pada mereka yang sedang menuntut ilmu, bahwa malaikat meletakkan sayapnya di atas para penuntut ilmu, sebagai bentuk keridhaan mereka. Kabar gembira juga dibawakan pada perempuan yang menunggu lamaran, mereka yang sedang berperang dan menunggu kemenangan... artikel ada di sini

Jadi, kabar gembira sesungguhnya adalah apa yang bisa melegakan pendengarnya.
 Ada pula Adh Dhuha ayat 11 yang berisi, "Dan tentang nikmat Rabbmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)," mengingatkan kita pentingnya mensyukuri pemberian Allah. Masalah menyebutkannya ke halayak, saya tidak berhak menghakimi orang lain. Saya sendiri akhirnya berpikir, nikmat yang dititipkan Allah pada kita, alangkah indahnya jika bukan beritanya saja yang kita bagi. Ada sesuatu pada nikmat itu yang bisa bermanfaat bagi orang lain.

Dulu ayah saya berkata, "kalau ada tetangga punya mobil, jangan iri. Alhamdulillah, kali aja besok2 bisa minjem, hehe..."
Saya kira kalimat itu benar-benar harus diterima secara harafiah. Lama-lama setelah direnung-renungkan, bukan bentuknya saja yang bisa kita bagi. Tapi esensi dari nikmat itu.

Jika kita adalah pegawai negeri yang diberikan nikmat Allah berupa kenaikan gaji, tentulah orang lain akan kecipratan nikmat itu jika kita kemudian menjadi pegawai yang bersemangat bekerja, bersemangat melayani bangsa. Tak hanya mengeluh dan mencaci. Tidak mamanfaatkan fasilitas publik demi kepentingan pribadi.

Jika kita mendapatkan rejeki berupa rumah baru, tetangga kita toh tidak berharap numpang tidur atau mandi di rumah mewah kita. Tetapi, mereka akan kecipratan nikmat jika kita bisa menjadi tetangga yang lebih baik. Tidak membongkar aibnya, tidak menggunjingnya, menjenguknya ketika ia sakit, dan memberikan apa yang menjadi haknya sebagai tetangga.



Maka, berbagi kebahagiaan, menebar kabar gembira, bukanlah semata-mata menyebutkan apa yang kita dapatkan pada halayak. Namun mengolah nikmat itu menjadi energi yang bisa menentramkan orang lain, melegakan orang lain, sehingga nikmat kita menjadi nikmatnya juga. Mengubah kita menjadi pribadi bersyukur yang bukan sekedar pamer saat riang dan memaki saat kecewa.

Jika besok kita naik haji, semoga bentuk syukur kita tidak hanya sebentuk status, "Alhamdulillah saya akhirnya dapat rejeki naek haji," tapi juga keindahan akhlak kita, keteduhan jiwa kita, menjadi penenang bagi yang lain. Menjadi bentuk kasih sayang Allah yang hadir di Bumi.

Wallahu a'lam.









Seolah hanya sekedip mata, tiba-tiba kita sudah menjadi orangtua. Rasanya baru kemarin kita mendengarkan nasihat dan kasih sayang dari ayah ibu kita. Lalu hari ini, sebuah jiwa telah memanggil kita sebagai ayah, atau ibu. Begitu cepat, hampir-hampir tak dipersiapkan. Kadangkala saya menemukan ilmu setelah terlanjur mengalami, bukan sebaliknya. Ah, kasihan anak-anak. Kalau saja saya lebih dulu belajar, mereka tidak perlu terlanjur menjadi korban ketidaksiapan.
Tapi, begitulah menjadi orangtua. Proses tak berkesudahan. Pembelajaran dari hari ke hari. Seperti yang dikatakan orang, ketika kita menjadi orangtua, bukan saja anak yang belajar dari kita, melainkan kita belajar tentang hidup dari mereka.
Ada banyak sekali nasihat-nasihat parenting untuk ayah dan ibu. Dari berbagai sudut pandang. Akhirnya saya paham, tidak ada yang salah dan benar dalam metode tersebut. Hanya mengenai ingin menjadi orangtua yang bagaimanakah kita.
Misalnya...
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa usia terbaik belajar teknologi adalah 3 tahun. Penelitian lain menyebutkan, anak-anak perlu bermain dan belajar di luar. Tak baik membiarkan mereka terpapar screen terlalu dini. Keduanya benar. Tergantung Anda, ingin menjadikannya penjelajah alam, atau penjelajah cyber.

Contoh lain,
Suatu hari koran Tempo di Indonesia memuat artikel tentang bahayanya anak menonton TV terlalu lama. Lucunya, di hari yang sama BBC mengeluarkan artikel tentang penelitian bahwa menonton televisi tidak membuat anak bodoh atau otaknya mampet seperti yang dikira orang. TV membuat anak mendapatkan nilai rendah karena mereka menggunakan waktu mengerjakan PR nya untuk menonton televisi.
Mana yang benar? Saya melihat pada anak-anak saya. Semuanya tergantung bagaimana anda, sebagai orangtua, memantau kegiatan anak. Dari TV ia bisa melihat banyak hal: tergantung channelnya. TV membuat anak konsumtif: kalau anda menuruti semua yang dia minta. TV membuat anak gemuk: kalau anda biarkan ia makan di depan TV. TV menjadi berguna ketika kita memantau tayangan dan durasinya. Kitalah bossnya, bukan televisi.

Tidak usah berdebat dan tersinggung dengan metode orangtua lain membesarkan anaknya. Seorang teman memasukkan anaknya ke Islamic School sedini mungkin, karena ia berharap anaknya menjadi hafidz, dan ilmuwan dalam dunia Islam. Anda yang ngeri melihat bagaimana anak kecil harus menghafal begitu banyak, tidak usah mengernyit. Pada dasarnya kemampuan intelektual anak akan menyanggupi hal tersebut. Mentalnya? nah, itu adalah pekerjaan orangtua. Kalau anaknya diinginkan menjadi hafidz, maka orangtuanya harus menyiapkan mental yang kuat, sehingga anak tidak sekedar menjadi penghafal, namun pecinta Al Quran.

Ada orangtua yang ingin anaknya menjadi pionir. Ia menggemblengnya sedemikian rupa sejak dini.
Ada orangtua yang ingin anaknya menjadi pembawa ketenangan dunia. Dunia sudah cukup tertekan, ia ingin anaknya tumbuh sebagai jiwa tenang yang bergembira.
Ada orangtua yang ingin anaknya disiplin sejak bayi. Karena ia mengira dunia tempatnya hidup penuh dengan kompetisi.
Ada orangtua yang cukup bahagia jika anaknya berhasil menanam bulir-bulir jagung di pekarangan.

Dunia membutuhkan ulama, ilmuwan, petani, nelayan, dokter, guru, seniman, penulis, dan tentara.
Anak kita akan menjadi salah satunya. Ringankan diri dari tugas mengkritik cara orangtua membesarkan anak mereka. Karena anak kita dengan anaknya jelas berbeda. Mereka sudah diberi Allah bakat masing-masing, orangtua hanya perlu melihatnya dengan hati dan menempanya dengan hati-hati, agar ia tidak rusak. agar bakat tidak menjadi sumber bencana: stress, terlalu kompetitif, hipersensitif, dan kerapuhan jiwa lainnya.

Apakah kita masih membutuhkan segala teori parenting itu?
"bacalah anakmu, bukan buku," begitu pepatah Afrika berbunyi.
Kita masih memerlukan buku, panduan, teman, untuk mengetahui bahwa kita tidak keluar dari garis. Namun semua itu tidak untuk mendikte kita untuk memangkas anak menjadi seperti yang kita, atau dunia, inginkan. Anak memiliki jalannya sendiri. Kita hanya perlu menggandengnya dengan selamat.


Tahun lalu, saya masih bisa tertawa ketika membicarakan pilihan sekolah untuk anak. Waktu itu saya sedang menulis artikel untuk koran lokal. Tanpa kecurigaan saya berhasil melist beberapa sekolah bagus. Tahun ini, ketika putri saya siap menginjakkan kakinya di Taman Kanak-Kanak, saya tidak bisa tertawa lagi. Ini masalah serius. Sekolah-sekolah yang ada di list saya tahun lalu, mulai saya tatap dengan pandangan skeptis.
Kalau ada teman yang memuji sekolah anaknya, saya pasti langsung cara tahu, di mana??
Waktu masih tinggal di Jogja, saya sudah mencoret-coret kriteria sekolah untuk anak saya bahkan waktu dia masih dalam perut. Saya bakan nanya ke Bambini, kira-kira per tahun biaya sekolahnya naik berapa persen--berkaitan dengan tabungan dan sebagainya-- dan kalau-kalau anda mau tau, jawabannya adalah 20 % kenaikan setiap tahun. Bagooss...

Sayangnya di Kota ini saya tidak punya banyak pilihan. Montessori yang Islami, ada nggak? :D

Sejauh ini saya berhasil menahan anak-anak untuk belajar dari rumah. Ya ampun, belajar... main-main doang aslinya. Main masak-masak, susun-susun, cari harta karun, nonton Dora, main playdough, dll.... Sejauh ini anak saya masih terbalik balik menghitung 1-10. So what? Setidaknya dia sudah bisa membuka pintu dan menginterogasi tamu. Di dunia yang beringas ini (kalau nenek saya masih hidup, dia pasti kaget lihat dunia skarang) keterampilan menghadapi orang lebih saya hargai daripada menghitung 1-10 (karena toh pada akhirnya dia akan hafal. Lihat saja saya, memangnya umur berapa saya bisa berhitung, nggak ngefek juga ke kehidupan saat ini)--oh well, saya mendengar beberapa orang berkata: kalau kamu lebih cepat belajar berghitung, siapa tau kamu sudah bekerja di NASA saat ini :p

Tapi, demi satu dan lain hal, saya harus mencarikan sekolah yang tepat untuk anak saya. Nah, kata tepat itu yang nggak mudah.
Ada sebuah sekolah keren. SDIT. Pertama, jauhnya minta ampun. Baiklah, sekolah memang butuh pengorbanan, tapi kalau tenaga dan waktunya harus habis di perjalanan? Apalagi yang tersisa untuk di rumah? padahal dunia yang harus dieksplorasinya bukan cuma sesempit lapangan sekolah.
Kedua, mahal. Beruntunglah anda-anda yang berhaisl menemukan sekolah relijius yang jarak dan biayanya terjangkau. Saya nggak akan belagu dengan bilang kalau saya bukan pendukung komersialisasi SDIT, masalah saya adalah ini terlalu mahal dan nggak sesuai dengan budget saya. Kalau menurut anda saya harus berkorban, menabung, dan berasuransi, tengkyuverymuch, katakan itu pada tujuh puluh persen penduduk negeri ini yang kebutuhannya bukan cuma membiayai kaca anti peluru sekolahnya atau biaya perawatan rumput bermuda di halaman sekolah.
Kenapa harus sekolah relijius? Padahal di sekolah seperti itu anak-anak akan didoktrin, diharuskan menghafal...blablabla... "alim aja bisa korupsi" kata seorang teman. Rrr... itu dia, yang alim aja bisa khilaf, apalagi yang buta? Saya berharap anak-anak punya pegangan, masalah apakah pegangannya kuat dan selamanya, tentu bukan perkara sekedar membalik tangan. Orang tua dan pendidik di sekolah harus sama-sama menginstal jiwa-jiwa yang kuat itu pada anak-anak. Well, akan banyak kritik, apa sih yang dikritik orang saat ini. But for me, jawabannya cuma satu kata: aqidah. tidak bisa didebat lagi.

Soal aqidah tidak bisa diganggu gugat, yang lain masih bisa dinego. Dulu, daftar saya panjaaang sekali. Akhir-akhir ini saya mulai insaf.
Ini daftar insaf saya:
1. Tidak ada sekolah yang sempurna untuk melepaskan anak anda. Tapi ada banyak yang cukup baik untuk anda jadikan partner mendidik anak. ingat ya, partner, jadi jangan lepas tangan.

2. Sekolah bukanlah semesta pendidikan. Sekolah hanya sebuah tempat. Sebuah rantai dari serangkaian upaya untuk mengajarkan anak melihat dunia. Jadi saya tidak bisa menganggap urusan pendidikan anak selesai dengan memberinya sekolah, tak peduli bagaimana rating sekolah itu. Bagus atau tidak sekolah, kami tetap masih harus mendidiknya di rumah.

3. Kadang-kadang saya pikir, urusan mencari sekolah yang baik ini, apakah benar-benar karena saya menginginkan yang terbaik untuk anak-anak, atau karena saya tidak ingin mereka kalah dibandingkan anak-anak lain? Karena kalau saya benar-benar mempertimbangkan kepentingan anak saya semata, maka seharusnya saya mengukur kredibilitas sekolah itu dari sudut pandang anak saya. Apakah itu tempat yang nyaman, apakah toiletnya tidak ketinggian, apakah guru itu tidak galak, apakah sekolah itu mengerti tentang beberapa keterbatasannya dan mengapresiasi dengan tulus beberapa kelebihannya?

4. Saya bertemu seorang ibu dari generasi di atas saya. Tinggal di desa, dengan sekolah negeri yang gaji gurunya pas-pasan, fasilitas terbatas, namun anak-anaknya berhasil tumbuh dewasa sebagai pribadi yang hebat? Dikasih apa Buuu?
"Sekolah itu tempat dia mendengar, melihat. Rumah itu tempat dia menyaring mana yang harus diterimanya, mana yang harus diabaikan."
Sang ibu menyediakan waktunya (sudah belasan tahun,kalau dihitung-hitung) untuk mendengarkan anak-anaknya. Obrolan seperti, tadi di sekolah belajar apa, temanmu kenapa, siapa yang terluka, siapa yang merusak apa, apa yang kalian lakukan ketika dihukum...

5. Tidak ada guru yang sempurna. Tentu saja, guru sesekali marah dengan yang berkecenderungan psikopat tentu berbeda. Saya mengenal seorang guru yang selalu mencaci-caci di wall facebooknya, memaki anak didiknya (meski di belakang) dan mengaku telah mematahkan penggaris di pantat muridnya. Saya berdoa cukup dia saja guru yang punya kelabilan jiwa seperti itu. Aamiin. Tapi, saya cukup tenang membaca nasihat Marie Hartwell--psikolog dan konsultan pendidikan untuk orang tua-- bahwa, guru bukanlah malaikat. Dia punya tekanan, masalah rumah, masalah sekolah, tuntutan orang tua dan kepala sekolah.. ketika suatu hari anda menemukan ia marah, jangan buru-buru memakinya balik dan mengeluarkan anak anda dari sekolah. Ajak ia bicara. siapa tau kepala dingin anda bisa menular padanya ;)

6. Dan, saya menemukan sekolah itu. TK negeri yang mungil, dengan halaman hijau dan pohon-pohon teduh. Ada banyak yang mengkritik, oke, bertanya, kenapa dan berapa. Bagi saya ini mencukupi. Semuanya bisa diatur, saya hanya perlu menginstal jiwa pembelajar dalam diri saya dan anak-anak. Kekurangan yang akan kami temui, akan kami bicarakan, akan kami perbaiki. Sebisanya. Kata seorang teman generasi tua: hadiahkan guru anakmu sebuah buku, atau sebuah obrolan dari hati ke hati....

Tentu saya khawatir pada efek kekerasan--apapun bentuknya-- termasuk tindakan bullying. Di negeri ini, drama komedi saja isinya mbully. Tapi, saya sendiri menghabiskan dua pertiga masa SD saya dengan menjadi korban bully sesama teman. Separo masa SMP saya dibully oleh guru. Masa SMU saya sepenuhnya dibully oleh sistem. Dan sebagian besar teman-teman saya merasakan hal yang sama. Kekerasan pada masa itu dianggap tindakan wajar, pendisiplinan. Tapi saya baik-baik saja, thank to my mother. Dan buku-buku serta kepercayaan diri yang diwariskan ayah saya.
Di masa ini, bukan berarti saya akan memaklumi tindak kekerasan di sekolah. Tapi saya akan kehilangan waktu dan banyak kesempatan jika hanya fokus menghindari. Kalaupun saya dan anak-anak bisa menghindari, tidakkah sebagai ibu cukup untuk membuat saya mempertimbangkan kecemasan ibu lain yang anaknya harus masuk ke sekolah negeri dengan banyak keterbatasan, sementara mereka tidak punya banyak pilihan. Saya mungkin bisa berlega untuk anak-anak saya, tp bagaimana dengan anak lain? Karena itu, saya memilih menerima ketidaksempurnaan, tidak menghindarinya mati-matian sampai kategori alergi sekolah miskin, dan bersama ibu-ibu lain, saya harap kami bisa memperbaikinya (cita-cita itu harus muluk, biar rajin mencapainya :))